NovelToon NovelToon
Billioraire'S Deal: ALUNALA

Billioraire'S Deal: ALUNALA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Romansa / Dark Romance
Popularitas:965
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.

Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.

Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.

Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.

Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?

Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.

Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Untuk Istri yang Belum Kucintai

Ruang meeting divisi pemasaran Elvara Corp dipenuhi hawa tegang. AC cukup dingin, tapi keringat tetap menetes di pelipis beberapa staf. Di ujung meja oval panjang, Alaric duduk di kursi pemimpin dengan jas rapi, satu kancing dibuka, dan ekspresi wajah seperti sedang menahan emosi.

Kantor Alaric di gedung utama Alverio Group tapi ia harus turun tangan langsung ke gedung salah satu perusahaanya, Elvara Corp.

Di sisi kanan, Renzo duduk bersandar, hanya memegang tablet dan sesekali mencatat. Ia tampak fokus, tapi tidak ikut bicara. Seperti menyimak suasana. 

Di sisi kiri meja, beberapa staf pemasaran duduk gugup, satu di antaranya Nadhifa—satu-satunya perempuan berhijab di ruangan.

Alaric tegas, dingin, berkata, “ini kuartal terakhir. Dan hasilnya? Turun. Lagi. Jadi kalian pikir kita masih pantas pakai strategi seperti Q2? Atau memang malas berpikir ulang?”

Beberapa staf tertunduk. Satu pria coba menyampaikan ide, tapi terdengar ragu dan terbata-bata.

“Mungkin... kita bisa optimalkan ads digital, tapi ya... tergantung budget...”

Alaric tertawa sinis. “Terima kasih atas keraguannya. Sangat inspiratif. Tapi saya tidak minta mungkin. Saya minta hasil.”

Nadhifa membuka laptopnya, dengan suara tenang dan rapi ia mulai menjelaskan presentasi yang sudah ia siapkan. Tampak grafik, perbandingan pasar, serta ide campaign menyasar Gen Z.

“Maaf sebelumnya, Pak. Saya mengusulkan pendekatan lebih segmented. Misalnya produk A fokus ke kampus dan komunitas. Budget bisa dipangkas karena kita pakai channel yang lebih personal—”

Alaric memotong, datar. “Sudah cukup.”

Nadhifa menghentikan penjelasannya. Ia tidak marah, hanya diam sambil menatap layar.

Alaric berkata tajam. “Sayangnya kamu terlalu pintar untuk posisi ini. Tapi sayangnya juga, saya tidak suka orang yang terlalu pintar tanpa minta izin bicara.”

Renzo menoleh ke arah Alaric, tapi tidak berkata apa-apa. Ada gurat kecewa samar di wajahnya.

Satu jam berlalu. Ketegangan tidak surut. Tapi perlahan, masalah satu per satu diselesaikan oleh Alaric sendiri. Ia mengatur timeline ulang, menyuruh tim A pindah ke B, dan menghapus dua campaign gagal.

Alaric dengan tegas berkata, “kalian tidak usah tunggu evaluasi lagi. Ini final. Minggu depan hasilnya harus berbeda.”

Meeting dinyatakan selesai. Semua berdiri cepat-cepat. Laptop ditutup, berkas dirapikan, kursi didorong. Mereka ingin cepat keluar.

Nadhifa tetap duduk tenang. Ia sabar menunggu semua keluar duluan. Alaric dan Renzo masih duduk di tempat.

Renzo berkata lirih ke Alaric. “Makasih, Bang, udah bantu turun tangan. Gue benar-benar... nggak bisa atasi sendiri.”

Alaric sambil menghela napas membalas, “lo bisa. Cuma masih terlalu lambat.”

Nadhifa berdiri pelan, mengangguk sopan ke arah mereka, dan berjalan keluar tanpa suara. Gaun kerja panjangnya menyapu lantai lembut. Ia tidak menatap Alaric sedikit pun. Tapi Renzo menoleh memperhatikannya.

“Kurang suka gue sama yang manis tapi lihai. Waspadai gadis itu.”

Renzo menggeleng perlahan. “Gue pikir... justru dia yang paling waras di sini.”

Alaric berdiri. “Ngopi dulu, ah.”

Renzo cepat-cepat berdiri dan menahan bahu Alaric. “Biar gue aja yang buat. Tunggu di sini.”

Alaric kembali duduk, menyandarkan diri di kursi meeting yang empuk. Ia menoleh ke arah layar monitor yang menampilkan laporan akhir.

“Cepat ya. Jangan bikin yang terlalu manis. Gue benci rasa palsu.”

