NovelToon NovelToon
Daisy

Daisy

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Persahabatan / Romansa / Kriminal dan Bidadari / Chicklit
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Inisabine

Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.


Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

Noela setengah berlari menghampiri Singgih yang tengah berdiri di depan kelas. Kedua tangannya menggenggam tali tas agar tetap berada di pundaknya.

"Singgih." Noela menjejak kedua kaki setibanya di hadapan Singgih. "Besok temani aku cari kain, yuk? Siangan aja. Ntar pulangnya kita nge-bakso. Es campur. Gimana? Aku yang traktir, deh. Kayak biasanya." Noe tersenyum lebar.

Namun, Noe lupa bahwa Singgih bukan lagi sahabatnya yang bisa diseretnya ke mana pun ia mau.

"Singgih, besok kita datangnya siangan aja." Ajeng keluar kelas dengan menenteng tas.

Singgih belum mengiyakan. Justru ia berada dalam situasi yang mendadak kikuk. Di istirahat pertama tadi, Ajeng mengajaknya ke acara cosplay. Karena besok tak ada acara, ia pun menyanggupinya. Dan, barusan Noe pun mengajaknya ke pasar. Ia memang selalu menemani Noe berburu kain. Tapi masalahnya ia sudah telanjur janji dengan Ajeng―yang lebih dahulu mengajaknya.

"Oh―kamu sudah ada janji sama Ajeng, ya?" senyuman lebar Noe berubah kaku. "Yaa... udah. Kita bisa pergi lain kali. Nggak terlalu mendesak kok. Masih ada sisa stok kain di rumah. Aku duluan, ya," pamitnya tergesa-gesa.

"Noe," panggil Singgih, coba menahan sahabatnya.

Tapi yang terlihat Noela justru mempercepat langkah.

"Aku duluan." Singgih pamit pada Ajeng. Lalu gegas menyusul Noe.

Pantang bagi Singgih melanggar janji. Karena janji adalah utang yang harus ditepati.

---

Besoknya, sesuai waktu janjian, Singgih menjemput Ajeng di rumah gadis itu. Sesaat Singgih terpesona melihat penampilan Ajeng yang unik, tapi cantik ala peri.

"Cantik, nggak?"

"Cantik." Mulut Singgih membeo sendirinya.

"Ini namanya Royal Fairytale." Ajeng menjelaskan konsep lolita yang dipakainya. Sejurus kemudian ia tampak ragu. "Atau Neverland Lolita, ya? Aah, sama aja."

"Kamu yakin mau berpakaian seperti itu?"

"Aku kan, mau ikut cosplay." Ajeng tertawa geli melihat kerutan di kening Singgih. "Wajar kalau aku berpakaian seperti ini."

"Baru tahu ada yang jual baju seperti itu."

"Pinjam." Ajeng mengambil helm dari tangan Singgih. "Bisa mampir sebentar nggak ke rumah Cindy?"

"Bisa." Singgih menaiki vespanya.

"Dia yang udah kasih pinjam aku baju ini. Katanya dia mau dandanin aku juga."

Singgih mengangguk mengerti. Dan, sepanjang perjalanan mereka berkendara, jalanan yang dilintasi mereka langsung mengundang pandang dari orang-orang yang menatap heran bercampur takjub. Orang-orang mungkin berpikiran bahwa ada bidadari yang tengah berkendara di siang bolong.

Setibanya di rumah Cindy, mereka disambut sang pemilik rumah dengan ramah. Rumah Cindy di siang itu sedang kosong―hanya ada Cindy seorang.

"Siapa nih, Jeng?" tanya Cindy penasaran pada Singgih.

"Oh, ini..." Ajeng hanya tersenyum tanggung. "Teman."

Singgih melirik sekilas ke arah Ajeng yang kali ini mengakui dirinya hanya sebagai teman. Berbeda jika yang bertanya laki-laki atau ada yang mengajak berkenalan, Ajeng dengan lantang memperkenalkan dirinya sebagai pacar.

