NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Ternodai

Cahaya Yang Ternodai

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / One Night Stand / Romansa / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:329
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.

Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.

Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.

Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

12. Hamil?

Keesokan paginya, mentari sudah meninggi ketika Alendra membuka matanya. Kepalanya terasa berat, tubuhnya lemas, dan perutnya kembali nyeri seperti malam-malam sebelumnya. Ia duduk di tepi ranjang, memegangi perutnya sambil menunduk dalam diam, berharap rasa sakit itu mereda, tapi sia-sia.

Suara ketukan pintu terdengar.

“Len, ayo sarapan dulu, Nak. Jangan sampai telat sekolah,” panggil Larissa, ibunya, dari luar kamar.

Alendra buru-buru menjawab, berusaha terdengar normal. “Iya, Bu! Alendra siap-siap dulu.”

Dengan langkah pelan, ia keluar kamar lalu masuk ke kamar mandi, membasuh wajahnya yang pucat. Matanya sedikit bengkak karena kurang tidur. Ia menatap dirinya lama di cermin—wajah seorang gadis yang berusaha terlihat kuat, tapi tubuhnya semakin kalah.

Ia tahu hari ini tak bisa lagi ia paksakan untuk masuk sekolah. Pusing dan mual sudah semakin sering datang, dan rasa sakit di perutnya tak lagi bisa ia abaikan. Namun, ia juga tak ingin membuat orangtuanya panik.

Setelah berganti seragam, Alendra keluar dari kamar dengan tas sekolah di tangan. Larissa tersenyum lega melihat putrinya hendak berangkat.

“Hati-hati ya, Nak. Jangan lupa makan di sekolah.”

“Iya, Bu.” Senyum itu ia paksakan, lalu berpamitan.

Namun begitu keluar rumah, setelah mengantar Ezriel, adiknya ke sekolah dasar, Alendra tak mengayuh sepedanya ke sekolah. Ia justru belok ke arah jalan lain, menuju halte kecil di ujung jalan. Dari sana, ia naik angkutan umum menuju rumah sakit kota.

Sepanjang perjalanan, ia menunduk, menggenggam erat tali tasnya. Dadanya terasa sesak oleh rasa takut. Bukan hanya takut pada sakitnya, tapi juga pada kemungkinan kenyataan—jika benar ada sesuatu yang buruk dalam tubuhnya.

Sesampainya di rumah sakit, langkahnya semakin berat. Bau antiseptik yang menusuk hidung membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Ia menuju meja pendaftaran, mengisi data dengan tangan yang sedikit gemetar, lalu duduk di kursi tunggu.

Beberapa menit kemudian, seorang perawat memanggil namanya.

“Alendra Safira Adelia?”

“I… iya,” jawabnya pelan, lalu berdiri dan masuk ke ruang periksa.

Seorang dokter muda dengan wajah ramah menyambutnya. “Silakan duduk, Alendra. Jadi, apa yang kamu rasakan?”

Alendra menggigit bibir bawahnya, menunduk sesaat sebelum menjawab.

“Saya… sering pusing, mual, terus sakit di perut, Dok. Udah beberapa minggu ini. Badan juga gampang lemes.”

Dokter itu mengangguk pelan sambil mencatat. “Baik. Gejalanya perlu diperiksa lebih detail. Saya sarankan kamu tes darah dan USG supaya kita tahu jelas apa penyebabnya, ya. Jangan khawatir, semua prosedurnya aman.”

Alendra hanya mengangguk, meski wajahnya semakin pucat. Ia merasa takut, seakan sedang menunggu sebuah vonis.

Di ruang tunggu laboratorium, ia duduk sendirian, memeluk tasnya erat-erat. Dari luar, ia tampak tenang. Namun dalam hati, rasa cemas terus mengguncang.

“Kalau sakitnya serius gimana? Kalau aku nggak bisa sekolah lagi gimana?” pikirnya.

Sementara itu, di rumah, Larissa dan suaminya masih yakin putri mereka sedang duduk di bangku kelas, mendengarkan pelajaran dengan tenang. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Alendra justru sedang duduk di kursi rumah sakit, menanti panggilan untuk menjalani tes yang bisa mengubah hidupnya.

 

“Alendra Safira Adelia!” panggil seorang perawat dari pintu laboratorium.

Alendra buru-buru berdiri, lututnya terasa lemas. Ia berjalan pelan masuk ke dalam ruangan. Bau alkohol medis menyeruak begitu ia melihat ranjang kecil dan meja penuh peralatan.