***

Pantry kantor yang cukup lega, bergaya minimalis dengan dinding putih dan rak kayu. Di pojok ada mesin kopi otomatis dan dispenser air panas. Renzo membuka laci dan mengambil dua cangkir.

Nadhifa duduk di bangku tinggi di dekat jendela kecil, mengenakan blouse lengan panjang dan rok panjang gelap. Hijabnya berwarna lembut. Di tangannya sudah ada sachet hot choco yang ia tuang perlahan ke dalam cangkir.

Renzo meracik kopi, aroma robusta menguar dari mesin otomatis. Ia menyendok gula sambil melirik Nadhifa sesekali.

Renzo berusaha terdengar ringan. “Maaf soal tadi. Alaric emang gitu orangnya. Kalau soal kerjaan, dia bisa lebih galak dari kepala HR.”

Nadhifa tersenyum samar, menuang air panas ke cangkirnya lalu mengaduk pelan.

Nadhifa dengan tenang membalas, “nggak masalah, Mas. Aku udah biasa. Dunia kerja, ya begitu, ‘kan? Tekanan di mana-mana.”

Renzo berdiri di seberangnya, menyeruput kopi pelan sebelum duduk di kursi selevel. “Cuma... gue pikir, lo, ‘kan, perempuan. Mungkin lebih sensitif.”

Nadhifa mengangkat alis pelan, sedikit menoleh dengan ekspresi lucu. Ada senyum kecil di sudut bibirnya.

“Perempuan bukan berarti lemah, Mas Ren. Aku bukan tipe yang langsung resign cuma karena dimarahi bos.” Nadhifa menuangkan air panas ke cangkir dan mengaduknya dengan sendok.

Renzo tertawa kecil, menunduk sambil mengaduk kopi padahal sudah larut. “Fair point. Tapi tetap aja, lo satu-satunya yang paling bisa jawab saat semua bungkam. Termasuk gue.”

Nadhifa tersenyum kecil lagi, menatap cangkirnya sebelum menyeruput hot choco. “Kalau kita kerja baik-baik, pasti dilihat kok. Meski awalnya gak disukai.”

Renzo memandangi Nadhifa sejenak. Matanya mencuri pandang ekspresi kalem gadis itu yang seperti tidak mudah goyah. “Kayaknya gue yang perlu belajar dari elo, deh.”

Nadhifa mengangkat bahu pelan sambil tersenyum sopan. “Kalau soal sabar, bisa tukeran aja. Aku belajar strategi pemasaran, Mas Renzo belajar sabar.”

Mereka tertawa kecil. Suasana tegang yang tadi terasa di ruang meeting kini memudar di antara dua cangkir minuman hangat.

***

Cahaya kuning temaram dari lampu gantung menyinari ruangan yang mulai kosong. Sisa hawa tegang dari rapat tadi masih terasa. Alaric duduk di ujung meja panjang, lengan disilangkan, wajah serius menatap berkas yang tertinggal.

Pintu terbuka pelan. Renzo masuk membawa dua cangkir kopi. Uap kopi mengepul lembut. Ia menaruh satu cangkir tepat di samping tangan kanan Alaric.

Renzo merendahkan suara. “Dibikin pahit, kayak bosnya.”

Alaric menoleh sekilas, satu alis terangkat. Tapi tak mengucap apa-apa. Ia hanya mengambil cangkir itu dan menyeruputnya perlahan.

Renzo berjalan ke belakang kursi Alaric. Tangannya yang besar dan hangat menyentuh pundak Alaric lalu mulai memijat pelan. Alaric diam, tidak menghindar, hanya memejamkan mata sebentar.

Renzo berbisik rendah. “Sofa baru dari Tante Callindra... nyaman gak?”

Alaric mendecak pelan, nada sarkasme terdengar samar. “Lebih kayak ancaman, sih. Siapa coba yang ngasih sofa lengkap instruksi ‘buat pasangan muda’? Bahkan baunya masih kayak pabrik...”

Renzo terkekeh, lalu beralih memijat sisi pelipis Alaric. Sentuhannya pelan tapi mantap. Alaric membuka mata, menatap refleksi samar Renzo di kaca pintu.

“Lo resign aja terus jadi tukang pijet,” ujar Alaric membuat Renzo tertawa.

Mata Renzo menyipit, tidak membalas kata-kata itu. Tapi ia masih memijat bahu Alaric. Gerakannya pelan, berulang, penuh ketenangan yang menggoda.

Hening mengisi ruang. Hanya suara detik jam dan napas mereka yang beradu dalam ritme.

