“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”
Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.
Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.
Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.
Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mengambil hak Rani?
Malam itu langit gelap pekat, suara jangkrik bersahutan dari arah kebun belakang rumah. Namun di rumah Bu Marni, suasana justru ramai dan penuh kegirangan. Meja ruang tamu yang biasanya sepi kini dipenuhi beberapa orang warga yang penasaran, melihat Pak Surya—juragan tanah yang terkenal kaya raya—datang dengan pakaian rapi, emas melingkar di jari dan pergelangan tangannya.
Bu Marni menyambut dengan wajah sumringah, hampir seperti anak kecil yang melihat kue kesukaannya.
Andi pun berdiri di samping ibunya, senyum lebar tak bisa disembunyikan.
Sementara Melati… berdandan lebih menor dari biasanya, mengenakan kebaya warna merah terang, rambut disanggul seadanya, dan wajahnya berseri-seri penuh bangga.
“Wah, Pak Surya benar-benar datang…” bisik salah satu tetangga di luar pagar.
“Bukan cuma datang, bawa uang banyak juga,” sahut yang lain.
Pak Surya duduk dengan dada membusung, didampingi dua orang anak buahnya yang membawa koper hitam. Begitu koper dibuka… segepok uang tunai dua ratus juta rupiah tertata rapi di dalamnya.
Bu Marni nyaris menjerit bahagia. “Astaghfirullah… segini banyaknya!” serunya, matanya berbinar-binar.
Andi tertawa puas, “Hahaha… hidup kita berubah, Bu!”
Pak Surya tertawa keras, perut buncitnya ikut berguncang. “Ini baru seserahan awal, Bu Marni. Mahar nikah besarnya menyusul nanti. Saya orangnya nggak pelit kalau sama keluarga calon istri.”
Melati tersipu manja, tangannya memegang tangan Bu Marni. Warga yang menyaksikan ikut bergumam, sebagian iri, sebagian tak habis pikir.
Namun suasana yang penuh tawa itu langsung berubah ketika dari arah kamar terdengar suara langkah pelan. Rani keluar, mengenakan piyama santai, rambut tergerai, dan wajahnya tenang tapi tajam.
Semua mata langsung tertuju padanya.
Tanpa sepatah kata pun, Rani berjalan mendekat ke koper hitam itu. Bu Marni refleks berdiri, matanya melebar.
“Eh, Rani! Kamu mau ngapain?” serunya.
Rani menatap uang itu dingin, lalu mengangkat kepalanya menatap Bu Marni. “Ini uang kalian kan? Bagus. Aku ambil dua ratus juta—UTANG kalian lunas mulai malam ini.”
“APA?!” Bu Marni sontak berteriak.
Andi juga maju selangkah. “Kamu gila ya?! Itu uang Melati! Uang dari Pak Surya!”
Rani terkekeh pelan. “Dulu kalian sendiri yang bilang… kalau uangnya cair, utang kalian sama aku akan dilunasi. Nah, sekarang saatnya. Aku cuma ambil hakku.”
Wajah Bu Marni langsung masam. Ia ingin membantah, tapi kata-kata itu pernah keluar dari mulutnya sendiri—dan disaksikan banyak orang. Kalau ia mengelak, semua tetangga akan tahu siapa yang tidak tahu malu.
Pak Surya hanya terdiam, tapi matanya justru menatap Rani dari ujung kaki sampai ujung rambut. Tatapan itu jelas… bukan sekadar kagum.
“Wah…” gumam Pak Surya, senyum licik terlukis di bibirnya. “Kamu ini… cantik juga, ya. Ternyata rumah ini bukan cuma punya satu bunga.” Ia melirik Rani tanpa malu. “Kalau kamu mau… saya siap jadikan kamu istri keempat.”
Ruangan seketika hening.
Andi dan Bu Marni melongo, tak percaya dengan apa yang baru mereka dengar.
Sedangkan Melati—yang tadinya bangga—merah padam seperti bara api.
“APA?!!” teriak Melati histeris. “Pak Surya! Saya ini calon istri Bapak!! Kenapa Bapak malah ngelirik dia?!”
Pak Surya hanya tertawa lebar. “Lha… saya kan jujur. Kalau saya suka, ya saya bilang. Lagian kamu harus belajar berbagi, toh istri saya udah tiga.”
Melati mencakar udara, matanya menyala. Ia berbalik menatap Rani dengan tatapan penuh kebencian. “KAMU! Dasar perempuan perebut laki orang!”
Rani yang sejak tadi diam hanya menyeringai sinis. “Perebut? Aku?” katanya pelan. “Lucu ya… kamu yang tidur sama suami orang, kamu yang hamil anaknya, tapi aku yang dituduh perebut? Kamu waras, Mel?”
“Mulutmu!” teriak Melati histeris.
Rani menatapnya tajam, lalu mendekat satu langkah hingga jarak mereka sangat dekat. “Dengar baik-baik. Kalau bukan karena aku—yang kerja banting tulang bertahun-tahun—kamu nggak akan bisa kuliah. Kamu nggak akan bisa dandan menor kayak sekarang. Kamu dan keluargamu hidup dari keringatku.”
Wajah Melati pucat, tak bisa membantah.
“Dan sekarang…” Rani menatap Pak Surya dengan sorot mata tajam. “Saya bukan wanita murahan. Saya tidak akan jadi istri keempat Bapak. Jadi simpan saja omongan jorok Bapak buat diri sendiri.”
Warga yang menyaksikan langsung berbisik-bisik, sebagian terkejut, sebagian menahan tawa. Wajah Pak Surya merah padam—antara malu dan gengsi.
Rani lalu mengambil koper hitam berisi uang dua ratus juta itu dengan tenang. Ia tak menggubris teriakan Bu Marni dan Melati yang mencoba mencegah.
“Ini hakku,” ucap Rani dingin. “Dan mulai malam ini… aku nggak punya urusan lagi dengan kalian.”
Andi melangkah maju, hendak merebut koper itu, tapi Rani menatapnya dengan sorot membunuh.
“Satu langkah lagi, Andi… dan kamu akan aku buat masuk penjara,” katanya datar.
Andi langsung terpaku.
Dengan langkah tegak dan kepala terangkat, Rani keluar dari rumah itu. Beberapa tetangga memberi jalan. Sementara di dalam, Bu Marni, Melati, Andi, dan Pak Surya hanya bisa terdiam… dalam malam yang penuh kekacauan.
Begitu keluar pagar, Rani merogoh ponsel jadulnya dan menekan nomor Nadia.
“Nad, aku bawa uangnya. Kita ketemu sekarang.”
bukan ada apanya🤲🤲🤲
apa dibilang temanmu n tetanggamu itu betul sekali sayangila dirimu sendiri
kamu itu kerja banting tulang kok gak perna dihargai sih
mendingan pisa ajah toh blm punya anak
Nasibmu bakal tragis marni andi ma melati
di neraka .