NovelToon NovelToon
CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Romansa
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: GOD NIKA

Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Guncangan Dan Api Dalam Badai

Flash drive di tangan Leon terasa dingin, namun isinya membakar. Itu bukan hanya data, melainkan sumbu ledakan yang siap menghancurkan kerajaan Tuan Besar Hartono. pak Wijoyo yang kini duduk di sofa dengan wajah lelah namun tatapan penuh resolusi, telah mempertaruhkan segalanya. Keberaniannya, setelah nyaris menjadi korban intimidasi, adalah api kecil yang kini menyulut obor kebenaran. Arvino berdiri di sampingnya, mengawasi dengan ekspresi tegang namun puas.

Lana mendekat, meraih tangan Leon yang memegang flash drive itu. Mata mereka bertemu, dan dalam tatapan itu terpancar campuran ketakutan dan tekad bulat. Mereka tahu, dengan bukti ini, tidak ada jalan kembali. Ini adalah pertarungan pamungkas.

"Kita harus memverifikasi ini secepatnya," kata Leon, suaranya mantap. Ia menyerahkan flash drive itu pada Arvino. "Arvino, bisa kamu pastikan semua data ini asli dan tidak ada malware?"

Arvino mengangguk serius. "Serahkan padaku, Leon. Aku akan memindainya dengan alat terbaik yang kita punya. Kita tidak boleh lengah." Ia segera menuju salah satu komputer canggih mereka, mulai bekerja dengan fokus penuh.

Lana menoleh pada pak Wijoyo. "Bapak sudah makan? Biar saya siapkan sesuatu."

pak Wijoyo tersenyum tipis. "Terima kasih, Nak Lana. Saya baik-baik saja. Yang terpenting sekarang adalah memastikan semua ini bisa digunakan untuk menghentikan dia." Kerutan di dahinya dalam, menandakan beban berat yang baru saja terangkat dari pundaknya. "Saya tahu Tuan Besar Hartono tidak akan tinggal diam.

"Kami tahu, Pak," Leon mengiyakan, melirik ke arah pintu kantor. "Tapi kami sudah mempersiapkan diri untuk semua ini."

Malam itu, di kantor Revanza Cipta yang remang-remang, hanya suara ketukan keyboard Arvino yang memecah kesunyian. Leon dan Lana duduk di dekatnya, sesekali bertukar pandang. Mereka merasa seperti berada di tengah badai, dan flash drive itu adalah kunci untuk menemukan mata badai atau justru terjebak di pusarannya. Kecemasan adalah selimut yang membungkus mereka, namun tekad untuk memperjuangkan keadilan jauh lebih kuat.

Keesokan paginya, sebelum matahari sepenuhnya terbit, Arvino mengangkat kepalanya dari layar monitor. Matanya merah karena kurang tidur, namun senyum kemenangan tersungging di bibirnya.

"Leon, Lana, ini dia!" serunya. "Semua bukti ini valid. Rekaman transaksi yang menunjukkan penggelapan dana besar-besaran, email instruksi untuk memanipulasi laporan keuangan, daftar perusahaan cangkang yang digunakan untuk pencucian uang, dan bahkan ada rekaman suara telepon Tuan Besar Hartono yang memerintahkan intimidasi terhadap beberapa pihak!"

Napas Lana tercekat. "Rekaman suara? Itu… itu bisa jadi bukti yang sangat kuat di pengadilan."

Leon mengepalkan tangannya. "Bagus! Ini lebih dari yang kita harapkan." Ia menoleh pada pak Wijoyo yang kini ikut terbangun. "Terima kasih banyak, Pak Wijoyo. Anda telah memberikan kita senjata yang tidak ternilai."

pak Wijoyo mengangguk, kelegaan terpancar di wajahnya. "Saya hanya melakukan apa yang benar. Saya tidak bisa membiarkan kebohongan itu terus berlanjut."

