Reva Maharani kabur dari rumahnya karena di paksa menikah dengan pak Renggo ,ketika di kota Reva di tuduh berbuat asusila dengan Serang pria yang tidak di kenalnya ,bernama RAka Wijaya ,dan warga menikahkan mereka ,mereka tidak ada pilihan selain menerima pernikahan itu ,bagaimana perjalan rumah tangga mereka yang berawal tidak saling mengenal ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perhatian Reva
Semalam Reva tidak bisa tidur ,Pagi itu datang lebih cepat dari biasanya—bukan karena matahari, tapi karena kebiasaan lama yang tak bisa dilepaskan. Reva terbangun sebelum jam weker berbunyi. Matanya terbuka perlahan, menatap langit-langit kontrakan yang retak, lalu menoleh ke sisi lain kasur. Raka masih tidur, tubuhnya melingkar pelan, napasnya dalam namun sesekali tersendat—mungkin mimpi buruk, atau mungkin luka di pelipisnya masih mengganggu.
Reva bangkit perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara. Kakinya menyentuh lantai yang dingin, lalu ia meraih selendang tipis yang digantung di paku karat di dinding. Ia memakainya seperti perisai—bukan hanya dari dingin, tapi dari rasa canggung yang masih menggantung di antara mereka.
Mereka sudah menikah. Secara hukum, secara agama, bahkan secara sosial—meski hanya di mata warga kampung yang haus akan drama moral. Tapi secara hati? Mereka masih dua orang asing yang terjebak dalam satu ruang sempit, dipaksa berbagi hidup tanpa izin dari jiwa masing-masing.
Namun, Reva bukan tipe perempuan yang menyerah pada kegetiran. Ia tumbuh di keluarga sederhana di Jawa Tengah, di mana ibunya selalu berkata: *“Kalau kamu tak bisa mengubah keadaan, ubahlah caramu menyikapinya.”*
Dan hari ini, ia memilih untuk menyikapinya dengan kebaikan.
***
Dapur kecil di belakang kontrakan—lebih tepat disebut sudut dengan kompor dan panci berlubang—menjadi tempat pertama yang ia tuju. Ia menyalakan api dengan hati-hati, lalu mencuci beras sisa semalam. Hanya cukup untuk dua porsi, tapi ia membaginya: satu untuk bekalnya, satu untuk Raka.
Ia menumis sedikit bawang merah dan telur yang hampir kedaluwarsa, lalu mencampurnya dengan nasi hangat. Tak ada lauk mewah, tapi ia berusaha membuatnya terlihat layak dimakan. Ia membungkus nasi itu dengan daun pisang yang ia minta dari warung Bu Yanti semalam—gratis, karena Bu Yanti tahu Reva sedang “dalam masalah”.
Setelah itu, ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan obat luka yang ia beli dari apotek murah dekat tempat kerjanya kemarin. Ia tak sempat bekerja penuh, tapi bosnya memberinya uang muka karena tahu Reva “sedang mengalami musibah”. Dengan uang itu, ia membeli perban, antiseptik, dan obat pereda nyeri—semua untuk Raka.
Ia tak tahu apakah laki-laki itu akan menerimanya. Tapi ia tak peduli. Ia melakukan ini bukan untuk disukai, tapi karena hatinya tak tega melihat orang menderita—apalagi jika orang itu kini “suaminya”, sekalipun hanya di atas kertas.
***
Ketika Reva kembali ke kamar dengan nampan kecil berisi nasi dan obat, Raka sudah duduk di tepi kasur, memegang kepala dengan tangan gemetar.
“Kamu sakit?” tanya Reva pelan.
Raka mengangguk. “Pusing… dan luka ini terasa panas.”
“Biarkan aku lihat.”
Ia duduk di lantai, membuka perban lama dengan hati-hati. Luka di pelipis Raka memang mulai memerah—tanda infeksi ringan. Reva membersihkannya dengan kapas yang dibasahi antiseptik, lalu mengoleskan salep dan membalutnya dengan perban baru.
