Ini adalah kisah tentang Asmara, seorang pramugari berusia 25 tahun yang meniti karirnya di atas awan, tiga tahun Asmara menjalin hubungan dengan Devanka, staf bandara yang karirnya menjejak bumi. Cinta mereka yang awalnya bagai melodi indah di terminal kedatangan kini hancur oleh perbedaan keyakinan dan restu orang tua Devanka yang tak kunjung datang. dan ketika Devanka lebih memilih dengan keputusan orangtuanya, Asmara harus merelakannya, dua tahun ia berjuang melupakan seorang Devanka, melepaskannya demi kedamaian hatinya, sampai pada akhirnya seseorang muncul sebagai pilot yang baru saja bergabung. Ryan Pratama seorang pilot muda tampan tapi berwajah dingin tak bersahabat.
banyak momen tak sengaja yang membuat Ryan menatap Asmara lebih lama..dan untuk pertama kali dalam hidupnya setelah sembuh dari rasa trauma, Ryan menaruh hati pada Asmara..tapi tak semudah itu untuk Ryan mendapatkan Asmara, akankan pada akhirnya mereka akan jatuh cinta ?
selamat membaca...semoga kalian suka yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Langit Batam malam itu berwarna pekat, tapi gemerlap lampu kota memantulkan cahaya yang hangat di sepanjang jalan.
Ryan berjalan santai dengan kedua tangan di saku celana, sementara di sampingnya Asmara melangkah pelan, menggenggam ujung tas kecil di depan tubuhnya.
Udara malam terasa lembap, namun menyenangkan, aroma laut dan makanan jalanan berpadu menjadi satu.
“Kenapa tiba-tiba kamu pengen keluar?” tanya Asmara sambil melirik pria di sebelahnya. “Bukannya kamu biasanya lebih suka makan di tempat tenang dan ber-AC?”
Ryan menoleh sekilas, senyum tipis tersungging di wajahnya. “Karena di hotel mulai membosankan. Lagian, aku pengen tahu kamu pernah makan di kaki lima nggak.”
Asmara terkekeh kecil. “Kamu pikir aku tipe cewek yang nggak bisa makan di pinggir jalan?”
Ryan mengangkat alis. “Keliatannya sih iya. Kamu terlalu rapi, terlalu bersih, terlalu menjaga diri banget.”
Asmara tertawa, kali ini lebih lepas. “Salah besar, Kapten. Aku ini anak kos sebelum jadi pramugari. Makan di warung tenda itu udah biasa banget.”
Ryan meliriknya dengan pandangan geli. “Anak kos, ya? Nggak kebayang kamu rebutan air galon sama penghuni lain.”
“Jangan remehin aku begitu dong. Aku bahkan bisa masak mi instan dengan tiga cara berbeda,” jawab Asmara bangga, membuat Ryan terkekeh pelan.
Mereka berhenti di sebuah deretan warung tenda yang ramai. Asap sate mengepul, aroma seafood goreng menguar ke udara.
Ryan menatap sekeliling. “Kamu mau makan apa?”
Asmara menatap papan menu sederhana yang bergoyang diterpa angin. “Coba seafood, yuk. Katanya udang asam manis di sini enak banget.”
Ryan mengangguk dan memesan dua porsi. Mereka duduk di kursi plastik biru yang agak goyah, sementara angin laut berembus lembut.
Asmara menatap pemandangan sekitar, wajahnya tampak tenang. “Aku suka suasana kayak gini,” katanya pelan. “Nggak formal, nggak banyak mata yang menatap, cuma… lingkungan sederhana”
Ryan menatapnya lama. “Kamu tahu nggak? Aku jarang lihat kamu setenang ini.”
Asmara tersenyum tipis. “Mungkin karena kamu selalu lihat aku dalam tekanan. Di kabin, di tengah gosip, atau saat kamu lagi marah.”
Ryan memiringkan kepala, menatap wajah gadis itu lebih dalam. “Marahku bukan karena benci, Mara.”