Dengan bukti-bukti baru di tangan, langkah Leon dan Lana menjadi lebih terencana. Mereka tidak bisa lagi bertindak sembarangan. Ini adalah materi yang bisa mengguncang fondasi kekuasaan Tuan Besar Hartono. Mereka menghubungi pengacara mereka, Ibu Karina, yang terkejut sekaligus antusias mendengar perkembangan ini. "Ini adalah kasus yang akan membuat sejarah," kata Ibu Karina dengan suara bersemangat di telepon. "Dengan semua bukti ini, kita tidak hanya bisa menuntut kerugian perdata, tetapi juga menjerat Tuan Besar Hartono dengan tuduhan pidana yang serius. Penggelapan, pencucian uang, dan kini, intimidasi terhadap saksi."

Leon dan Lana memutuskan untuk tidak langsung menyerahkan bukti-bukti ini ke publik atau media. Mereka belajar dari pengalaman sebelumnya; Tuan Besar Hartono akan menemukan cara untuk memutarbalikkan fakta. Kali ini, mereka ingin memastikan bukti ini sampai ke tangan yang tepat, tanpa celah untuk di manipulasi. Mereka akan menyampaikannya melalui saluran hukum yang sah, dengan koordinasi yang hati-hati dengan penegak hukum yang berintegritas. Arvino juga menyarankan untuk membuat beberapa salinan cadangan dan menyimpannya di tempat aman yang berbeda, sebagai antisipasi jika terjadi hal yang tidak diinginkan.

Berita tentang kemunculanya kembali pak Wijoyo sebagai saksi kunci, dan desas-desus tentang bukti baru yang sangat memberatkan, mulai menyebar seperti api di dunia bisnis Jakarta. Para investor Hartono Group yang sebelumnya ragu, kini mulai panik. Saham Hartono Group anjlok lebih parah dari sebelumnya. Beberapa direksi senior mulai mengajukan pengunduran diri, tidak ingin terseret dalam kehancuran yang tak terhindarkan.

Di balik dinding kaca kantor Tuan Besar Hartono, amarahnya mencapai puncaknya. Ia melihat grafik saham yang terus menurun, mendengar kabar desas-desus tentang bukti-bukti baru, dan mengetahui bahwa pak Wijoyo, orang yang seharusnya sudah ia bungkam, kini menjadi ancaman paling besar. Cengkeramannya pada kekuasaan mulai melonggar, dan itu adalah hal yang paling ditakutinya.

"Wijoyo bajingan itu! Beraninya dia?!" Tuan Besar Hartono memukulkan tinjunya ke meja. Wajahnya merah padam, urat-urat di lehernya menonjol. "Dia pikir dia bisa menghancurkanku dengan ini? Aku akan menunjukkan padanya siapa Tuan Besar Hartono itu!"

Keputusasaannya kini berubah menjadi kegilaan. Ia merasa terjepit di sudut, dan satu-satunya cara keluar adalah dengan menghancurkan semua yang menghalangi. Kali ini, ia tidak akan lagi bermain aman. Tuan Besar Hartono mengaktifkan kembali kontak gelapnya, namun dengan perintah yang jauh lebih ekstrem. Pertemuan rahasia kembali terjadi, namun kali ini suasananya jauh lebih gelap dan penuh ketegangan. Ia meminta orang-orangnya untuk melancarkan serangan langsung yang tidak akan meninggalkan jejak, namun efeknya akan melumpuhkan Leon dan Lana secara permanen.

"Aku tidak ingin ada lagi saksi, tidak ada lagi pengkhianat!" geramnya. "Lakukan apa pun yang diperlukan untuk menghentikan mereka! Buat kecelakaan... kecelakaan fatal."

Mendengar perintah itu, bahkan beberapa orang suruhannya pun terlihat terkejut. Ini adalah garis yang belum pernah mereka lewati. Namun, tatapan dingin Tuan Besar Hartono tidak memberikan pilihan. Tim disiapkan untuk melacak pergerakan Leon dan Lana, merencanakan "kecelakaan" lalu lintas yang tragis dan fatal di jalan yang sepi, di mana sulit untuk menemukan saksi atau bukti yang mencurigakan. Target utamanya adalah Leon, karena ia dianggap sebagai otak di balik pergerakan Revanza Cipta.