"Ternyata dia cantik juga ." suara hati Raka .
Raka diam sepanjang proses itu. Ia menatap Reva dari balik bulu matanya yang lebat. Ia tak menyangka perempuan ini—yang kemarin menangis, marah, dan menolak keras—kini merawat lukanya dengan tangan yang lembut.
“Kenapa kamu lakukan ini?” tanyanya tiba-tiba.
Reva tak langsung menjawab. Ia menyelesikan perban, lalu menyerahkan nasi bungkus dan obat pereda nyeri. “Makan dulu. Obatnya diminum setelah makan.”
“Tapi… kamu bahkan tidak mengenalku,” lanjut Raka, suaranya serak. “Kamu tidak wajib merawatku.”
Reva menatapnya, matanya tenang. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu, kalau aku pergi kerja hari ini dan membiarkan kamu kelaparan atau lukamu memburuk… aku tidak akan tenang sepanjang hari.”
Raka terdiam. Ia menunduk, lalu perlahan mengambil nasi itu. “Terima kasih,” bisiknya.
“Jangan berterima kasih. Ini bukan hadiah. Ini… tanggung jawab,” kata Reva, tapi suaranya tak dingin—justru hangat, seperti embun pagi yang tak menyakitkan.
***
Sebelum berangkat, Reva menyiapkan segalanya. Ia mengisi teko kecil dengan air matang, meletakkannya di meja kecil di sudut kamar. Ia menulis catatan kecil di sobekan kertas buku lama:
> *“Minum obat jam 12 siang. Kalau pusing tidak berkurang, pergi ke puskesmas. Aku pulang jam 5.”*
Ia menaruh catatan itu di atas teko, lalu menggenggam tasnya erat-erat. Di depan pintu, ia berhenti sejenak, menoleh ke arah Raka yang masih duduk memegang nasi.
“Jaga diri,” katanya pelan.
Raka mengangguk. “Kamu juga.”
Dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan paksa itu, ada sesuatu yang nyaris mirip kepercayaan di antara mereka—bukan cinta, bukan keterikatan, tapi rasa saling menjaga yang tumbuh dari kepedulian kecil.
***
Di tempat kerja, Reva bekerja seperti biasa—membersihkan toko ,menyusun barang barang di toko Tapi pikirannya tak pernah benar-benar fokus. Ia terus memikirkan Raka. Apakah ia sudah makan? Apakah ia minum obat? Apakah ia mencoba pergi ke puskesmas?
Bosnya, Bu Lusi,istri dari pak Herman , menyadari kegelisahan itu.
“Kamu baik-baik saja, Rev?” tanya Bu Lusi saat Reva hampir menjatuhkan barang yang ia susun .
Reva buru-buru menangkapnya. “Maaf, Bu. Aku… agak tidak fokus hari ini.”
Bu Lusi menatapnya lama, lalu menghela napas. “Aku dengar kabar dari tetangga. Katanya kamu menikah mendadak.”
Reva menunduk, wajahnya memerah. “Iya, Bu.”
“Karena… kejadian itu?”
Reva mengangguk pelan, tak berani menatap mata majikannya.
Bu Lusi diam sejenak, lalu berkata pelan, “Aku tidak akan menilaimu, Rev. Aku tahu kamu perempuan baik. Kalau kamu butuh waktu, atau butuh bantuan… jangan sungkan bilang.”
Air mata Reva hampir jatuh. Ia menggigit bibir, lalu mengangguk. “Terima kasih, Bu.”
***
Sore itu, Reva pulang lebih awal. Ia membeli telur dan sayur kangkung dari warung dekat kontrakan—uangnya nyaris habis, tapi ia rela. Ia ingin masak yang hangat untuk malam ini.