Asmara menunduk sedikit. “Aku tahu. Tapi kamu nggak perlu terlalu keras sama aku.”
Ryan menarik napas, menatap jauh ke arah laut. “Aku cuma… nggak pengen kamu terus disakiti. Aku tahu rasanya disalahpahami, dituding hal yang bukan-bukan.”
Asmara terdiam. Kata-kata Ryan menggema lembut di kepalanya, terasa tulus tanpa harus disuarakan dengan lembut.
Pelayan datang membawa makanan, aroma udang asam manis dan nasi panas langsung mengisi udara.
Asmara mencicipi satu suapan dan matanya berbinar. “Enak banget! Kamu harus coba ini.”
Ryan hanya tersenyum melihat ekspresi antusiasnya. “Kamu kayak anak kecil aja kalau nemu makanan enak.”
Asmara menunjuk sendoknya ke arah Ryan. “Masa sih ? Biarin ah...daripada kamu sok cool terus.”
Ryan terkekeh, lalu menurut. “Baiklah, Nona Asmara.”
Malam itu berjalan ringan. Mereka makan sambil bercanda, bercerita tentang penerbangan, pengalaman lucu penumpang, hingga hal-hal kecil yang membuat mereka tertawa tanpa sadar.
Dan tanpa keduanya sadari, jarak yang dulu terasa kaku kini perlahan mencair.
Selesai makan, Ryan membayar dan mereka berjalan pulang ke hotel melewati trotoar yang sunyi.
Asmara menatap langit sambil tersenyum samar. “Malam ini… terasa beda.”
Ryan meliriknya. “Beda kenapa?”
Asmara menatapnya sekilas, lalu berkata pelan, “Karena untuk pertama kalinya aku merasa tenang di dekat kamu.”
Ryan berhenti melangkah. Tatapannya sedikit melembut, tapi ada sesuatu di balik sorot matanya, campuran rasa kagum dan sesuatu yang lebih dalam.
“Kalau gitu,” katanya pelan, “aku janji bakal bikin kamu ngerasa tenang lagi… berkali-kali.”
Asmara menunduk cepat, wajahnya memanas.
Ryan tersenyum kecil, kali ini bukan senyum dingin seperti biasanya, tapi hangat, jujur, dan tanpa pura-pura.
Malam semakin larut ketika Ryan dan Asmara tiba kembali di hotel.
Udara laut yang lembap terbawa masuk bersama mereka, menyusup lewat pintu kaca lobi yang sudah mulai sepi.
Langkah mereka berdua pelan, tapi suasananya terasa berbeda, tak lagi kaku seperti dulu.
Asmara berjalan di samping Ryan, senyum kecil masih tersisa di wajahnya.
Sementara Ryan, yang biasanya dingin dan menjaga jarak, kini tampak lebih santai.
Ia bahkan sempat menahan pintu lift untuknya, dan itu saja sudah cukup membuat hati Asmara berdebar aneh.
Begitu pintu lift tertutup, hanya ada mereka berdua di dalam ruang sempit itu.
Suasana hening. Hanya bunyi lembut musik instrumental dari speaker di langit-langit.
Asmara menatap angka lantai yang bergerak naik, mencoba mengalihkan fokus dari detak jantungnya yang terlalu keras.
Namun suara berat Ryan memecah keheningan.
“Terima kasih, ya.”
Asmara menoleh cepat. “Untuk apa?”
“Udah mau keluar malam ini. Aku cuma… pengen suasana normal bareng kamu.”
Asmara menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum lembut. “Kamu nggak harus selalu menahan diri, Ryan. Kamu juga manusia, bukan cuma kapten yang kaku.”
Ryan terkekeh kecil. “Kamu baru tahu sekarang?”
“Aku baru lihat sisi lain kamu,” balas Asmara tenang.
Lift berbunyi ding, pintunya terbuka, tapi keduanya masih berdiri di tempat, saling menatap.
Sampai akhirnya Ryan berkata pelan, nyaris seperti bisikan,
“Selamat malam, Asmara.”