Untuk memastikan kehancuran total, Tuan Besar Hartono juga memerintahkan sabotase fisik terhadap kantor Revanza Cipta di Sukabumi. Tujuannya adalah menghancurkan semua data, server, dan arsip fisik yang mungkin mereka miliki, dan juga untuk menimbulkan kerugian finansial yang parah. Pembakaran ini akan dirancang agar terlihat seperti korsleting listrik. Sebagai bentuk intimidasi ekstrem, Tuan Besar Hartono juga mengutus orang-orangnya untuk mengirimkan pesan terakhir kepada orang tua Leon dan keluarga besar Lana. Pesan itu berisi ancaman tersirat yang sangat mengerikan, menunjukkan bahwa ia tidak segan-segan menyentuh orang-orang terdekat mereka jika Leon dan Lana tidak berhenti.

Leon dan Lana mulai merasakan perubahan dalam atmosfer di sekitar mereka. Meskipun mereka telah memperketat keamanan, ada firasat tidak menyenangkan yang terus membayangi. Telepon anonim yang tidak terjawab, mobil-mobil asing yang parkir di dekat kantor, dan bahkan beberapa "kecelakaan" kecil di sekitar proyek Revanza Cipta, membuat mereka waspada.

"Leon, aku tidak tahu kenapa, tapi perasaanku tidak enak," bisik Lana suatu malam, saat mereka sedang meninjau rekaman CCTV. "Aku merasa kita sedang diawasi. Rasanya seperti ada sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya akan terjadi."

Leon merangkulnya erat. "Aku juga merasakannya, Lana. Dia tidak akan menyerah begitu saja. Tapi kita tidak akan mundur. Kita sudah terlalu jauh untuk itu."

Arvino, dengan naluri keamanan digitalnya, menemukan jejak aneh di jaringan kantor mereka. Meskipun tidak ada serangan siber langsung, ia menemukan beberapa upaya phishing yang sangat canggih dan beberapa scan jaringan yang mencurigakan dari alamat IP yang tidak dikenal. Ia juga mendengar desas-desus dari koneksinya di kepolisian tentang peningkatan aktivitas mencurigakan yang berkaitan dengan orang-orang Tuan Besar Hartono.

"Leon, Lana, kita harus lebih hati-hati lagi," kata Arvino, dengan wajah serius. "Ini bukan lagi hanya tentang perdata atau pidana. Ini sudah masuk ke ranah yang lebih pribadi dan berbahaya. Lindungi diri kalian."

Mereka tahu Arvino benar. Mereka telah melampaui batas dari sekadar sengketa bisnis. Ini adalah pertarungan untuk bertahan hidup. Setiap langkah, setiap keputusan, bisa berarti hidup atau mati. Mereka tidak bisa lagi hanya mengandalkan keberuntungan. Mereka harus satu langkah di depan Tuan Besar Hartono.

Leon memperketat jadwal pengamanan mereka. Mereka mulai menghindari rute yang sama saat bepergian, dan selalu memastikan ada orang lain yang mengetahui lokasi mereka. Lana juga menghubungi beberapa teman dekatnya, meminta mereka untuk sesekali memeriksa keadaan orang tua mereka.

Meskipun ancaman semakin nyata, hal itu justru semakin menguatkan tekad mereka. Mereka telah memilih jalan ini, jalan kebenaran dan keadilan, dan mereka akan melaluinya sampai akhir, apa pun risikonya. Di tengah kegelapan yang mendekat, mereka berpegangan tangan, menemukan kekuatan di dalam satu sama lain.

"Apapun yang terjadi, Leon," kata Lana, menatap mata Leon, "kita akan menghadapinya bersama. Selalu bersama."

Leon membalas tatapannya, senyum tipis terukir di bibirnya. "Selalu bersama, Lana."

