Amara adalah seorang polisi wanita yang bergabung di Satuan Reserse Narkoba. Hidupnya seketika berubah, sejak ia melakukan operasi hitam penggrebekan sindikat Narkoba yang selama ini dianggap mustahil disentuh hukum. Dia menjadi hewan buruan oleh para sindikat Mafia yang menginginkan nyawanya.
Ditengah - tengah pelariannya dia bertemu dengan seorang pria yang menyelamatkan berulang kali seperti sebuah takdir yang sudah ditentukan. Perlahan Amara menumbuhkan kepercayaan pada pria itu.
Dan saat Amara berusaha bebas dari cengkraman para Mafia, kebenaran baru justru terungkap. Pria yang selama ini menyelamatkan nyawanya dan yang sudah ia percayai, muncul dalam berkas operasi hitam sebagai Target Prioritas. Dia adalah salah satu Kepala geng Mafia paling kejam yang selama ini tidak terdeteksi.
Amara mulai ragu pada kenyataan, apakah pria ini memang dewa penyelamatnya atau semua ini hanyalah perangkap untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Villa di Tepi Hutan
Pagi itu, sebelum janji bertemu Raditya, pikiran Amara dipenuhi kerisauan. Amara tidak bisa menunggu sampai jam delapan. Ia harus menemukan kebenaran yang bisa ia gunakan untuk meyakinkan Raditya tanpa menyeretnya lebih jauh ke dalam bahaya.
Ia mengemudikan motornya menuju apartemen milik Fai. Setelah memarkir motornya di parkiran basement, ia naik ke lantai teratas. Amara menggunakan keycard yang diam-diam ia ambil dari saku jaket Fai kemarin malam. Pintu geser terbuka, memperlihatkan pemandangan kota yang sama menakjubkan, namun kali ini terasa dingin dan kosong. Tidak ada satu orang pun disana, apartemen itu terasa sepi.
Ia menuju meja kerja Fai, terlihat banyak benda tertata rapi di atasnya. Ada yang seperti power bank hitam biasa, tetapi port-nya menyala redup. Sebenarnya itu adalah Raspberry Pi yang dimodifikasi dan disamarkan sebagai pengisi daya portabel. Amara mengaktifkan layar monitor. Layar itu menampilkan interface yang rumit dengan script dan code yang bergerak cepat. Amara tertegun melihat kemampuan hacking Fai. Jelas, pria itu bukan sekadar mafia biasa, melainkan otak intelijen yang canggih.
Amara membongkar file - file dalam laptop lalu menemukan sebuah peta. Peta itu menunjukkan lokasi real-time dari beberapa device yang dilacak. Salah satu device berkedip, ditandai sebagai "Target 01", terletak di sebuah daerah terpencil di pinggir hutan, jauh dari kota. Tepat di bawahnya, ada tulisan : "Bara’s Residence".
Amara tahu itu adalah kesempatan satu-satunya untuk mendapatkan bukti nyata. Ia harus tahu lebih lanjut tentang siapa Fai sebenarnya. Apakah benar dia adalah Lucian? Apakah benar yang dikatakannya atau malah jebakan?
Ia mengambil USB drive yang didapatnya dari rumah tua waktu itu, lalu mencolokkannya ke port laptop Fai. Ia menyalin semua log yang ia temukan, bukti ini harus ia miliki.
Amara melirik jam tangan. Pukul 07.00 pagi. Ia punya satu jam sebelum bertemu Raditya. Ia memacu motornya menuju pinggiran hutan. Ia tidak bisa bertemu Raditya tanpa informasi yang cukup.
Amara sampai pada area yang ditunjukkan peta. Sebuah jalan kecil yang tertutup lumut membawa ke sebuah vila batu tua di tengah hutan pinus yang lebat. Udara di sini dingin dan lembap. Vila itu tersembunyi dengan baik, dikelilingi pagar kawat berduri yang dialiri listrik.
Amara memarkir motornya jauh di dalam semak-semak, lalu melanjutkan berjalan kaki.
Ia menyelinap ke semak-semak di belakang vila. Dari sana, ia bisa melihat halaman belakang. Ada dua orang, salah satunya dengan tato harimau di lengannya. Itu adalah Bara.
Pintu kaca geser terbuka, dan Bara masuk. Beberapa detik kemudian, ia kembali keluar, kali ini bersama dua pria lain, yang wajahnya tertutup masker. Mereka membawa sebuah koper hitam dan beberapa tabung logam.
Terdengar suara langkah kaki dari dalam vila.
"Sudah kubilang, jangan ada yang menyentuh barang itu sebelum tuan datang. Kargo ini vital!" Suara itu parau, berat, dan dipenuhi otoritas.