"Rambutku mau dibikin gaya apa?" Ajeng mengalungkan lengannya di lengan Cindy.

"Yakin cuma teman?" Cindy berbisik.

"Teman." Ajeng tersenyum malu-malu.

Mereka pun masuk ke kamar Cindy. Cindy bergerak gesit menata rambut serta merias wajah Ajeng. Tanpa sengaja bedak tabur di tangan Cindy jatuh dan menumpahi ke pakaian Ajeng. Cindy panik dan mengambil pakaian lolita lainnya, lalu menyuruh Ajeng untuk berganti pakaian.

Sementara, Singgih menunggu di ruang tengah sambil menyapu ruangan dalam pandangannya. Trofi penghargaan berjejer dalam lemari kaca―yang kesemuanya dari lomba peragaan busana.

"Ya ampun, sampai lupa."

Teguran Cindy berhasil mengalihkan perhatian Singgih.

"Mau minum apa?"

"Nggak usah repot-repot."

"Sirup dingin, ya?" tawar Cindy. Bergerak melewati Singgih dan mengambil sirup dingin dari kulkas, lalu menuju kembali ke tempat Singgih.

"Makasih." Singgih mengambil gelas dari tangan Cindy.

"Eh, ada apa itu di wajahmu?" Cindy mengamati lekat wajah Singgih. "Bentar. Bentar."

Cindy menjinjit kedua kaki hingga tingginya sekarang―setidaknya hampir―sama dengan Singgih.

Bagai sebuah kebetulan yang di sengaja, tepat di saat itulah Ajeng keluar dan melihat adegan yang di matanya tampak seperti dua orang yang berciuman. Kedua rahang pipi Ajeng mengeras, bahkan bara api mulai memerciki hatinya.

'Aku sudah selesai." Ajeng mengeraskan suaranya. Kekanakan. Dan, masa bodoh.

Cindy menjejakkan tapak kakinya kembali ke lantai. Ia memutar tubuh ke belakang serta-merta memasang wajah serbasalah.

"Aku pulang duluan," pamit Ajeng yang sudah telanjur kesal.

Singgih―yang tak peka―pun masih belum memahami situasinya, justru bingung dengan sikap Ajeng yang mendadak marah tanpa sebab. Setengah berlari ia mengejar Ajeng yang berlari melewati vespanya.

"Ajeng, vespaku di sana." Singgih berhasil menghalangi jalan Ajeng.

Ajeng mengesiap. Untung kakinya cepat mengerem, jika tidak, pasti akan menabrak tubuh Singgih. "Aku mau naik angkot saja." Ia melempar pandang jauh dari Singgih.

"Naik angkot? Pakai baju begini? Nggak malu dilihati orang-orang? Ayo." Singgih membujuk.

Ajeng masih berdiam di tempat. "Kamu... suka sama Cindy?"

"Suka?'

"Tadi kalian ngapain? Deket-deketan gitu."

'Cindy bilang ada sesuatu di wajahku." Suara Singgih tertahan sejenak seraya mengamati wajah Ajeng. "Kamu nggak lagi cemburu, kan?"

Ajeng gelagapan. "Nggak usah GR, deh. Orang yang ngelihatnya bisa salah paham!"

"Terus kenapa kamu pergi gitu aja?"

"Bentar lagi acaranya mulai..." Ajeng berdehem kecil untuk meredam sikap gelagapan. "Aku ambil tas dulu. Ketinggalan di kamar Cindy."

Mereka pun kembali lagi ke rumah Cindy untuk mengambil tas Ajeng yang ketinggalan. Namun, Singgih hanya menunggu di vespa.

Lima menit berlalu, Ajeng masih belum keluar. Singgih beranggapan Ajeng tengah mengobrol―di mana obrolan sebentar perempuan bisa menjadi bermenit-menit lamanya. Hingga ia mendengar suara teriakan dari Ajeng.

