NovelToon NovelToon
A Promise Between Us

A Promise Between Us

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Faustina Maretta

Seorang wanita muda dengan ambisinya menjadi seorang manager marketing di perusahaan besar. Tasya harus bersaing dengan Revan Aditya, seorang pemuda tampan dan cerdas. Saat mereka sedang mempresentasikan strategi marketing tiba-tiba data Tasya ada yang menyabotase. Tasya menuduh Revan yang sudah merusak datanya karena mengingat mereka adalah rivalitas. Apakah Revan yang merusak semua data milik Tasya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Peran pembantu

Pintu berderit pelan saat terbuka. Cahaya lorong menembus masuk, dan di sana berdiri Vera.

Begitu matanya jatuh pada Tasya, wajahnya pucat, tubuhnya terikat, bibirnya pecah, Vera langsung menutup mulutnya sendiri.

"Ya Tuhan … Tasya?" suaranya nyaris tak terdengar, penuh keterkejutan.

Ia melangkah setengah masuk, matanya gemetar menatap kondisi sahabat kantornya itu. Vera benar-benar tak menyangka. "Aku kira Fira cuma … iseng. Aku nggak pernah … nggak pernah nyangka dia bisa sampai segila ini …" bisiknya, tubuhnya seperti kehilangan tenaga.

Tasya menatapnya penuh harap. "Vera … tolong aku … lepaskan aku. Aku mohon …" suaranya serak, nyaris patah.

Air mata menggenang di sudut mata Vera. Ada dorongan kuat untuk segera menghampiri dan membuka ikatan itu, tapi di saat yang sama bayangan Fira, tatapan dingin dan kata-kata ancamannya, menghantam pikirannya.

Tangannya terulur setengah, lalu gemetar jatuh kembali di sisi tubuhnya. "Aku … aku takut, Tas. Kau nggak tahu Fira bisa marah besar kalau tahu aku membebaskanmu. Aku ke sini hanya mengantar makanan untukmu."

Tasya memejam, menahan tangis. Vera menggigit bibirnya, hatinya tersiksa. Ia menunduk, lalu mundur selangkah demi selangkah. "Aku … aku bener-bener nggak sangka … maafkan aku," lirihnya dengan suara pecah.

Klik!

Pintu kembali tertutup dan terkunci, meninggalkan Tasya dengan harapannya yang hancur, dan Vera yang berjalan cepat dengan dada sesak, dihantui ketakutan sekaligus rasa bersalah.

Udara malam terasa lembap. Di depan gudang tua yang suram, Fira berdiri bersandar pada dinding, sebatang rokok terselip di jemarinya. Asap mengepul santai dari bibirnya, seolah-olah tak ada hal besar yang terjadi di balik pintu gudang itu.

Vera melangkah ragu, tumit sepatunya berdecit pelan di lantai semen. Jantungnya berdetak tak karuan, tangannya basah oleh keringat dingin.

"Fira!" seru Vera.

Fira menoleh sekilas, tatapannya malas tapi penuh wibawa gelap yang membuat Vera makin ciut. "Kau kenapa? Wajahmu pucat begitu. Jangan bilang kau kaget sama apa yang kau lihat di dalam."

Vera menelan ludah. "Aku … aku nggak nyangka kau sampai segininya. Aku kira cuma mau bikin dia jera, bukan … bukan nyekap dia kayak gitu. Kalau sampai ada yang tahu—"

"Kalau ada yang tahu, kau juga bakal terseret." Fira memotong dingin, menghembuskan asap rokok tepat ke udara di antara mereka. Senyumnya tipis tapi menusuk. "Jangan bertingkah sok bersih, ingat siapa yang ngurung dia pertama kali?"

Wajah Vera langsung memucat. Kata-kata itu menusuk seperti pisau. "Aku … aku cuma ikutin perintahmu. Aku nggak mau terlibat sejauh ini." Suaranya bergetar, jelas penuh ketakutan.

Fira mendekat, langkahnya tenang tapi penuh ancaman. "Kalau kau pintar, tutup mulut. Polisi, hukum, semua itu nggak akan ada artinya kalau aku yang sudah main tangan."

Vera mundur setengah langkah, tubuhnya kaku. Matanya menunduk, tak berani menatap balik. Dalam hatinya, rasa bersalah makin menekan, tapi ketakutan pada Fira membuatnya terjebak.

"Sekarang," Fira menghisap rokok terakhirnya, lalu membuang puntungnya ke lantai, "kau pilihannya cuma dua, Vera. Diam … atau tenggelam bareng Tasya."

