Ketika dendam dan cinta datang di waktu yang sama, pernikahan bak surga itu terasa bagai di neraka.
“Lima tahun, waktu yang aku berikan untuk melampiaskan semua dendamku.”_ Sean Gelano Aznand.
“Bagiku menikah hanya satu kali, aku akan bertahan sampai batas waktu itu datang.”_ Sonia Alodie Eliezza.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 : Tamparan Menyakitkan
...🌼...
...•...
...•...
Sonia bangun dengan seluruh tubuh yang terasa remuk, dia meringis menahan sakit akibat siksaan demi siksaan yang dilayangkan oleh Sean dalam dua minggu ini, tiada hari tanpa kekerasan yang Sonia alami. Dia harus menghadapi setiap amukan, cacian, hinaan hingga siksaan dari Sean tanpa henti.
Bukan hanya fisik saja yang sakit, tapi juga hatinya. Sean selalu menghantam Sonia dengan perkataan yang begitu menusuk.
Sonia berjalan ke kamar mandi dan berendam di dalam bathub, dinginnya air membuat rasa sakit di tubuhnya berkurang.
Sonia sudah diperbolehkan untuk keluar kamar dan bebas di dalam rumah besar itu, namun masih tidak boleh keluar rumah, ia juga tidak diberikan ponsel oleh Sean serta tidak diizinkan menggunakan sosial media, saat ini Sonia diperlakukan layaknya seorang tawanan.
"Pastikan dia makan dengan baik dan bergizi, saya tidak ingin dia sakit hanya karena makanan dari kalian tidak bermutu, mengerti," ingat Sean pada pelayannya.
"Iya Tuan."
Pria itu lanjut pergi ke kantor, semalam dia menyiksa Sonia hampir 2 jam di dalam ruangan itu hingga Sonia lemah tak berdaya, namun seperti biasa, seberapa kuat Sean menyiksanya, perempuan itu sama sekali tidak mengeluarkan suara rintihan dan kesakitan, dia menahan entah untuk apa, hal itu membuat Sean heran.
...***...
Malam harinya, Sean meminta Sonia untuk masuk ke ruang penyiksaan, ruangan yang menjadi saksi betapa menderitanya Sonia di tangan suami sendiri, Sean sudah menunggu namun perempuan itu tak kunjung datang.
Sekitar 10 menit menunggu, akhirnya Sonia dengan wajah pucat dan langkah gontai memasuki ruangan yang sudah dua minggu ini menjadi saksi kejamnya Sean.
"Kenapa kau lama sekali ke sini?" Suara Sean terdengar begitu dingin, tak ada sedikit pun rasa kasihan atau iba pada Sonia.
"Maafkan aku, aku baru selesai makan malam," jawab Sonia, dengan langkah tegap Sean menghampiri istrinya itu lalu melayangkan tamparan di pipi Sonia hingga kepala dan rahangnya terasa sakit. Sean menjambak rambut Sonia dengan kuat hingga rambut itu tertinggal beberapa helai dalam genggaman Sean.
"Aku tidak suka keterlambatanmu, kau mau tau apa hukumanmu malam ini?" Sonia hanya menggeleng dengan air mata yang sudah keluar dari sudut matanya, kepala Sonia mendongak ke atas akibat jambakan tangan Sean di rambutnya yang begitu kuat.
"Kali ini aku tidak akan mencambukmu, tapi aku akan menamparmu sampai aku puas." Sonia terisak, hari ini seluruh tubuhnya sangat sakit, dia juga sedang demam.
Sean melepaskan jambakan di rambut Sonia lalu memintanya untuk duduk di kursi yang telah dia sediakan, lalu mengikat tangan dan kaki Sonia.
Tanpa rasa kasihan sama sekali, Sean menampar kuat kedua pipi Sonia dengan tangannya hingga kepalanya terasa amat pusing, pipinya kebas sampai tamparan itu tak lagi terasa, bibir wanita itu robek, hidungnya mengeluarkan banyak darah akibat kuatnya tamparan Sean.
"Aku rasa hukumanmu cukup sampai di sini, kau beruntung karena aku sedikit lelah dan butuh istirahat, kembalilah ke kamarmu!" Sean melepaskan ikatan Sonia lalu keluar dari ruangan itu, tangan Sean memerah akibat tamparan yang dia lakukan.