***

Matahari menggantung tepat di puncaknya, menyinari hamparan halaman universitas yang luas. Mahasiswa berlalu-lalang keluar dari gerbang megah, sebagian berkerumun sambil tertawa atau berfoto, tanda kelas hari itu telah usai.

Dari kejauhan, sebuah mobil hitam mengkilat berhenti perlahan di tepi jalan. Jendela depan sebelah kiri turun dengan desisan otomatis. Sosok di dalamnya, mengenakan kemeja berwarna gelap dengan tangan menggenggam setir satu sisi, melongok ke arah trotoar. Alaric.

Tatapannya tajam mengarah pada satu titik—Aluna, yang keluar dari gerbang kampus sambil tertawa kecil bersama Kenzie, pria berkacamata dengan jas kasual. Mereka berbincang hangat, sesekali bahu Aluna disentuh ringan, dan Aluna tidak tampak keberatan. Bahkan ia tertawa sedikit terlalu lama. Rambutnya dibiarkan terurai, melambai karena angin, dan senyumnya mencolok siapa saja yang memperhatikan.

Alaric menghela napas pendek. Ia sudah menyuruh Surya pulang sebelumnya. Karena ini bukan sekadar penjemputan—ini intervensi langsung. Jam menunjukkan pukul 1.05 p.m saat Alaric keluar dari gedung Alverio Group dan langsung memutar arah ke kampus Aluna.

Di sisi lain, Aluna pamit pada Kenzie, menyentuh lengan pria itu sambil tersenyum manis. Ia kemudian berjalan mendekat ke arah mobil mewah yang menunggu di tepi jalan.

Aluna setengah tertawa saat berdiri di halaman paving Alverio University. “Ada apa? Kok mendadak jemput? Kantor gak kebakaran, ‘kan?”

Alaric menoleh ringan, senyum miring menghiasi wajahnya. “Baru kali ini bisa tersenyum di siang hari. Karena berhasil misahin istriku yang terlalu genit sama CEO agensi setengah baya.”

Aluna terdiam. Senyumnya menguap, tergantikan cemberut yang tak bisa ia sembunyikan. Ia mundur setengah langkah, menoleh ke jalan.

“Bagus. Aku naik taksi saja. Sekalian bisa genit sama sopirnya.”

Tangan Alaric bergerak cepat. Ia mengeluarkan separuh tubuhnya lewat jendela mobil. Menahan tangan Aluna.

Suaranya rendah, tetapi ancamannya terdengar jelas. “Coba aja. Malam ini, kamu tetap harus duduk di sofa kutukan. Aku gak bakal biarin kamu tidur di ranjang, Aluna.”

Aluna menatapnya, jengah sekaligus kesal. Tapi sorot mata Alaric terlalu sulit dibaca. Antara cemburu, otoritas, dan sedikit rasa sayang yang tidak pernah jelas letaknya.

Dengan dengusan halus, Aluna akhirnya masuk ke dalam mobil. Tubuhnya bersandar kuat, lengan disilangkan.

“Dasar pemilik warisan paling nyebelin!”

Alaric tanpa menatapnya berkata, “dan kamu tetap ikut warisanku. Jadi diam dan duduk manis.”

Mesin mobil kembali menderu. Mereka melaju membelah kota. Tapi di dalam mobil itu, keheningan diisi oleh ketegangan dan sinyal emosi yang tak pernah selesai dibicarakan.

Di dalam mobil Tesla hitam yang nyaman dan kedap suara, Alaric duduk dibalik kemudi, satu tangan memegang setir, tangan lain bertumpu di jendela. Jas kerjanya telah dilepas dan diletakkan di kursi belakang. Kemejanya sedikit terbuka di bagian atas, memperlihatkan garis leher dan sedikit dadanya.

Aluna duduk di sebelah, menyilangkan kaki. Ia mengenakan kemeja putih dan rok pensil hitam ketat. Rambutnya dikucir rendah, dengan beberapa helai yang sengaja dibiarkan tergerai di samping wajah. Ia sedang memainkan smartphone, tetapi sejak beberapa menit lalu, suasana terasa terlalu hening.

Tesla hitam matte, melaju seperti bayangan malam yang dipoles teknologi masa depan. Sudut-sudut bodynya ramping namun tegas, seperti potongan jas custom yang hanya dimiliki satu orang di dunia.

Lampu depannya menyala halus, memanjang tajam seperti tatapan tajam pemiliknya. Logo ‘T’ di bagian tengah tidak bersinar mencolok—ia hanya diam, percaya diri, tahu dirinya cukup dikenal tanpa harus menyala terang.