---

Di ruang kendali keamanan, layar monitor berderet menampilkan rekaman CCTV dari berbagai sudut kantor. Revan berdiri di depan layar, kedua tangannya menggenggam pinggiran meja hingga buku-bukunya memutih. Bram di sampingnya, serius mengamati rekaman, sementara Aldo berdiri agak jauh, wajahnya tegang.

"Stop. Putar ulang bagian itu," suara Revan terdengar berat.

Petugas keamanan memundurkan rekaman. Terlihat sosok wanita berambut panjang keluar dari lorong belakang, mendorong sesuatu yang mirip troli. Kameranya agak buram, tapi cukup jelas.

Revan maju satu langkah, menatap layar dengan mata membara. "Itu … Fira."

Bram menyipitkan mata, memastikan detailnya. “"Benar. Dia bukan sekadar lewat, dia membawa sesuatu … dan kalau kulihat dari bentuknya, itu kursi roda. Kemungkinan besar, Tasya sudah dalam keadaan tak berdaya waktu dibawa."

Aldo spontan menutup mulutnya, matanya membesar. "Astaga … jadi benar Fira pelakunya, tapi kenapa dia melakukan itu? Bukanlah dia sahabat Tasya?"

Revan menoleh tajam pada Aldo, membuat pria itu terdiam dan menunduk. Rahang Revan mengeras, lalu ia menatap kembali ke layar. Jantungnya berdentum kencang, rasa gelisah mencengkram dadanya.

"Bram," ucapnya dengan suara yang nyaris bergetar menahan emosi. "Kerahkan semua anak buahmu. Aku nggak peduli berapa banyak biaya atau tenaga yang dibutuhkan. Cari Tasya. Jangan biarkan dia terluka sedikit pun!"

Bram mengangguk cepat. "Baik, Revan. Saya akan sebar tim ke seluruh titik keluar kota. Kita juga bisa lacak kendaraan yang dipakai Fira."

Revan berjalan gelisah ke depan layar, menekan pelipisnya dengan tangan. "Tasya … bertahanlah. Aku nggak akan biarin dia sakiti kamu."

Di ruang kendali keamanan, Bram menutup laptopnya cepat. "Kita nggak bisa buang waktu. Fira bawa Tasya keluar gedung lewat pintu belakang jam sebelas lewat lima. Dari situ, hanya ada tiga kemungkinan jalur keluar kota."

Ia menunjuk peta digital di layar besar. Jalan tol arah timur, jalur utama arah selatan, dan jalan kecil menuju kawasan industri di utara.

Revan menyilangkan tangan, langkahnya mondar-mandir gelisah. "Bagikan anak buahmu ke semua jalur itu sekarang."

Salah satu anak buah Bram masuk tergesa. "Revan, kita udah cek plat nomor mobil yang dipakai Fira. Mobil itu nggak terdaftar atas namanya. Kemungkinan mobil sewaan atau pinjaman."

Revan langsung menoleh tajam. "Artinya, dia sudah merencanakan ini dari awal." Rahangnya mengeras. "Berapa lama butuh buat lacak mobil itu?"

"Minimal dua jam, Revan, tapi—"

"DUA JAM?!" Revan membentak, tangannya menghantam meja hingga berkas-berkas beterbangan. "Tasya mungkin nggak punya waktu sejauh itu!"

Suasana hening. Semua orang di ruangan itu menahan napas melihat amarah Revan yang meledak.

Bram menenangkan. "Revan, tenang. Kita bagi tim. Satu tim lacak mobil, satu tim ikuti jalur keluar kota, satu lagi cek CCTV jalan raya. Semakin cepat kita gerak, semakin besar peluangnya."

Revan menatap mata Bram, suaranya rendah namun penuh tekanan. "Aku mau Tasya di temukan dalam keadaan hidup. Tolong, Bram . Segera temukan Tasya, aku juga akan memerintahkan orangku untuk menemukan Tasya."

Bram mengangguk singkat, lalu memberi aba-aba lewat radio komunikasi. "Semua tim, bergerak! Fokus di setiap pintu keluar kota. Cek setiap mobil wanita sesuai deskripsi. Jangan ada yang lolos."

Beberapa polisi yang ditugaskan ikut bergegas keluar. Ruangan itu mendadak dipenuhi suara langkah tergesa, suara radio bersahutan, dan deru mesin mobil patroli yang dinyalakan.

Revan menatap layar peta sekali lagi, jantungnya berdentum keras. Dalam kepalanya hanya ada satu hal, setiap menit yang terlewat bisa berarti Tasya kehilangan nyawa.

"Pak, saya juga akan mencari Tasya," ucap Aldo dengan penuh keyakinan.

Aldo merasa di rugikan, bahkan di manfaatkan oleh Fira. Dia juga ingin segera menemukan Tasya, apapun yang terjadi.

TO BE CONTINUED

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!