Sebuah mobil sedan hitam mewah melaju mulus di halaman. Dari pintu penumpang, keluar seorang pria paruh baya yang mengenakan setelan jas mahal. Wajahnya yang keriput dan matanya yang dingin memancarkan kekuasaan. Dia adalah Markus, seorang pengusaha farmasi yang termahsyur di negeri ini.
"Bara, kau terlambat. Mana laporanku tentang si sialan Lucian itu?" Suaranya terdengar keras.
"Siap, tuan," sahut Bara. "Lucian sudah diamankan. Dia tidak akan mengganggu operasi kita lagi."
Markus tersenyum tipis. "Bagus. Dan Alfian?"
"Aman, tuan. Dia sangat bangga dengan perannya sebagai perisai kita di kepolisian," jawab Bara dengan senyuman
Amara maju selangkah untuk mendengar percakapan mereka lebih dekat, tapi lumut di atas baru pijakannya membuatnya jatuh terjerembab.
"Brukk”
Suara itu memancing Bara dan Markus untuk menoleh, saat mereka mencoba mencari sumber suara itu tiba-tiba,
”Dorrrr " terdengar letusan senjata dari sisi lain Villa.
"Dia kabur!!!" teriak salah satu anak buah Bara yang muncul dari dalam Villa.
Bara dan Markus langsung siaga. Amara tahu ini saatnya dia pergi. Ia langsung merangkak mundur, menjauhi vila secepat mungkin. Ia memasuki hutan, melacak sinyal GPS dari device yang ia sadap. Hujan deras mengguyur, membuat jalanan hutan berlumpur dan semakin licin.
GPS itu membawanya ke sebuah gudang kayu tua yang terletak beberapa kilometer dari vila. Ia memasuki gudang itu, bersembunyi di antara tumpukan kayu. Ia mengintip dari celah dinding gudang.
Amara melihat cahaya samar dari balik pepohonan. Suara langkah kaki berdegup terdengar mendekat. Ia mengendap perlahan, tapi tiba-tiba sebuah tangan besar menutup mulutnya.
Amara dengan sigap mengeluarkan pistol dari jaketnya, Glock 17-nya teracung, mengarah lurus ke pelipis pria di belakangnya.
Pria itu mengangkat kedua tangannya. "Ini aku!”
Hampir saja moncong pistol itu memuntahkan peluru ke kepala Fai.
Fai menarik nafas panjang. ”Bagaimana kau bisa di sini?"
Amara tidak menjawab, jantung masih berdebar, tangannya berkeringat, takut kalau ini adalah hari terakhirnya. Di tengah ketegangan itu, terdengar suara gerendel pintu gudang dikunci dari luar.
"Sial! Kita terkunci!" Fai menggerutu.
Pemilik gudang, seorang penebang kayu tua yang buru - buru pulang karena hujan semakin deras. Dia mengunci gudang itu dari luar untuk menghindari gangguan binatang liar yang biasanya merusak isi gudang.
Kini mereka terjebak. Fai mencoba mendobrak, tetapi gudang itu dibangun dengan kokoh.
”Sudahlah, tidak usah dipaksa. Setidaknya aku aman dari Bara dan anak buahnya sekarang. Terkunci di gudang mungkin cara Tuhan menyelamatkan nyawaku." Amara menarik napas lega, mulai menenangkan jantungnya yang tadi sempat tak karuan.
"Yah, mungkin kau benar. Lagipula di luar hujan begitu deras, bisa kemana kita di hutan saat seperti ini." Fai lalu duduk di seberang pintu, menatap jendela basah yang disirami hujan. Kini Amara dan Fai tertinggal berdua di ruang sempit ini.
"Aku melacakmu." Amara tiba-tiba memecah keheningan.
”Maksudnya?” Fai terlihat tidak fokus dengan apa yang dikatakan Amara, karena pandangannya mulai kabur.
”Aku bisa di sini karena melacak keberadaanmu." Amara menoleh ke arah Fai, tapi saat dia melihat pria itu, Fai sudah tergeletak di atas ubin kayu.
”Fai, apa yang terjadi?”
Ia membalikkan tubuh Fai dengan hati-hati. Di bahu kanannya, kemeja hitam itu mulai basah dan melebar dengan darah merah pekat.
"Tembakan tadi..." bisik Amara, kini menyadari kengerian situasi.
Fai mengangguk lemah, matanya terpejam menahan sakit.
"Mereka berhasil menangkapku di vila... Aku mencoba lolos, tapi..." Ia tidak bisa melanjutkan, napasnya tersengal.
Amara segera membuka baju kaosnya, ia merobek baju itu sampai kira-kira bisa di ikatkan pada luka tembak Fai. Ia menekan luka tembak itu sekuat tenaga. Wajah Fai memucat, dan ia mengerang pelan.
"Kau harus kuat, Fai. Bertahanlah!" perintah Amara.
sungguh polisi masa gthu sih....
semangat.....