menceritakan gadis cantik yang berwajah baby face dengan jilbab yang selalu warna pastel dan nude yang menjadi sekretaris untuk melanjutkan hidup dan membantu perekonomian panti tempat dia tinggal dulu. yang terpaksa menikah dengan CEO duda tempat dia berkerja untuk menutupi kelakuan sang ceo yang selalu bergonta ganti pasangan dan yang paling penting untuk menjadi mami dari anaknya CEO yang berusia 3 tahun yang selalu ingin punya mami
dan menurut yang CEO cuman sang seketerasi yang cocok menjadi ibu sambung untuk putri dan pasang yang bisa menutupi kelakuannya
dan bagaimana pernikahan Kontrak ini apakah akan berakhir bahagia atau berakhir sampai kontrak di tentukan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sweetmatcha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 – Rahasia di Balik Nabila
“Janji, Pak. Tenang aja, kami bertiga bisa jaga rahasia kok!” ucap Mega bersemangat, matanya berbinar penuh antusias.
Dion terkekeh kecil. “Panggil Mas aja, biar akrab. Ini kan jam istirahat, bukan rapat formal.”
“Siap, Mas~” sahut Mega dengan nada mendayu dan senyum malu-malu.
Doni melirik cepat, menyipitkan mata. “Meg, kenapa lu yang berbunga-bunga sih? Sadar, dong. Selera Mas Dion bukan lu!”
Mega langsung mendelik. “Awas lu ya, Don! Gue sumpahin lu jadian sama anak pemasaran seksi itu. Yang suka pakai baju ketat, yang dada segede gaban itu!”
Doni mengangkat bahu, santai. “Lu kira-kira, Meg. Gak semua cowok suka yang begituan. Gue mah doyan yang kalem... kayak Nayla. Baby face, jilbab, baju pastel. Hati adem.”
Mega mendengus cepat. “Yah, tapi Nayla gak mau sama lu. Jadi ya... mending kita bersatu, Don. Cowok dan cewek yang kita suka, sama-sama gak sudi sama kita!”
Dion cuma bisa geleng-geleng sambil terkekeh melihat kekonyolan mereka. Tapi sebelum pembicaraan makin absurd, Nayla angkat tangan, seperti moderator acara talk show.
“Mas Dion, ayo cerita. Skip dua manusia absurd ini.”
Dion mengangguk, serius. “Oke. Tapi ini bukan gosip. Ini cerita sebenarnya. Tentang masa lalu Agra... dan siapa ibunya Nabila”
Tiba-tiba suasana kantin mendadak tenang. Bahkan bunyi kipas tua yang berdecit di atas pun terdengar seperti latar backsound sinetron.
Lalu, Dion pun mulai bercerita.
“Aku sama Agra udah kenal dari SMA. Kami satu sekolah, satu geng, dan sampai kuliah pun bareng. Bahkan tinggal di apartemen yang sama pas kami kuliah di luar negeri. Dari dulu, Agra memang tipe yang gampang bosan. Cewek gonta-ganti udah jadi kebiasaan.”
Dia menghela napas pelan.
“Tapi pas kuliah, kelakuannya makin liar. Mungkin karena jauh dari orang tua, jadi bebas sebebas-bebasnya. Sampai akhirnya... ada satu cewek yang dari lama naksir Agra. Cewek ini pintar, licik juga. Mereka sempat kencan, dan... ya, kalian pasti tau kelanjutannya.”
“Dia hamil?” tanya Nayla pelan.
Dion mengangguk. “Iya. Dan karena tekanan keluarga, Agra akhirnya menikahinya. Tapi hubungan mereka dingin. Gak ada cinta, gak ada chemistry. Agra tetap dengan kelakuannya. Sementara si cewek bangga karena berhasil ‘mengikat’ Agra—walau cuma status.”
“Pas Nabila lahir, Agra langsung mentalak. Hari itu juga. Tapi sebagai kompensasi, Agra kasih uang yang sangat besar. Dan... ceweknya menyerahin hak asuh.”
“Dia gak mau Nabila?” tanya Mega, tak percaya.
“Gak. Katanya dia gak siap jadi ibu. Jadi Nabila diasuh sama orang tua Agra. Dan kalian tahu? Alhamdulillah, mereka sayang banget sama Nabil. Apalagi mereka gak punya anak perempuan. Nabila jadi cucu pertama yang perempuan. Disayang-sayang, dimanja habis. Abang Agra yang dokter dan adiknya yang pilot juga seneng banget. Mereka kan cowok semua, jadi Nabila tuh kayak boneka hidup buat mereka.”
Dion tersenyum kecil, mengenang.
“Aku termasuk yang sering ikut main bareng Nabila waktu itu. Jadi aku cukup tahu bagaimana dia tumbuh. Manis, pintar, dan... ya, benar-benar miniatur Agra. Wajahnya, caranya jalan, bahkan gaya ngambeknya.”
Mega dan Nayla tersenyum kecil membayangkannya. Doni, yang biasanya nyinyir, juga ikut anteng.
“Satu tahun setelah itu, kami lulus. Agra balik ke Indonesia buat ngelanjutin perusahaan keluarganya. Abangnya pilih jadi dokter anak, dan adiknya... pilot. Cuma Agra yang nerusin bisnis.”
“Dan dia masih...?” Nayla tak meneruskan kalimatnya.
Dion mengangguk. “Masih seperti dulu. Jadi kalau ada yang bilang kelakuannya begitu karena luka dari pernikahan, itu salah. Dia emang dari awal kayak gitu.”
“Sekarang dia tinggal di apartemen sendirian?” tanya Doni.
“Ya. Nabila masih sama kakek-neneknya. Tapi sekarang Agra lagi stres. Soalnya Nabil mulai merengek terus minta ‘Mami’. Mamanya Agra juga mulai nuntut dia buat nikah lagi. Gak cuma demi cucunya, tapi juga supaya hidup Agra lebih terarah.”
Tiga pasang mata memandangi Dion. Tak satu pun berkomentar. Semua larut dalam cerita.
Tapi tentu saja... Mega tetap Mega.
“Mas Dion,” katanya dengan suara mendadak manja. “Abangnya Pak Agra itu... udah nikah belum?”
Doni langsung mendorong kepala Mega pakai dua jari. “Lu ya, Meg. Dengar cowok ganteng dikit, langsung buka pendaftaran. Sadar! Selera mereka itu bukan lu!”
Padahal, dalam hatinya, Doni tahu Mega gak seburuk itu. Wajahnya manis, kulit eksotis, suara nyaring tapi jujur, dan entah kenapa... ada daya tarik sendiri saat Mega ngomel-ngomel.
Dion menjawab dengan nada santai, “Belum ada yang nikah. Tapi ya... mereka semua gak suka dipaksa. Abangnya kalem banget. Sopan, serius. Kalau yang pilot, agak liar, tapi masih kalah jauh sama Agra.”
Nayla bertanya, “Kalau Agra tahu Mas cerita kayak gini ke kita, gimana?”
Dion tersenyum. “Dia gak akan peduli. Asal kalian gak nyebar ke siapa-siapa. Ini bukan aib. Ini cuma... cerita di balik seorang Agra yang semua orang kira sempurna.”
Dan entah kenapa, hati Nayla terasa sedikit aneh.
Bukan karena kisah Agra yang penuh teka-teki.
Tapi karena satu kata yang terus terngiang di kepala:
“Mami...”