Asmara tersenyum, lalu berjalan keluar tanpa membalas, tapi dalam hatinya, ada sesuatu yang tidak bisa ia pahami mulai tumbuh pelan-pelan.
---
Keesokan paginya.
Lobi hotel sudah ramai dengan awak kabin yang bersiap untuk penerbangan pagi.
Asmara datang sedikit lebih dulu dari jadwal briefing, seperti biasa ia mengenakan seragamnya dengan rapi, rambut disanggul sempurna.
Namun seketika, bisikan dan lirikan kembali mengikuti setiap langkahnya.
“Eh, itu dia…”
“Katanya semalam keluar bareng Kapten Ryan.”
“Udah jelas banget, kan? Mereka makin mesra.”
Asmara pura-pura tak peduli, meski dadanya terasa sesak.
Ia tahu gosip di kalangan kru bisa menyebar lebih cepat dari kecepatan pesawat lepas landas.
Dari kejauhan, Olivia muncul, berjalan dengan langkah percaya diri, senyum sinis mengembang di bibirnya.
“Pagi, Asmara,” sapanya manis tapi tajam. “Tidurmu nyenyak, ya? Atau… terlalu capek habis jalan-jalan malam?”
Asmara menatapnya tenang. “Pagi juga, Liv. Aku tidur nyenyak kok.”
Jawabannya begitu lembut tapi berisi, membuat Olivia menggigit bibir menahan kesal.
Ryan muncul tak lama kemudian, mengenakan seragam pilot lengkap. Sorot matanya langsung mencari satu wajah, dan saat menemukan Asmara, ia menatapnya sekilas, lalu tersenyum tipis.
Sekilas saja, tapi cukup untuk membuat beberapa orang menatap mereka dengan campuran heran dan iri.
Olivia memutar bola matanya, lalu berbisik ke pramugari lain,
“Tuh kan, makin lama makin nggak tahu diri. Di tempat kerja aja masih flirting. Nggak profesional banget.”
Asmara berpura-pura sibuk mengecek dokumen penerbangan, tapi dalam hati ia tahu: kata-kata Olivia membuatnya semakin tidak nyaman.
Ryan, yang melihat gelagat itu, menghampiri dengan tenang.
Ia berdiri di samping Asmara, lalu berkata cukup keras untuk didengar semua orang di sekitarnya,
“Siapa pun yang punya masalah dengan hubungan pribadi saya, silakan bicara langsung ke saya, bukan di belakang. Fokus kerja kalian jauh lebih penting dari mengomentari hubungan Saya dengan Asmara.”
Suasana langsung hening. Olivia hanya bisa menatap dengan wajah memerah menahan malu.
Ryan menoleh pada Asmara dan memberi isyarat halus dengan matanya, seolah berkata: Abaikan mereka.
Asmara mengangguk kecil, dan kali ini, untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar dilindungi.
---
Setelah briefing berakhir, mereka berdua berjalan berdampingan menuju boarding gate.
Asmara menunduk sedikit, suaranya pelan tapi tulus,
“Terima kasih, Ryan. Aku tahu kamu nggak harus ngelakuin itu di depan semua orang.”
Ryan menatapnya dengan tenang. “Aku cuma nggak suka liat kamu disudutkan terus. Lagian, aku nggak pura-pura lagi, Mara.”
Asmara terdiam, matanya menatap Ryan, mencari makna di balik kata-kata itu.
Ryan menatap balik, senyum samar menghiasi wajahnya.
“Aku serius sama hubungan kita, meskipun awalnya cuma kesepakatan. Tapi sekarang…”
Ia berhenti sebentar, menunduk sedikit, suaranya rendah tapi jelas,
“Sekarang aku beneran nggak pengen kehilangan kamu.”
Asmara menahan napas, hatinya bergetar hebat. Ia tahu, kata-kata Ryan bukan lagi bagian dari pura-pura. Dan hal itu membuat Asmara tidak tahu apakah ia harus senang atau takut.
...✈️...
...✈️...
...✈️...
^^^Bersambung...^^^