Pada suatu sore yang mendung, Leon dan Lana baru saja menyelesaikan pertemuan dengan Ibu Karina di Jakarta. Mereka memutuskan untuk kembali ke Sukabumi agar bisa meninjau langsung beberapa proyek yang sedang berjalan. pak Wijoyo telah diamankan di sebuah lokasi rahasia yang aman, dijaga ketat oleh orang-orang kepercayaan Arvino.

Saat mobil mereka melaju di jalan tol yang mulai sepi karena gerimis, sebuah truk besar tiba-tiba muncul dari persimpangan tersembunyi, melaju kencang langsung menuju jalur mereka. Sopir yang mereka sewa, seorang pria muda yang cekatan, membanting setir dan berusaha menghindar, namun truk itu tetap melaju dengan kecepatan tinggi, seolah sengaja ingin menabrak.

"Sial! Ini bukan kecelakaan!" teriak Leon, matanya melebar. Ia segera menarik Lana ke bawah.

Suara gesekan ban yang memekakkan telinga, benturan keras yang mengguncang mobil, dan suara pecahan kaca yang berhamburan. Mobil mereka oleng, menabrak pembatas jalan. Sopir terbatuk darah, berusaha mempertahankan kendali, namun serangan itu terlalu tiba-tiba dan brutal. Truk itu, melaju kencang, menghilang dalam gerimis.

Leon dan Lana terlempar ke depan, namun sabuk pengaman menyelamatkan mereka dari benturan fatal. Leon segera membuka matanya, merasakan sakit di kepalanya. "Lana! Kamu tidak apa-apa?!"

Lana mengerang, kepalanya pusing. "Aku... aku baik-baik saja." Ia melihat ke arah sopir yang terkulai lemas di kemudi.

Leon segera memeriksa denyut nadi nya. Lemah, tapi masih ada. Ia meraih ponselnya yang terlempar, tangannya gemetar.

"Kita harus segera keluar dari sini!" Leon berkata, melihat sekeliling. Jalanan sepi, dan gerimis semakin deras. Ini adalah jebakan. Mereka tahu itu.

Pada saat yang sama, di Sukabumi, beberapa orang tak dikenal tiba-tiba membobol kantor Revanza Cipta yang sudah mulai sepi. Mereka membawa jeriken bensin dan korek api, dengan niat membakar habis gedung itu. Alarm keamanan kantor yang baru dipasang segera berbunyi nyaring, memecah kesunyian malam di Sukabumi.

Asap mulai mengepul dari dalam gedung. Beberapa satpam Revanza Cipta yang berjaga, meskipun kalah jumlah, berusaha menghalau para penyusup. Terjadi perkelahian sengit di tengah hujan deras. si jago merah mulai mengancam untuk melahap seluruh bangunan.

Leon berhasil menghubungi Arvino, suaranya parau. "Arvino! Kita diserang! Kami kecelakaan di tol. Sopir terluka. Dan... dan kurasa kantor kita juga diserang!"

Arvino, yang sedang memantau sistem keamanan dari lokasi lain, langsung mendengar suara alarm yang berbunyi di kantor. "Sial! Aku sudah menduga ini! Bertahanlah, Leon! Aku akan segera mengerahkan tim keamanan dan menghubungi polisi! Jangan bergerak dari lokasi kecelakaan sebelum bantuan tiba!"

Badai telah pecah. Tuan Besar Hartono telah melancarkan serangan habis-habisan. Leon dan Lana kini tidak hanya berjuang untuk keadilan, tetapi untuk hidup mereka sendiri, dan untuk keberlangsungan Revanza Cipta yang mereka bangun dengan susah payah. Di tengah puing-puing mobil yang hancur dan api yang mulai membakar impian mereka, mereka tahu ini adalah ujian. Akankah mereka selamat dari angin topan ini? Atau api itu membakar semua harapan mereka menjadi abu?

1
Risa Koizumi
Bikin terhanyut. 🌟
GOD NIKA: Terima kasih🙏🥰🥰
total 1 replies
Mít ướt
Jatuh hati.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!