Ketika ia membuka pintu, ia terkejut. Kamar rapi. Piring bekas nasi sudah dicuci. Teko air kosong—berarti Raka minum. Dan catatan kecilnya… masih di tempatnya, tapi kini ada tulisan tambahan di bawahnya, dengan tinta biru yang luntur:
> *“Aku minum obat. Luka terasa lebih baik. Terima kasih.”*
Reva tersenyum kecil—senyum pertama sejak malam naas itu.
Raka duduk di dekat jendela, membaca koran bekas yang ia ambil dari tempat sampah tetangga. Ia terlihat lebih segar, meski masih pucat.
“Kamu sudah makan siang?” tanya Reva.
“Iya. Nasi itu… enak,” jawab Raka, sedikit malu.
Reva tertawa kecil—suara yang asing di ruangan itu. “Enak? Aku cuma masak pakai bawang dan telur sisa.”
“Tapi… rasanya seperti masakan ibuku,” kata Raka pelan. “Aku lupa kapan terakhir kali seseorang masak untukku.”
Reva terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Tapi di hatinya, ada sesuatu yang melembut.
***
Malam itu, mereka makan bersama—duduk di lantai, berbagi mangkuk kecil berisi tumis kangkung dan telur dadar. Tak ada percakapan panjang, tapi keheningan di antara mereka tak lagi canggung. Ia terasa… alami.
“kalau lukaku sudah baikan ,aku ingin pulang kerumahku “Aku tidak bisa terus-terusan merepotkanmu.”
“Kamu tidak merepotkan,” jawab Reva cepat. “Kita… kita suami istri. Meski ini tidak seperti yang kita inginkan, tapi kita harus saling menjaga.”
Raka menatapnya. “Kamu benar-benar tidak membenciku?”
Reva menggeleng. “Aku tidak membenci siapa pun yang tidak bersalah. Kamu korban, sama sepertiku.”
Mereka saling pandang. Dan untuk pertama kalinya, Reva melihat Raka bukan sebagai ancaman, bukan sebagai beban—tapi sebagai seseorang yang juga kehilangan arah, seperti dirinya.
***
Sebelum tidur, Reva kembali mengganti perban Raka. Kali ini, ia lebih percaya diri. Raka tak lagi kaku—ia duduk diam, membiarkan tangan Reva menyentuh kulitnya dengan lembut.
“Kamu tahu merawat luka,” kata Raka.
“Ibuku sering sakit. Aku terbiasa,” jawab Reva.
“Kamu… punya keluarga di sini?”
“Tidak. Tapi aku masih punya ibu ,dn bapak sambung karena bapak kandungku meninggal dari aku kecil .”
“Dan kamu tetap kuat.”
Reva tersenyum getir. “Kuat itu bukan pilihan. Itu keharusan kalau kamu ingin bertahan hidup di kota ini.”
Raka menghela napas. “Aku berharap… suatu hari nanti, aku bisa membuatmu merasa tidak sendirian lagi,dan aku akan membahagiakanmu .”
Reva menatapnya, lalu perlahan berkata, “Kamu sudah melakukannya. Hari ini… aku tidak merasa sendirian,dan semoga kamu benar benar bisa membuatku bahagia ."
***
Malam itu, mereka tidur lebih tenang. Tak ada air mata. Tak ada rasa takut. Hanya dua jiwa yang mulai belajar saling memahami—bukan karena cinta yang meledak, tapi karena kebaikan kecil yang tumbuh perlahan, seperti tunas di tanah yang tandus.
Reva tahu, pernikahan ini masih rapuh. Masa depan mereka masih gelap. Tapi setidaknya hari ini, ia bisa tidur dengan hati yang sedikit lebih ringan—karena ia tahu, di sisi lain kasur itu, ada seseorang yang juga berusaha menjadi baik.
Dan kadang, di dunia yang kejam ini, kebaikan kecil itu cukup untuk menjaga nyala harapan tetap hidup.