“Duduk di sini dulu ya, Dek,” kata perawat lembut, menyiapkan jarum suntik untuk tes darah.

Alendra menarik napas dalam-dalam. Tangannya sedikit bergetar ketika ia menggulung lengan seragamnya. Saat jarum menusuk kulitnya, ia menggigit bibir, menahan rasa perih yang sebetulnya tak seberapa dibanding rasa nyeri yang setiap hari ia tanggung di perutnya.

“Bagus,” Perawat itu tersenyum, lalu menempelkan kapas di lengannya. “Udah selesai. Sekarang kamu tunggu panggilan buat USG, ya.”

Alendra hanya mengangguk. Ia keluar dengan langkah kecil, kembali duduk di kursi tunggu. Tangannya masih memegang bekas tusukan jarum, sementara pikirannya melayang-layang.

Alendra kembali dipanggil untuk menjalani USG. Ia melangkah masuk dengan hati berdebar, menatap ruangan yang dingin dengan alat-alat medis yang terasa asing. Seorang dokter perempuan paruh baya menyambutnya dengan senyum lembut.

“Silakan tiduran di sini ya, Nak,” ujar dokter itu sambil menyiapkan alat.

Alendra menurut. Ia berbaring di ranjang periksa, seragam sekolahnya sedikit ia singkapkan ketika dokter meminta izin. Gel yang dingin segera dioleskan ke perutnya, membuat tubuhnya sedikit merinding.

“Tenang saja, ini tidak sakit. Kita hanya melihat kondisi di dalam perutmu,” ucap sang dokter, mencoba menenangkan.

Alendra mengangguk pelan. Matanya menatap ke arah monitor, meski sebenarnya ia tidak paham apa yang ditampilkan. Dokter mulai menggerakkan probe USG perlahan di atas perutnya, layar menampilkan gambar hitam putih yang bergerak samar.

Sesaat, wajah dokter itu tampak serius. Alendra bisa melihat perubahan ekspresinya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

“Bagaimana, Dok?” tanyanya dengan suara gemetar.

Dokter menoleh padanya, menarik napas, lalu berkata dengan hati-hati.

“Alendra… di perutmu ada sesuatu yang harus kamu ketahui. Saya menemukan adanya janin. Itu artinya… kamu sedang hamil.”

Alendra terdiam. Kata-kata itu terasa seperti petir yang menyambar dalam sekejap. Matanya melebar, tubuhnya menegang.

“Ha… hamil?” suaranya nyaris tak terdengar.

Dokter mengangguk pelan. “Iya, Nak. Usia kehamilanmu sekitar beberapa minggu. Itu sebabnya kamu sering mual, pusing, dan sakit perut. Semua gejala yang kamu rasakan sesuai dengan kehamilan muda.”

Air mata langsung menggenang di pelupuk mata Alendra. Dunia seakan runtuh di hadapannya.

“Tapi… tapi, Dok… saya masih sekolah… saya…” suaranya bergetar, tidak sanggup melanjutkan.

Dokter mendekat, meletakkan tangan di bahunya dengan lembut.

“Saya tahu ini berat. Kamu masih sangat muda. Tapi kamu harus kuat. Setelah ini, kamu perlu berbicara dengan keluargamu, agar bisa mendapat pendampingan. Jangan memendam semuanya sendirian, Nak. Itu akan lebih berbahaya.”

Alendra menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya mengalir deras tanpa bisa ia tahan. Ia ingin berteriak, ingin menyangkal, tapi layar monitor itu jelas menunjukkan kenyataan.

Ia tidak hanya membawa dirinya sendiri lagi—di dalam tubuhnya ada kehidupan lain.

Perasaan takut, panik, bingung, dan rasa hancur bercampur jadi satu. Bagaimana ia harus menjelaskan ini pada ibunya? Bagaimana dengan sekolahnya? Bagaimana masa depannya nanti?

Semua pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya, sementara tubuhnya terasa semakin berat.

Dokter memberinya waktu untuk menenangkan diri. “Kamu boleh duduk dulu di ruang tunggu, nanti hasil pemeriksaan akan saya tulis lengkap. Tolong jangan pernah berfikir untuk di gugurkan, ya.”

Namun, Alendra hanya mengangguk lemah, tanpa benar-benar tahu apa langkah selanjutnya.

Yang ia tahu, hidupnya baru saja berubah dalam sekejap.

Langkah Alendra terasa berat saat meninggalkan rumah sakit. Di tangannya tergenggam erat amplop putih berisi hasil pemeriksaan. Ia menunduk sepanjang jalan, berusaha menahan air mata agar tidak pecah di depan orang banyak. Tapi begitu sampai di rumah, semua pertahanan itu runtuh.

