Luna Arindya, pemanah profesional dari dunia modern, meninggal tragis dalam sebuah kompetisi internasional. Saat membuka mata, ia mendapati dirinya berada di dalam novel fantasi yang pernah ia baca—dan menempati tubuh Putri Keempat Kekaisaran Awan. Putri yang lemah, tak dianggap, hidupnya penuh penghinaan, dan dalam cerita asli berakhir tragis sebagai persembahan untuk Kaisar Kegelapan.
Kaisar Kegelapan—penguasa misterius yang jarang menampakkan diri—terkenal dingin, kejam, dan membenci semua wanita. Konon, tak satu pun wanita yang mendekatinya bisa bertahan hidup lebih dari tiga hari. Ia tak tertarik pada cinta, tak percaya pada kelembutan, dan menganggap wanita hanyalah sumber masalah.
Namun semua berubah ketika pengantin yang dikirim ke istananya bukan gadis lemah seperti yang ia bayangkan. Luna, dengan keberanian dan tatapan tajam khas seorang pemanah, menolak tunduk padanya. Alih-alih menangis atau memohon, gadis itu berani menantang, mengomentari, bahkan mengolok-olok
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Di gua, Mo Xian mulai mencurigai. Beberapa prajuritnya melapor bahwa perempuan bernama Rui terlalu cerdas untuk sekadar rakyat biasa.
Malam itu, Mo Xian mendekatinya. “Aku mulai merasakan sesuatu. Kau bukan rakyat. Katakan siapa kau sebenarnya.”
Rui menunduk, pura-pura ketakutan. “Aku… aku hanya seorang yang tidak punya apa-apa.”
Mo Xian menyipitkan mata. Ia tahu ada yang disembunyikan. Namun sebelum ia bisa menekan lebih jauh, seorang prajurit masuk, melapor bahwa ada desa baru yang siap diserang.
Mo Xian menunda interogasi. Tapi Rui tahu, waktunya semakin sedikit. Rahasianya bisa terbongkar kapan saja.
---
Di istana, Wang Tian Ze mulai kehilangan kesabarannya. Pesan dari Rui membuatnya bangga, tapi juga marah.
“Dia bermain-main dengan maut, seolah nyawanya bisa ditukar dengan strategi.” geram Kaisar.
Lan Mei mencoba menenangkan. “Yang Mulia… permaisuri pasti tahu apa yang dia lakukan. Kalau anda menyerang sekarang, semua pengorbanannya akan sia-sia.”
Namun api di mata Kaisar makin membara. “Kalau dalam tiga hari dia tidak kembali, aku sendiri yang akan masuk ke gua itu.”
Jun Hao menelan ludah. Ia tahu, jika Kaisar bergerak sendiri, dunia bisa berakhir dalam satu malam.
----
Di sisi lain, Rui sudah menyusun rencananya. Ia tahu Mo Xian berencana menyerang kota kecil berikutnya. Tapi ia juga tahu ini kesempatan emas.
Ia sengaja memanaskan ego para prajurit. “Kalau kalian hanya menyerang desa lemah, bagaimana rakyat bisa benar-benar takut? Kalian harus menunjukkan kalian bisa mengalahkan pasukan Kaisar, bukan sekadar petani.”
Kata-kata itu membuat prajurit berteriak mendukung. Mo Xian terpaksa mengubah strategi: bukan hanya desa, tapi juga garnisun kecil penjaga perbatasan.
Rui tersenyum samar. “Sekarang… Kaisar pasti akan bergerak. Inilah saatnya permainan berakhir.”
Malam itu, pasukan Sayap Hitam bersiap menyerang garnisun. Rui ikut di barisan depan, matanya berkilat penuh strategi.
Di kejauhan, langit sudah mulai bergetar. Aura hitam Kaisar Wang Tian Ze merambat dari istana, menandai bahwa sang penguasa akhirnya bergerak.
Pertemuan tak terelakkan sudah di depan mata. Rui tahu, satu langkah salah, ia akan mati. Tapi jika berhasil, ia akan menghancurkan Sayap Hitam dari dalam, sekaligus membuktikan bahwa Permaisuri Putih bukan sekadar cahaya di istana, melainkan senjata paling tajam di sisi Kaisar Kegelapan.
Gua Utara malam itu dipenuhi hiruk-pikuk prajurit Sayap Hitam yang sedang bersiap. Api obor berkobar di dinding, sayap hitam mereka berkilau merah oleh pantulan cahaya. Suara logam bersentuhan dengan logam, persiapan senjata dan armor terdengar di mana-mana.
Di tengah kesibukan itu, Rui berdiri tenang, seolah hanyut dalam arus besar persiapan perang. Namun di balik mata yang tenang itu, otaknya berputar cepat. Setiap detail ia simpan, jumlah prajurit, arah logistik, bahkan isyarat yang diberikan Mo Xian.
---
Malam ini berbeda. Rui bisa merasakannya. Mo Xian semakin curiga padanya. Tatapan pemimpin Sayap Hitam itu semakin sering jatuh padanya, seolah ingin mengupas lapisan demi lapisan identitas yang ia sembunyikan.
Namun, sesuatu yang lebih penting terjadi ketika Rui menyelinap keluar dari barisan untuk memantau jalur logistik. Di lorong gelap gua, ia mendengar bisikan samar.
“… pastikan wanita itu tidak kembali hidup. Menteri Liang sudah membayar mahal. Jika kau berhasil, keluargamu akan aman.”
Suara itu menusuk telinga Rui. Ia menahan napas, mendekat lebih dalam. Dari balik bayangan, ia melihat seorang pria berwajah keras dengan bekas luka panjang di pipinya sedang berbicara dengan prajurit Sayap Hitam. Pria itu berbeda: pakaiannya tidak sama dengan mereka, dan bahasa yang ia gunakan terlalu halus untuk seorang iblis.
“Orang suruhan Liang De,” gumam Rui dalam hati.
Jantungnya berdegup cepat, tapi wajahnya tetap datar. Ini adalah bukti yang selama ini ia cari bahwa pengkhianatan di istana bukan sekadar rumor.
Bersambung