NovelToon NovelToon
Beauty To Crystal

Beauty To Crystal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Anak Lelaki/Pria Miskin / Romansa
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Reenie

Di atas kertas, mereka sekelas.
Di dunia nyata, mereka tak pernah benar-benar berada di tempat yang sama.

Di sekolah, nama Elvareon dikenal hampir semua orang. Ketua OSIS yang pintar, rapi, dan selalu terlihat tenang. Tak banyak yang tahu, hidupnya berjalan di antara angka-angka nilai dan tekanan realitas yang jarang ia tunjukkan.

Achazia, murid pindahan dengan reputasi tenang dan jarak yang otomatis tercipta di sekelilingnya. Semua serba cukup, semua terlihat rapi. Tetapi tidak semua hal bisa dibeli, termasuk perasaan bahwa ia benar-benar diterima.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23. Aku Fokus Jadi Dokter

Malam itu, Elvareon duduk sendirian di ruang klinik kampus. Cahaya neon putih memantul di lantai, dan aroma antiseptik menusuk hidung. Di tangannya, sebuah ponsel menyala, menampilkan video yang baru saja dikirimkan oleh Brianna.

Layar kecil itu menampilkan wajah-wajah familiar: Brianna, Kaivan, dan... Achazia.

“Hei, bro! Kami tahu kamu pasti lagi pura-pura sibuk biar gak dibanjiri perhatian kami,” kata Kaivan di video, suaranya berusaha terdengar ceria. “Tapi sayangnya, kamu gak bisa lari dari kita. Cepet sembuh, bro. Dunia kita kurang rusuh kalau kamu gak ada.”

Brianna melambai ke kamera, matanya sedikit berkaca-kaca. “El, kamu tuh orang paling keras kepala yang aku kenal. Jadi jangan sok-sokan kuat sendirian. Kami di sini nunggu kamu. Kangen suara kamu, kangen lelucon receh kamu.”

Lalu, wajah Achazia muncul. Ia diam sejenak sebelum tersenyum tipis.

“Elvareon… aku gak tahu kamu akan nonton ini atau nggak. Tapi aku mau kamu tahu… aku tetap berjalan, meski tanpa kamu di sisiku sekarang. Aku percaya kamu juga sedang berjalan di sana. Jadi, ayo kita jalan bareng lagi, meski jalannya jauh.”

Elvareon menatap layar itu lama. Ada sesuatu yang menyesak di dadanya, bukan rasa sakit fisik, tapi rasa bersalah dan rindu yang menumpuk.

Ia mematikan ponselnya, menunduk, dan menghela napas panjang. Dia tidak membalas pesan dari grup itu. Entah mengapa jari-jarinya tidak sanggup mengetik.

“Aku terlalu lemah,” gumamnya.

Pagi harinya, Elvareon memaksakan diri bangun lebih awal. Badannya masih terasa berat, tapi ia tahu, kalau ia terus diam, dia akan benar-benar tertinggal. Ia menuju ruang administrasi kampus untuk mengecek jadwal baru.

“Elvareon, kamu yakin udah kuat? Gak apa-apa ambil cuti lebih lama, lho,” ujar perawat kampus dengan nada khawatir.

Elvareon tersenyum samar. “Kalau saya terus menunda, saya bakal lebih sulit mulai lagi, Bu. Saya harus fokus jadi dokter.”

Kata-kata itu terucap, namun dalam hati, ia sendiri merasakan getirnya. Bukan hanya soal fokus, tapi juga soal membuktikan pada dirinya sendiri, bahwa dia masih mampu.

Di kampus, hari-harinya kembali padat dengan kuliah, praktikum, dan jaga IGD. Namun kali ini, ada perbedaan kecil. Setiap kali ia merasa lelah, ia teringat wajah Achazia di video itu. Tatapan lembut yang seakan berkata, “Aku menunggumu.”

Suatu malam, saat sedang merapikan berkas di ruang praktikum, seorang dosen menghampirinya.

“Elvareon, kamu kelihatan lebih fokus sekarang. Kamu udah siap masuk rotasi klinik lagi minggu depan?”

Elvareon mengangguk mantap. “Siap, Pak. Saya akan lakukan yang terbaik.”

