Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22
Mobil hitam itu melaju tanpa suara berarti, hanya dentuman halus ban menghantam aspal yang terdengar. Sejak insiden rem mendadak tadi, Alya memilih menatap lurus keluar jendela, meski sebenarnya hatinya masih bergemuruh.
Rehan melirik sekilas, menyadari wajah istrinya yang dingin seperti batu. Rahang Alya sedikit mengeras, bibirnya terkatup rapat. Dia tahu, perempuan itu sedang menahan sesuatu.
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti tepat di depan gerbang sekolah.
Rehan mematikan mesin, namun tidak langsung melepas sabuk pengamannya.
“Alya.” panggilnya pelan.
Alya tidak menoleh.
Rehan menghela napas, lalu meraih dagu istrinya dengan satu tangan, memutar wajah itu agar menatap ke arahnya. Mata mereka akhirnya bertemu, mata Alya yang penuh amarah dan mata Rehan yang mencoba menahan ego.
“Maafkan aku…” suaranya terdengar tulus, meski masih ada nada posesif di baliknya.
“Aku nggak berniat mengancam mu. Aku cuma mau kamu tahu, aku benci melihatmu dekat dengan laki-laki lain.” Jemarinya masih menahan lembut dagu Alya.
“Kamu istriku, Alya.”
Alya menarik napas dalam, menahan diri untuk tidak membalas ucapan itu. Ia hanya diam, membiarkan tatapan Rehan menelusuri wajahnya.
Melihat tidak ada reaksi, Rehan tiba-tiba memajukan wajahnya. Ciuman sekilas mendarat di kening Alya. Sebelum gadis itu sempat mengelak, bibirnya berpindah ke pipi, lalu berhenti di bibirnya, singkat, tapi cukup membuat Alya terdiam membeku.
Rehan menarik diri, matanya menatap dalam-dalam.
“Aku harap kamu mengerti perasaanku,” ucapnya lirih namun tegas.
Alya menelan ludah. Ada sesuatu di dadanya yang bergejolak, antara marah, kesal, dan, entah kenapa sedikit goyah. Ia membuka pintu mobil tanpa menoleh lagi, lalu berjalan cepat menuju gerbang.
Begitu pintu mobil di sebelahnya tertutup, Rehan menarik napas panjang, menatap sebentar ke arah gerbang tempat Alya menghilang di balik dinding sekolah. Ada desir halus di dadanya, rasa sesak yang sulit dijelaskan.
Ia menyalakan mesin dan menjalankan mobilnya pelan. Jalanan pagi itu ramai, namun pikirannya justru penuh oleh bayangan wajah Alya. Wajah itu, yang selalu terlihat dingin saat menatapnya.
Senyum tipis terbit di bibirnya, bukan karena bahagia, tapi sebagai tameng. Ia sudah terbiasa menutupi segala rasa sakit dengan senyum, apalagi di depan orang lain. Hanya saja, saat sendirian seperti ini, ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri.
Rehan tahu, dulu ia melakukan banyak kesalahan. Kata-kata tajam, sikap egois, bahkan tindakan yang melukai hati Alya. Semua itu membentuk dinding tebal di antara mereka. Dinding yang kini terasa hampir mustahil ditembus.
Tangannya mengetuk setir perlahan, seolah sedang berpikir keras.
"Alya…" gumamnya lirih.
"Aku tahu kamu belum bisa buka hati untukku. Tapi aku nggak akan nyerah."
Mobil itu melaju ke arah sekolah elit tempat ia bekerja sebagai kepala sekolah, namun Rehan tetap larut dalam pikirannya. Setiap kali mengingat senyum Alya yang jarang sekali muncul untuknya, ada dorongan kuat di hatinya untuk terus mencoba. Ia tahu, cinta tidak bisa dipaksa, tapi ia juga percaya, hati yang tertutup bisa luluh, jika terus dijaga dan diperjuangkan.
Sampai di perempatan, Rehan kembali tersenyum tipis. Kali ini bukan sekadar menutupi rasa sesak, tapi senyum kecil penuh tekad.
“Suatu hari… kamu akan sadar, Alya. Kalau cuma aku yang akan bertahan di sisimu, apa pun yang terjadi.”
...
Rehan duduk di kursi kulit hitamnya, di balik meja besar yang dipenuhi tumpukan berkas. Ruang kepala sekolah itu sunyi, hanya suara halus gesekan pena dan detik jam dinding yang terdengar. Matanya fokus pada lembar persetujuan program sekolah, namun pikirannya masih sempat melayang ke Alya.
Tiba-tiba, getaran ponsel di sudut meja memecah kesunyian. Layarnya menyala, menampilkan nama Bayu. Rehan mengerutkan kening, Bayu tidak akan menelepon kecuali ada urusan penting.
Ia mengangkat ponsel, suaranya datar.
“Hallo.”
“Hallo, Tuan…” suara Bayu terdengar tergesa, bahkan sedikit gemetar.
“Gawat, Tuan.”
Alis Rehan terangkat, tapi nadanya tetap dingin.
“Ada apa?”
Bayu menarik napas seperti sedang menyiapkan diri.
“Nyonya besar, akan datang ke apartemen sore nanti.”
Rehan terdiam sesaat. Hanya suara napasnya yang terdengar di ujung sana. Matanya menatap kosong pada berkas di depannya, namun pikirannya langsung berputar cepat.
Ia menghela napas panjang, berat, seolah mencoba mengusir beban yang tiba-tiba menindih dadanya. Kedatangan ibunya bukan sekadar kunjungan biasa, itu selalu berarti serangkaian pertanyaan, tekanan, dan tatapan tajam yang mampu membuat siapa pun merasa kecil.
Dan yang membuatnya semakin tertekan… ia belum siap. Belum siap mengatakan yang sebenarnya tentang pernikahannya dengan Alya.
“Baiklah.” Suaranya tetap datar, tapi matanya mengeras.
“Nanti sore sebelum Mama datang, aku pastikan sudah ada di apartemen.”
“Siap, Tuan,” jawab Bayu cepat, sebelum panggilan terputus.
Rehan meletakkan ponsel pelan di meja, lalu menyandarkan tubuh ke kursinya. Ia memejamkan mata sebentar, mencoba meredam gejolak di dadanya.
“Ini akan jadi sore yang panjang.” gumamnya lirih.
Tangannya meraih pena kembali, namun fokusnya sudah buyar. Tumpukan berkas di depannya kini terasa seperti benteng tinggi yang menghalangi pikirannya dari satu hal yang paling ia takuti. reaksi ibunya saat tahu kebenaran tentang Alya.