Ia langsung masuk ke kamar, menutup pintu, lalu duduk di lantai sambil menekan amplop itu ke dadanya. Tangisnya pecah, sesak, penuh dengan ketakutan. Ia menangis sejadi-jadinya, tanpa peduli apakah suaranya terdengar keluar atau tidak.

Larissa, yang saat itu sedang di dapur, menghentikan kegiatannya. Ia menoleh ke arah atas rumah, mendengar suara tangisan putrinya yang tidak biasa.

“Yah… kamu dengar suara Alendra?” tanyanya cemas pada Ardian, suaminya, yang baru pulang dari kantor dan sedang meletakkan tas kerjanya.

Ardian mengerutkan dahi. “Iya, itu kayaknya tangisan… keras sekali.”

Mereka berdua buru-buru naik ke lantai atas, diikuti Ezriel yang penasaran. Anak kecil itu menggenggam lengan ibunya sambil berbisik, “Kak Len kenapa, Bu? Kok nangis?”

Larissa mengetuk pintu kamar putrinya. “Len? Nak, buka pintunya… ada apa?”

Namun tangisan Alendra makin menjadi-jadi. Ia menutupi wajahnya dengan bantal, berusaha menyembunyikan suaranya, tapi justru terdengar makin jelas.

Ardian akhirnya berkata dengan tegas, “Len, ini Ayah. Tolong buka pintunya. Kamu bikin kami khawatir.”

Butuh beberapa menit sebelum terdengar suara kunci diputar dari dalam. Pintu terbuka perlahan, dan tampaklah Alendra dengan wajah sembab, mata bengkak, dan tubuh gemetar. Amplop putih itu masih tergenggam di tangannya.

“Ya Allah, Nak…” Larissa langsung memeluk putrinya. “Kenapa begini? Ceritain sama Ibu.”

Alendra hanya bisa menangis di pelukan ibunya. Ia tidak sanggup bicara, tidak tahu harus mulai dari mana. Ardian mendekat, ikut menunduk ke arah putrinya. “Len, kamu sakit? Itu apa yang kamu pegang?” tanyanya lembut, menatap amplop di tangan Alendra.

Ezriel, yang berdiri di dekat pintu, ikut khawatir. “Kak Len jangan nangis, nanti Ezriel juga ikutan nangis…”

Mendengar itu, tangisan Alendra makin pecah. Ia akhirnya meraih amplop itu dengan tangan gemetar, lalu menyerahkannya pada ayahnya.

Ardian menerima dan membuka kertas hasil dokter dengan hati-hati. Matanya membaca cepat deretan tulisan medis di dalamnya. Seketika wajahnya berubah. Nafasnya tertahan, sementara tangannya bergetar saat menatap satu kata yang jelas tertulis: kehamilan.

“Ya Allah…” Ardian terdiam, menatap putrinya dengan campuran terkejut dan tidak percaya.

Larissa, yang menyadari sesuatu dari ekspresi suaminya, buru-buru ikut melihat hasil itu. Begitu matanya membaca isi kertas, ia pun menutup mulut dengan tangan, tubuhnya gemetar.

“Len… ini maksudnya apa, Nak?” suara Larissa pecah, hampir berbisik.

Alendra menangis keras-keras, mengguncang kepalanya. “Aku… aku nggak tahu harus gimana, Bu… aku takut…”

Larissa langsung terduduk lemas di lantai. Ardian mencoba tetap tegar, meski wajahnya jelas dipenuhi syok dan amarah yang ia tahan mati-matian.

“Len…” Ardian menatap putrinya tajam, suaranya bergetar. “Siapa yang melakukan ini sama kamu?”

Alendra tidak sanggup menjawab. Hanya tangisan yang keluar dari bibirnya.

Ezriel, yang belum benar-benar mengerti, bertanya polos, “Ayah… Ibu… Kak Len sakit apa? Kok semua nangis?”

Larissa meraih bahu anak bungsunya dan berusaha menenangkannya. “Ezriel, ayo ke kamar dulu ya, Nak… biar Ibu sama Ayah bicara sama Kakakmu.”

Dengan bingung dan wajah murung, Ezriel digiring keluar oleh pembantu rumah tangga. Pintu tertutup kembali. Kini hanya ada Alendra dan kedua orangtuanya di kamar itu, bersama keheningan yang mencekam.

Alendra masih terisak, sementara Larissa memegangi kepalanya, dan Ardian berusaha mengendalikan emosinya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!