Di dalam, interior berlapis kulit vegan abu-abu gelap dengan dashboard minimalis digital. Hening. Mewah tanpa pamer. Teknologi tanpa ribut.

Kemudian, atap kacanya perlahan-lahan membuka, memberi jalan bagi udara malam masuk ke dalam kabin. Angin masuk, tapi tidak merusak ketenangan. Justru memperkuat aura: mobil ini bukan sekadar kendaraan. Ini pernyataan.

“Ngapain dibuka, Al?!” Aluna mengambil kacamata karena debu masuk ke matanya. Lalu memakai kacamata hitam lensa kotak.

Alaric tersenyum. Tetap mengemudi santai. Matanya melirik Aluna dari balik kacamata hitam bulatnya.

“Kamu capek?” Suara Alaric pelan, serak setelah seharian kerja.

Aluna hanya mengangguk kecil, matanya masih menatap ke luar. “Kuliah, syuting, tugas. Belum ditambah... drama internal,” ujarnya setengah bercanda, matanya akhirnya melirik ke arahnya.

Alaric tersenyum kecil, matanya melembut. Ia mengangkat tangannya dan menyentuh ujung rambut Aluna yang tergerai ke pundak. Ia menyelipkan helai itu ke belakang telinga Aluna. Sentuhan ringan tapi dalam.

“Kenapa nggak bilang kamu lelah?” gumamnya, lebih seperti keluhan tulus.

Aluna menatapnya—bukan marah, bukan manja, hanya dalam dan tenang.

“Karena kamu juga lelah, Alaric. Aku lihat dari mata kamu.”

Alaric menahan napas. Sorot itu—mata Aluna yang bisa menembus dinding yang susah payah ia bangun. Ia mengalihkan pandang sejenak, lalu membuka glovebox. Mengambil sebatang coklat.

“Ambil ini. Buat ganti makan malam yang belum sempat kamu sentuh,” katanya.

Aluna tersenyum tipis, menerimanya. Tapi yang ia perhatikan bukan coklatnya, melainkan cara Alaric menatapnya—ada sesuatu di situ. Bukan hanya tanggung jawab suami, tapi ada rasa.

“Alaric…” panggilnya pelan.

“Hm?”

Aluna mengangkat tangannya dan menyentuh pelan jari Alaric yang masih bertumpu di konsol tengah. Mereka diam. Jari mereka saling menyentuh begitu saja, tanpa genggaman tapi terasa seperti pegangan yang kuat.

“Kadang aku ragu… kamu beneran peduli atau cuma akting jadi suami yang baik.”

Alaric menoleh cepat. “Aku bukan aktor, Aluna. Kalau aku peluk kamu, itu bukan naskah. Kalau aku cemburu, itu bukan bagian dari pencitraan.”

Aluna memejamkan mata sebentar, lalu tersenyum kecil. Ia menggenggam tangan Alaric yang masih hangat.

“Aku tahu,” bisiknya. “Cuma kadang, aku pengen denger itu langsung.”

Alaric mengangkat tangan Aluna dan mencium punggungnya perlahan. Diam. Lembut. Lama.

“Kita pulang,” gumam Alaric. “Aku gak janji bisa sembuhin capek kamu, tapi aku bisa temani kamu istirahat.”

Aluna tertawa kecil, suaranya pelan seperti angin sore. “Kita lihat nanti. Kalau kamu beneran bisa jadi suami, siapa tahu aku makin sayang.”

Alaric mempercepat laju mobilnya, tangan satunya masih menggenggam tangan Aluna. “Udah terlambat buat kamu gak sayang, Al. Sedangkan aku masih coba buat sayang sama kamu.”

Mobil pun melaju, membawa mereka pulang bukan hanya ke apartemen, tapi ke satu momen yang lebih hangat dari biasanya.

1
Soraya
mampir thor
Marsshella: makasi udah mampir Kak ❤️
up tiap hari stay tune ya 🥰
total 1 replies
Zakia Ulfa
ceritanya bagus cuman sayang belum tamat, dan aku ini g sabaran buat nungguguin bab di up. /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Marsshella: makasi udah mampir, Kak ❤️
Up tiap hari udah aku alarm 😂
total 1 replies
Desi Oktafiani
Thor, aku udah nggak sabar nunggu next chapter.
Marsshella: ditunggu ya, update tiap hari 👍
total 1 replies
Dear_Dream
🤩Kisah cinta dalam cerita ini sangat menakjubkan, membuatku jatuh cinta dengan karakter utama.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!