Ketika Pagi datang, Lucian Beasley akan pergi. Tetapi Malam hari, adalah miliknya. Lucian akan memelukmu karena Andralia Raelys miliknya. Akan tetapi hari itu, muncul dinding besar menjadi pembatas di antara mereka. Lucian sadar, tapi Dia tidak ingin Andralia melupakannya. Namun, takdir membencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chichi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22: Cinta Saya Bukan Ilusi
"Iya. Tidak sebagai adikku. Namun, sebagai anak"
"Yang Mulia!?" Lucian tidak menyukai keputusan secara sepihak itu.
Tatapan lembutnya pada anak itu perlahan memudar saat menoleh pada Lucian. "Kenapa?" Andralia masih ketus kepada Lucian.
Lucian tersenyum getir. "Saya suami Anda. Mengapa Anda memutuskan hal ini secara sepihak? Bukan hanya petinggi, Bangsawan lain akan keberatan dengan hal ini. Tolong pikirkan baik-baik" Lucian menahan sakitnya di dada.
Andralia berdiri di hadapan Lucian. "Kau memang suamiku secara politik. Ini adalah keputusan terbaik, karena aku tidak akan pernah mengandung anak darimu" ucap Andralia.
♤♤♤
"Saya mencintai Anda, lebih dari diri saya sendiri. Mari kita bicarakan ini pelan-pelan Yang Mulia" bujuk Lucian.
Andralia masih teringat ucapan Lucian pagi itu. "Roh-roh dan sumpah yang ku bawa, hanyalah kehancuran bagimu. Maafkan aku karena mencintaimu, Erundil..."
Meski Andralia tidak yakin dengan maksud ucapannya, itu adalah pertanda. Dia mengingat saat Ayahnya berkata jika Lucian bukan orang biasa yang tidak mengenal Kerajaan Erundil.
Andralia bisa melihat raut kekecewaan yang terpampang jelas di wajah Lucian. "Ini juga demi kebaikanku. Aku belum mengenalnya dengan baik"
Kening Andralia berkerut. "Apa yang perlu dibicarakan?"
"Hak saya" ucap Lucian.
"Hak?"
"Ya. Hak saya sebagai suami Anda. Anda adalah calon Ratu Erundil dan saya pasangan Anda. Anda dituntut untuk memiliki keturunan demi kelangsungan Kerajaan Erundil, Yang Mulia" jelas Lucian.
Dua bocah itu, memandangi Andralia dan Lucian bergantian.
"Aku tidak peduli dengan kelangsungan Erundil!" Tegas Andralia.
"Saya peduli Yang Mulia. Karena ini adalah perjuangan leluhur Anda. Saya tidak masalah jika Anda menunda untuk memiliki keturunan. Tapi, Anda tidak boleh memutuskan sepihak seperti ini" jelas Lucian dengan lembut kepada Andralia.
"Kenapa harus kau yang peduli?!"
"Karena saya suami Anda." Tegas Lucian.
"Persetan dengan suami! Aku membencimu!" Tegas Andralia kepada Lucian. Dia kembali melihat Issac. Dia tersenyum dengan lembut.
"Bagaimana Issac? Mau ikut denganku?"
Bocah dengan rambut ikal kecokelatan itu mengeleng. "Saya tidak mau jadi anak Anda. Saya ingin jadi prajurit saja" bocah itu tak ingin memiliki orang tua angkat yang saling membenci.
"Lihatlah. Dia takut kepada Anda. Anda tidak bisa memaksanya Yang Mulia" ucap Lucian.
"Ah, sayang sekali. Baiklah kalau begitu. Kamu harus sering berlatih agar jadi prajurit hebat. Aku akan menunggumu" ucap Andralia kemudian kembali berjalan untuk ke pantai.
Dua bocah itu melihat ke arah Lucian. Mereka merasa iba. "Aku tidak mau memiliki ibu yang membenci Ayah" lirih bocah itu. Lucian yang mendengarnya, langsung berjongkok dihadapan bocah itu.
"Dia tidak membenciku, dia hanya butuh waktu" jawab Lucian.
Teman Issac melipat lengannya di depan dada. "Orang dewasa selalu berbicara hal aneh" ucapnya.
Lucian terkekeh dan mengusap kepala mereka berdua. "Issac, karena Yang Mulia sudah berkata demikian, maka itu adalah perintah. Dimana rumah kalian? Mungkin, nanti malam kakak akan berbicara dengan walinya Issac" Lucian masih menunjukkan sifat ramahnya kepada dua bocah itu.
Bocah dengan pakaian rapi dan tubuhnya yang agak bongsor itu tersenyum lebar. "Rumahku ada di ujung jalan sana, Paman. Issac pasti akan lebih bahagia jika ikut Paman. Tapi, kenapa Paman memanggil istri Paman Yang Mulia?" Tanya bocah itu.