Sementara itu, di kota lain, Achazia terus melatih teknik riasnya. Di balik fokus itu, ada doa-doa diam yang ia kirimkan, berharap Elvareon baik-baik saja. Ciara, yang kini semakin dekat dengannya, terus memotivasinya.

“Zia, kalau kamu udah jadi MUA profesional nanti, jangan lupa, cowok pertama yang harus kamu rias siapa?”

"Hah? Cowok?" tanyanya bingung.

"Iya cowok"

"Emangnya ada cowok yang mau di make up?" tanyanya

"Ya ada sih beberapa. Biasanya kalau pernikahan gitu ada juga pengantin prianya diberi riasan sedikit."

Achazia mengangguk.

"Jadi siapa cowok pertama yang mau kamu make up in?" Ciara menyenggol lengannya

Achazia tersenyum. “Elvareon. Aku janji.”

Ciara menepuk bahunya. “Good. Jadi, ayo kita terus latihan sampai hari itu datang.”

Hari-hari Elvareon di St. Aurelius kini dipenuhi dengan semangat baru. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi setiap langkahnya terasa lebih ringan. Ia mulai membalas pesan-pesan di grup, meski singkat.

Elvareon: "Maaf udah bikin kalian khawatir. Aku masih hidup kok."

Balasan itu cukup untuk membuat grup mereka kembali ramai. Brianna membalas dengan emot marah, Kaivan mengirim stiker pukul, dan Achazia… hanya mengirim satu emoji senyum. Tapi Elvareon tahu, senyum itu menyimpan banyak arti.

Suatu malam, Elvareon duduk di balkon asramanya, menatap langit berbintang. Ia memegang ponselnya, membuka galeri, dan memutar ulang video dari Achazia.

Kali ini, ia tidak mematikan videonya di tengah.

Ia biarkan setiap kata masuk ke dalam hatinya.

"Zia, aku janji. Aku akan terus berjalan. Kita akan bertemu lagi, dalam versi terbaik kita."

Tak lama, Elvareon masuk kembali ke kamarnya. Dia mulai membuka laptopnya dan mencari jurnal terbaru . Dia jadi lebih sering membaca jurnal untuk mendukung laprak (laporan praktikum)nya.

Ia membuka tugas laporannya. Ya, sangat banyak. Menumpuk karena dia sakit waktu itu. Dengan senang hati dia mengerjakan laporannya perlahan. Tak lupa juga dibarengi dengan teh hangat dan roti tawar.

Ponsel Elvareon berbunyi. Ada telepon dari seseorang. Dia membukanya berharap itu dari Achazia. Eh ternyata dari....

"Hei bro, laprak mu udah siap belum?" tanya Arvin

"Oh, aku lagi ngerjain. Kenapa?"

"Aku juga. Aku hanya khawatir kau sanggup ngerjakan laprak atau tidak. Kau benar-benar udah sehat, kan?" tanyanya

"Iya sudah. Aku juga udah masuk kuliah kemarin. Kenapa kau tidak masuk kemarin?"

"Iya aku terlambat bangun"

Elvareon tertawa sedikit

"Ya sudah. Kerjakan laprak lalu tidur." ucap Arvin

Elvareon mengangguk dan mematikan teleponnya. Dia juga tidak menyangka bahwa Arvin perhatian kepadanya. Tak terasa sudah mencapai pukul 02.00 pagi, dia baru selesai mengerjakan lapraknya yang menumpuk. Dia menyusunnya ke ranselnya lalu tidur.

Keesokan paginya, dia keluar dari asrama dan mendapati Arvin menunggunya di depan. Mereka lalu berjalan bersama ke dalam kelas. Di kelas, Elvareon juga sudah fokus apalagi saat praktikum. Dia menyerahkan lapraknya dan mendapat nilai 95. Itu sudah bagus baginya.

Terkadang Arvin juga iri pada Elvareon yang selalu mendapatkan nilai tinggi sedangkan dia dapat 80 aja udah syukur. Selain menguras uang, jurusan ini juga menguras otak, tenaga, fisik dan mental. Namun dia tidak menjadikan Elvareon sebagai pesaingnya. Justru dia menganggapnya sebagai teman seperjuangan.

1
Nana Colen
ceritanya ringan tapi asiiik 🥰🥰🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!