"Ayah, tubuh Sonia sakit Yah, apa aku begitu lemah sehingga aku mengeluh seperti ini? Aku pikir jika sudah biasa disiksa, maka semua akan baik-baik saja, tapi nyatanya ... semakin hari malah semakin sakit yang aku rasakan, aku sangat merindukan Sean yang dulu, aku butuh sandaran sekarang Ayah," desis Sonia dalam tangisnya karena merasa tidak kuat dengan perlakuan Sean.
Sonia tidak sanggup lagi untuk kembali ke kamarnya, dia tertidur di kursi tempat Sean menyiksanya tadi dengan kondisi wajah bengkak, bibir dan hidung berdarah serta kedua pipi memerah.
Sedangkan di dalam kamar, Sean menangis tanpa suara menatap telapak tangannya yang sudah memerah karena menampar Sonia tadi. Dia merasakan sakit teramat dalam ketika melihat istrinya terluka seperti itu, namun ego masih menuntutnya untuk terus membalaskan dendam pada Sonia.
"Kenapa kau tidak menjerit atau berteriak ketika aku menyiksamu Sonia? Kau membuat aku ikut merasakan sakit dari setiap tetes air matamu itu," ujar Sean menatap foto Sonia yang terpajang besar di dalam kamarnya.
Kamar Sean dipenuhi dengan foto Sonia, itulah alasan kenapa dia tidak mengizinkan Sonia memasuki kamar tersebut.
Sean membaringkan tubuhnya dan menetralkan hati sampai tertidur.
"Sean, tolong aku, tubuhku sakit Sean," jerit Sonia yang saat ini berbaring tak jauh dari Sean, alat-alat medis menempel di tubuh lemahnya.
"Sonia, kamu kenapa?"
"Apa aku akan tersiksa sampai mati? Apa tidak akan ada kebahagiaan dalam hidupku bersama denganmu? Aku mencintaimu Sean," lirih Sonia sembari menahan rasa sakit di tubuhnya, lalu mata Sonia terpejam hingga layar monitor di samping ranjang Sonia memperlihatkan garis lurus yang menandakan kalau Sonia meninggal dunia.
Sean terbangun dengan keringat yang membasahi wajahnya, dia mengusap wajah itu dengan gusar lalu menurunkan kaki dari tempat tidur.
"Cuma mimpi." Napas Sean memburu, dia begitu takut kalau istrinya meninggal, Sean melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, Sean membawa langkahnya ke kamar Sonia tapi istrinya tidak ada di sana.
"Ke mana dia?" gumamnya, Sean ingat terakhir kali meninggalkan Sonia di ruang penyiksaan, dia kembali ke sana namun Sonia tidak ada juga.
Sean menjadi panik dan cemas, dia kembali ke kamar Sonia dan lega karena melihat Sonia sudah ada di dalam kamar.
"Ada apa Sean? Kok kamu kelihatan panik begitu?" tanya Sonia sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Ia baru saja selesai berendam.
"Dari mana kamu?" tanya Sean dengan nada datar.
"Aku nggak ke mana-mana."
"Aku tadi ke sini tapi kamu nggak ada."
"Oh aku ketiduran di dalam bathub tadi dan ini baru ganti baju," jawab Sonia lalu tersenyum, senyuman istrinya semakin membuat Sean terluka.
Dia mendekati Sonia lalu meraba wajah sang istri yang terlihat bengkak dan merah akibat perbuatannya tadi, mata Sonia juga terlihat sayu.
"Badan kamu panas sekali Sonia, kamu demam?" tanya Sean dengan ekspresi khawatir.
"Iya sedikit, paling besok sembuh."
"Sedikit apanya, ini panasmu sangat tinggi, lebih baik kita ke rumah sakit."
"Jangan Sean, aku minta obat pereda nyeri saja, tubuhku sangat sakit sekarang."
"Tunggulah di sini, akan aku ambilkan."
Sean sedikit berlari ke kamarnya sambil terus berkata, "Sudah jelas lagi demam, kenapa malah berendam tengah malam begini."
Sonia tersenyum ketika Sean mengkhawatirkan dirinya, serasa ada sedikit harapan bahwa Sean masih mencintai dia dan akan memaafkannya.
Sean datang kembali membawakan obat pereda nyeri untuk Sonia dan juga obat oles. Dia mengoleskan obat itu ke wajah istrinya lalu tak lama Sonia tertidur. Sean menatap wajah damai yang membengkak itu, wajah yang tidak pernah tersenyum ceria lagi semenjak menikah dengannya.