NovelToon NovelToon
A Promise Between Us

A Promise Between Us

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:572
Nilai: 5
Nama Author: Faustina Maretta

Seorang wanita muda dengan ambisinya menjadi seorang manager marketing di perusahaan besar. Tasya harus bersaing dengan Revan Aditya, seorang pemuda tampan dan cerdas. Saat mereka sedang mempresentasikan strategi marketing tiba-tiba data Tasya ada yang menyabotase. Tasya menuduh Revan yang sudah merusak datanya karena mengingat mereka adalah rivalitas. Apakah Revan yang merusak semua data milik Tasya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menyimpan Rahasia

Ciuman mereka perlahan mereda. Revan masih menatap Tasya dekat sekali, seakan tak ingin melepas momen itu. Napas mereka masih tersengal, tapi senyum kecil mulai muncul di bibir keduanya.

"Kenapa dari dulu kamu nggak bilang kalau kamu suka sama aku?" tanya Tasya pelan, matanya berbinar sekaligus ragu.

Revan tersenyum, jempolnya mengusap lembut pipi Tasya. "Aku takut kamu nolak. Dan aku juga nggak mau maksa kamu, Sya. Tapi sekarang … aku udah nggak bisa tahan lagi."

Tasya terkekeh kecil, meski matanya berkaca-kaca. "Dasar nekat …"

"Kalo aku nggak nekat, aku nggak bakal bisa duduk di sini bareng kamu kayak gini," balas Revan sambil tersenyum hangat.

Keheningan sebentar, lalu mereka saling bertukar cerita. Tentang masa kecil, tentang mimpi, sampai hal-hal sepele yang bikin mereka tertawa kecil di tengah malam. Suasana yang tadinya tegang berubah hangat, seperti dua sahabat lama yang akhirnya jujur soal isi hati.

Tasya lalu merenggangkan duduknya, bersandar sebentar, sebelum akhirnya merebahkan kepalanya di pangkuan paha Revan. "Aku capek banget … boleh sebentar aja di sini?" bisiknya dengan mata yang sudah mulai berat.

Revan menunduk, tersenyum lembut. Tangannya refleks membelai rambut Tasya. "Sebentar atau lama pun nggak apa-apa. Tidur aja, aku jagain."

Tasya menarik napas panjang, tubuhnya terasa ringan. Suara Revan, sentuhan lembutnya, semuanya membuat ia merasa aman. Perlahan matanya terpejam, hingga akhirnya ia tertidur pulas.

Revan tetap membelai rambutnya, sesekali menatap wajah Tasya yang damai. Senyum tipis muncul di bibirnya.

"Selamat tidur, Sayang …" ucapnya lirih, meski hanya angin malam yang mendengarnya.

Revan mengangkat Tasya dengan hati-hati, lalu membaringkannya di ranjang dengan penuh kelembutan. Ia menarik selimut hingga menutupi tubuh wanita itu, memastikan Tasya nyaman. Begitu hendak berdiri dan beranjak pergi, tiba-tiba jemari Tasya bergerak, menggenggam tangan Revan erat.

"Jangan pergi …" bisik Tasya lirih dalam setengah sadar.

Revan terdiam, menatap wajah Tasya yang masih memejam dengan ekspresi begitu rapuh. Dadanya bergemuruh, tak kuasa menolak permintaan itu. Perlahan ia kembali duduk, lalu membaringkan tubuhnya di samping Tasya.

Begitu ia rebah, Tasya secara refleks mendekat, mencari hangatnya. Revan pun melingkarkan lengannya, menarik Tasya ke dalam pelukannya. Wajah Tasya kini bersandar di dadanya, membuat detak jantung Revan berdebar lebih cepat, namun sekaligus terasa begitu tenang.

Dalam diam, Revan mengeratkan pelukan itu. Jemarinya mengusap lembut punggung Tasya, seakan berjanji dalam hati bahwa ia akan selalu menjaga wanita ini apa pun yang terjadi.

Senyum tipis mengembang di bibir Revan sebelum ia menutup mata. Malam itu, di bawah cahaya redup kamar, keduanya terlelap dalam kehangatan yang sama, tanpa kata, tapi penuh makna.

---

Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai kamar Tasya. Gadis itu menggeliat pelan sebelum membuka matanya. Begitu sadar dirinya masih berada dalam pelukan Revan, wajahnya langsung memanas. Ia buru-buru bangkit, tapi gerakannya justru membuat Revan ikut terbangun.

"Pagi …" suara Revan serak, namun senyumnya muncul begitu melihat wajah Tasya yang merah padam.

"P-pagi …" jawab Tasya terbata, lalu cepat-cepat menjauh. "Kamu … jangan bilang ke siapa-siapa ya soal … ini."

Revan mengangkat alis. "Soal apa?"

"Soal kita tidur bareng semalam," bisik Tasya makin salah tingkah. "Aku nggak mau orang kantor tahu."

Revan menahan tawa, mendekat sedikit. "Hmm … kalau gitu aku mau tanya balik, hubungan kita ini apa, Sya?"

Tasya spontan menoleh dengan wajah terkejut. "A-apaan sih, Revan! Jangan aneh-aneh!" Ia langsung berdiri, mengambil langkah cepat ke arah kamar mandi sambil menutupi pipinya yang panas.