Lucian hanya meringis, "Dia Putri Andralia Raelys"
"Raelys?" Dua bocah itu menoleh ke arah Andralia yang terus berjalan dan meninggalkan Lucian.
"Kalau begitu.... Paman ini..." Raut bocah itu berubah, dan melihat ke arah Lucian perlahan.
"Ssh... rahasiakan ini. Kami, sedang berlibur. Sampai jumpa lagi nanti malam, sesudah malam malam" lirih Lucian mengusap kepala mereka berdua.
Dua bocah itu membekap mulut mereka masing-masing dan mengangguk. "Sampai jumpa nanti malam" lirih mereka berdua, menatap Lucian dengan mata berbinar.
♤♤♤
Hati Lucian terasa seperti luka yang diberi perasan jeruk.
Andralia kembali diam sepanjang jalan dan Lucian menjaga jaraknya dari Andralia. Tidak ada lagi basa-basi dan lelucon murahan yang terucap dalam bibir Lucian. Bahkan, sampai mereka tiba di pantai, Lucian juga tak banyak bicara. Dia membayar tiket masuk dan membiarkan Andralia duduk di ayunan seorang diri sambil menatap laut biru luas di hadapannya.
Di sisi Andralia, dia merasa tidak nyaman dengan Lucian yang tiba-tiba diam dan membiarkannya seperti itu. Sesekali dia melirik ke belakang, ternyata Lucian masih memperhatikannya.
Andralia memainkan pasir putih di kakinya. Sebenarnya, diri Andralia dipenuhi banyak penyesalan. Dia menyadari jika terlalu kasar kepada Lucian. Dan perkataannya sungguh berlebihan. Namun, Andralia adalah orang yang sangat menjunjung tinggi harga dirinya, sebab sedari kecil dia sudah diajarkan seperti itu.
Sekali lagi, Andralia melirik ke belakang. Kursi tempat Lucian duduk kini kosong.
Andralia tersentak. Dia berdiri meninggalkan ayunannya. Matanya berkeliling, mencari Lucian diantara riuh angin laut. Namun, sepanjang matanya memandang, dia tidak melihat Lucian dimana pun.
Dia takut kehilangan.
Namun, di saat yang sama. Dia juga membenci Lucian.
"Yang Mulia" suara hangat itu, tiba-tiba muncul di belakangnya.
Sekujur tubuh Andralia merinding, dia langsung menoleh ke asal suara itu. Hati Andralia merasa hangat saat melihat sosok yang dia cari ternyata tidak meninggalkannya. Namun, Andralia masih enggan mengakuinya.
Kelapa muda hijau Lucian ulurkan kepada Andralia. "Saya rasa, Anda belum pernah mencoba minum kelapa langsung dari buahnya. Cobalah"
Andralia menatap wajah sosok yang selalu dia sakiti itu. Dia masih bisa tersenyum dengan lebar. Andralia menundukkan pandangannya dan menatap kelapa itu.
"Saya tidak memasukkan apapun. Perlukah saya mencobanya dulu?" Tanya Lucian.
Tangan Andralia meraih kelapa itu dengan cepat, "tidak perlu." Ucapnya dan kembali duduk di ayunannya.
Manis dan menyegarkan dengan sedikit sensasi sepat. Andralia pertama kalinya merasakan air kelapa langsung dari kelapanya.
Lucian mengayunkan pelan ayunan yang Andralia duduk. Sepoian angin, menemani mereka berdua di ayunan yang mereka sewa.
"Yang Mulia, saya tau jika saya tidak lebih baik dari Pangeran Theodore Zael (Suami Andralia sebelumnya). Tapi, saya akan berjuang agar Anda bahagia dengan saya" ucap Lucian.
"Cinta saya kepada Anda bukan ilusi. Saya tidak mengharapkan harta, tahta-"
"Erundilku .... Aku tidak ingin harta, singahsana, derajat, kuasa, ataupun nama..."
"...Saya/aku... hanya ingin Anda/kamu mencintai saya/ku"
Kedua mata Andralia terbelalak lebar. Dia seakan mendengar suara Lucian menjadi dua. Andralia menoleh ke arah Lucian. Raut Lucian tampak kecewa. Dia tersenyum, namun bibirnya sedikit tergigit.
Kelapa di tangan Andralia terjatuh. Suara benturannya di pasir terdengar samar, kalah oleh degup jantungnya sendiri.
Wajah Lucian di hadapannya, itu wajah yang sama seperti dini hari itu.
Andralia bergerak. RefLeks. Tangannya menggenggam pipi Lucian dengan gemetar, seolah ingin memastikan lelaki di depannya benar-benar nyata.
Hatinya tergores, bukan karena sakit, tapi karena sesuatu yang terlalu dalam untuk dia pahami.
"Kenapa? Kenapa kau menunjukkan ekspresi ini padaku... Lucian?" Tanya Andralia menatap Lucian.