Gegas Singgih berlari masuk ke halaman rumah, dan menerjang masuk ke rumah. Matanya membeliak kaget melihat seorang laki-laki tengah melakukan tindak pelecehan pada Ajeng.

Singgih menarik kerah belakang kemeja laki-laki itu dan melayangkan dua bogeman mentah sekaligus. Tercium bau alkohol saat laki-laki itu mengembus napas.

Laki-laki yang tengah mabuk itu terjatuh. Ia menyeka darah yang keluar dari sela bibir. Mendesisi kasar tak terima dihajar. Alkohol; mabuk; bisa dengan mudah menaikkan emosi seseorang. Akal pun jadi hilang.

Singgih sempat melihat Cindy tergeletak di lantai. Entah apa yang terjadi sebelumnya?

Laki-laki itu bangkit dengan sempoyongan untuk melakukan perlawanan, dan Singgih berhasil menghindar.

Salah satu pukulan membabi buta yang dilayangkan oleh laki-laki itu berhasil mengenai wajah Singgih. Perkelahian pun tak terelakkan lagi. Saling adu bogeman.

Ajeng menangis terisak. "Sing―Singgih..." sedu sedannya memohon.

Singgih yang akan melayangkan bogeman untuk yang kesekian kalinya tertahan di udara.

"Hentikan..." suara serak Ajeng memohon.

Singgih menoleh ke Ajeng yang meringkuk bersandar di dinding sambil menutupi bagian dada yang terbuka. Membayangkan orang itu merobek baju Ajeng dan―membuat emosinya mendidih. Namun, saat ia melihat wajah babak belur orang itu, di mana ia nyaris saja menghabisinya, mendadak ia menurunkan emosinya. Ia tak mau sampai kehilangan akal hingga membuat setan di dalam dirinya bertindak.

Singgih melepaskan tangannya yang mencengkeram kerah baju orang itu. Tatapnya jijik, dan memuakkan.

"Ajeng, ada aku di sini." Singgih menggenggam tangan Ajeng yang gemetar.

Singgih membantu Ajeng berdiri. Tangan Singgih cepat menangkap siku lengan Ajeng. Kedua kaki Ajeng yang melemas seperti jelly nyaris saja membuat gadis itu limbung.

Tahu-tahu, suara jeritan Ajeng menyadarkan Singgih akan sesuatu yang bahaya. Singgih memutar tubuh ke belakang mengikuti arah pandang Ajeng. Saat itu pula, dengan kejadian yang begitu cepat, hanya dalam sekejap mata―sesuatu yang tajam menusuk sisi kanan perut Singgih.

Laki-laki itu memperdalam tusukannya, tapi tangan Singgih menahan pisau yang coba terus masuk ke tubuhnya.

Ajeng berteriak histeris melihat rembesan darah yang mengalir dari tubuh serta telapak tangan Singgih yang terluka.

Singgih mulai kehilangan tumpuannya berdiri. Tak mampu menahan dirinya yang kini mulai lemas. Ajeng menyangga tubuh Singgih yang terkulai jatuh. Air mata Ajeng terus bergulir jatuh di tengah isak tangis histerisnya.

Sesaat sebelum Singgih pingsan, ia sempat melihat Rolan berlari panik serta-merta memukulkan sesuatu―mungkin benda tumpul yang ada di rumah ini―ke kepala laki-laki itu.

Kedua mata Singgih memejam. Tenaganya seakan terkuras habis. Bahkan ia tak tahu apa yang akan terjadi kemudian maupun besok.

    *

1
elica
wahhh keren bangettt🤩🤩
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨
elica
hai kak aku mampirrr🤩✨
Inisabine: Haii, makasih udah mampir 😚✨
total 1 replies
US
smg aksyen baku hantam /Good//Good/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!