Revan terkekeh kecil, matanya penuh arti. "Jawabanmu itu justru bikin aku makin penasaran, Sya …" gumamnya pelan.

Beberapa jam kemudian, mereka sudah tiba di kantor. Seperti biasa, Revan menurunkan Tasya lalu ikut masuk bersama. Tasya berusaha tenang, tapi sesekali ia mencuri pandang, khawatir ada rekan kerja yang curiga.

Saat membuka kalender di mejanya, mata Tasya langsung melebar. Hari ini adalah jadwal check up ke Tante Bella. Jantungnya berdegup lebih cepat.

"Gawat … gimana caranya biar Revan nggak tahu," bisiknya panik sendiri.

Karena biasanya mereka berangkat dan pulang kantor bareng, Tasya harus memikirkan alasan yang masuk akal agar bisa keluar sendirian nanti. Ia menggigit bibir, menatap layar komputer tanpa fokus.

Tak lama, Revan muncul sambil membawa dua gelas kopi. "Sya, kamu nggak makan siang?" tanyanya sambil nyodorin kopi.

Tasya terlonjak kecil, buru-buru menerima. "Eh, makasih, Revan, aku lagi nggak terlalu lapar, kok."

Revan menyipitkan mata. "Kamu nggak apa-apa? Dari tadi aku lihat kayaknya pikiranmu ke mana-mana."

Deg! Tasya langsung salah tingkah. Ia menggeleng cepat. "Nggak kok, aku cuma … kepikiran kerjaan aja."

Revan mendekat, duduk di meja sebelahnya. "Kamu bohong, ya?" suaranya rendah tapi penuh selidik.

Tasya panik. Ia harus keluar sekarang juga kalau nggak mau telat ke dokter. "Revan, aku baru inget, aku ada janji sama klien lama di luar kantor. Jadi nanti sore aku pulang sendiri aja, nggak usah nunggu aku, ya."

Alis Revan langsung terangkat. "Klien? Kok tiba-tiba banget?"

"Iya, aku lupa masukin ke jadwal. Baru dihubungin tadi pagi." Tasya buru-buru menambahkan, "Nggak lama kok, paling cuma ngobrol sebentar."

Revan masih menatapnya, seakan ingin membaca isi hatinya. "Hmm … aku temenin ketemunya, ya?" tanyanya santai, tapi matanya tajam.

Tasya hampir tersedak napasnya. "Nggak usah, Revan! Lagian kliennya kan perempuan. Kamu pasti bosan."

Revan terdiam beberapa detik, lalu tersenyum tipis. "Baiklah. Tapi kamu janji langsung kabarin aku kalau udah selesai. Deal?"

Tasya mengangguk cepat, meski jantungnya makin berdebar. "Deal!"

Revan lalu menepuk kepalanya pelan. "Jangan bikin aku khawatir, Sya."

Begitu pria itu pergi, Tasya menunduk, menghela napas panjang.

----

Lorong rumah sakit sore itu terasa dingin. Tasya melangkah pelan menuju ruang praktik Tante Bella, jantungnya berdegup kencang. Setelah mengetuk pintu, suara lembut terdengar dari dalam.

"Masuk, Sayang."

Tasya membuka pintu, lalu duduk berhadapan dengan Tante Bella. Di meja, ada berkas hasil pemeriksaannya. Gadis itu mencoba tersenyum, tapi wajahnya tegang.

"Tante … gimana hasilnya?" suaranya nyaris berbisik.

Tante Bella menatapnya lama sebelum meletakkan berkas itu. "Tasya … hasilnya menunjukkan penyakitmu sudah masuk stadium dua."

Deg. Tasya terdiam. Matanya membesar, bibirnya bergetar. "Stadium dua?"

"Iya, Sayang." Tante Bella mengangguk perlahan. "Kita masih bisa berusaha dengan pengobatan yang tepat. Tapi kamu harus lebih disiplin dan kuat."

Air mata menggenang di mata Tasya. Ia menunduk, suaranya pecah. "Tante, aku takut. Aku takut banget, kalau … kalau aku harus ngalamin hal yang sama kayak Mama."

Suasana hening sejenak. Air matanya jatuh satu per satu. "Aku masih pengen hidup, Tan … aku nggak mau ninggalin orang-orang yang sayang sama aku. Aku belum siap." suaranya lirih, terisak.

Tante Bella cepat-cepat bergeser, duduk di samping Tasya, lalu meraih tangannya erat. "Tasya … dengar Tante. Kamu bukan Mama kamu. Perjalananmu berbeda, dan kita masih punya banyak cara untuk melawan ini. Jangan biarkan ketakutanmu menguasai."

Tasya menggeleng, pundaknya bergetar. "Tapi Tan, kalau aku beneran pergi … gimana orang-orang yang aku cintai?"

Tante Bella mengusap punggungnya dengan lembut. "Justru karena itu, kamu harus berjuang. Dan, Tante tahu ini berat, tapi jangan tanggung sendiri. Kamu harus mulai ngomong sama orang terdekatmu. Biar mereka bisa jadi kekuatanmu."

Tasya terdiam, menatap Tante Bella dengan mata sembab. Kata-kata itu menusuk, karena yang terlintas di kepalanya hanya satu nama: Revan.

Tapi hatinya masih bimbang, antara ingin jujur atau terus menyembunyikan.

TO BE CONTINUED

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!