Di sebuah pulau kecil di Jeju, Lee Seo Han menjalani kehidupannya yang sunyi. Ditinggal kedua orang tuanya sejak remaja, ia terbiasa bergulat dengan kesendirian dan kerasnya kehidupan. Bekerja serabutan sejak SMA, ia berjuang menyelesaikan pendidikannya sendirian, dengan hanya ditemani Jae Hyun, sahabatnya yang cerewet namun setia.
Namun musim panas itu membawa kejutan: Kim Sae Ryeon, cahaya yang menyinari kegelapan hidupnya. Perlahan tapi pasti, Seo Han membuka hatinya untuk merasakan kebahagiaan yang selama ini ia hindari. Bersama Sae Ryeon, ia belajar bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang mencintai dan dicintai.
Tapi takdir berkata lain. Di puncak kebahagiaannya, Seo Han didiagnosis mengidap ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), penyakit langka yang secara perlahan akan melumpuhkan tubuhnya. Di hadapan masa depan yang tak menentu dan ketakutan menjadi beban, Seo Han membuat keputusan paling menyakitkan: mengorbankan cintanya untuk melindungi orang tersayang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rahmad faujan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TITIK PATAH HATI DI IBU KOTA
Setelah satu jam lima belas menit mengudara, pesawat Jeju Air tujuan Seoul (Gimpo) akhirnya mendarat dengan mulus. Guncangan halus terasa saat roda pesawat menyentuh landasan, memantul sekali sebelum menapak kokoh. Sebuah getaran terakhir yang mengingatkannya pada gempa kecil di kehidupannya yang dulu tenang.
Pramugari kepala segera mengambil alih intercom, suaranya terdengar lembut, kontras dengan deru mesin yang perlahan meredup:
🔊[Pengumuman Awak Kabin]
"Hadirin sekalian,selamat datang di Bandara Internasional Gimpo, Seoul. Waktu setempat menunjukkan pukul 12.30 siang dengan suhu udara 18 derajat Celsius. Mohon tetap duduk hingga lampu tanda kenakan sabuk pengaman dipadamkan."
"Atas nama Jeju Air,kami ucapkan terima kasih telah terbang bersama kami. Semoga jumpa lagi."
Seo Han menarik napas lega, tapi rasanya bukan kelegaan yang tulus. Ia melepas sabuk pengamannya saat lampu tanda dipadamkan, tetapi ia tetap duduk sebentar, seperti seorang narapidana yang menunda sesi interogasi. Ia memejamkan mata, merasakan kursi pesawat yang dingin dan keras menembus hoodie-nya, mencoba mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang seolah tertinggal di langit biru Jeju.
Kabin pesawat mulai riuh oleh suara gesekan ritsleting tas yang dibuka dan dentuman pelan koper yang diturunkan dari bagasi—sebuah simfoni ketergesaan yang asing baginya. Seo Han berdiri, meraih ranselnya dari bagasi kabin. Ransel itu terasa ringan, terlalu ringan, mencerminkan betapa sedikitnya yang ia bawa untuk perjalanan sepenting ini. Seolah yang ia bawa bukan barang-barang, melainkan sebuah luka yang terbungkus rapi.
Ia berjalan keluar dari jet bridge, langkahnya tertatih mengikuti irama cepat ratusan penumpang lain yang tampak tahu persis ke mana mereka melangkah.
Suasana Bandara Internasional Seoul benar-benar berbeda drastis dari Bandara Internasional Jeju. Bagai dua planet yang berbeda.
Jika di Jeju ia disambut oleh pelukan udara laut yang segar dan ritme santai yang menenangkan,di Gimpo ia langsung ditelan oleh sebuah mesin raksasa bernama keramaian. Langit-langit terminal tinggi, tetapi justru membuatnya merasa terhimpit, dipenuhi oleh suara bising yang terasa menusuk dan impersonal: pengumuman yang berulang-ulang bagai mantra, derap sepatu cepat di lantai marmer, dan irama gesekan roda-roda koper yang berputar panik, seolah-olah seluruh kota sedang berlari mengejar sesuatu yang tak pernah bisa ia kejar.
Udara di sini terasa lebih kering dan dingin, menusuk paru-parunya. Aroma kopi pekat dan parfum mahal yang tajam bercampur, menciptakan wewangian urban yang membuatnya sedikit pusing. Orang-orang di sekitarnya tampak dingin dan berorientasi pada tujuan, wajah-wajah yang terpaku pada ponsel atau lurus ke depan, tidak ada yang meluangkan waktu untuk bertukar senyum atau sekadar pandangan ramah seperti yang selalu ia dapatkan di Jeju.
Seo Han menyadari dengan getir, ia bukan lagi Seo Han yang santai di Pulau Jeju. Ia kini hanyalah salah satu titik pucat di tengah kanvas kerumunan, membawa beban masalah yang harus diselesaikannya di ibukota. Rasa sakit hati Jae Hyun kini ikut ia pikul dalam ransel ringannya, terasa seribu kali lebih berat dari apapun di bagasi.
Ia menepi sebentar di dekat papan penunjuk arah, merogoh saku hoodie-nya dan mengambil ponsel. Tangannya agak berkeringat, dingin dan lembap. Ia mencoba menelpon Jae Hyun. Satu dering, dua dering... lalu langsung dialihkan ke kotak suara. Panggilan itu berakhir tanpa jawaban, meninggalkan kesunyian yang lebih bising dari keramaian bandara.
"Mungkin dia benar-benar marah," batinnya, merasakan sengatan penyesalan yang lebih pedih dari sebelumnya. Ia tahu Jae Hyun tidak akan membalas panggilannya dengan mudah. Jarak antara mereka kini bukan hanya lautan, tetapi juga amarah dan pengkhianatan.
Ia berjalan keluar dari gedung bandara Seoul. Hawa dingin kota yang lembap menerpa kulitnya, memaksa ia menarik hoodie-nya lebih erat, mencari kenyamanan yang tidak kunjung datang. Setibanya di depan pintu Bandara Gimpo, ia mengangkat tangan dengan gerakan ragu-ragu dan memesan taksi yang lewat.
"Ke RS Songpa Raya," katanya kepada sopir taksi, nadanya berusaha tegas, menyembunyikan getaran gugup yang membuat lututnya hampir gemetar.
Taksi itu meluncur keluar, menyelami arus lalu lintas Seoul. Pemandangan di luar jendela berubah drastis: jalanan yang benar-benar ramai oleh lautan mobil yang tak berkesudahan, dan gedung-gedung pencakar langit yang berderet-deret bagai barisan raksasa beton dan kaca. Gedung-gedung itu tampak begitu tinggi, begitu perkasa, hingga membuatnya merasa kecil, rapuh, dan tidak berarti—hanya sebutir debu dalam mesin metropolis yang besar ini.
Ia mengambil ponsel dari hoodie-nya. Saatnya menghadapi ayahnya. Pertempuran lain yang harus dimenangkan hari ini. Ia menelpon.
"Halo nak,kamu sudah sampai?" terdengar suara ayahnya, ayahnya, yang terdengar serak dan penuh harap, namun membuatnya merasa bersalah.
"Sudah Ayah,"jawab Seo Han, suaranya berusaha terdengar santai, datar. "Tapi aku tidak tahu aku ada di mana. Kita ketemuan di kafe Knotted World jam 6 malam."
"Tapi nak,kamu mau kemana? Kenapa tidak sekarang?" Terdengar nada khawatir yang semakin jelas dalam suara ayahnya, menusuk hati Seo Han.
Seo Han merasakan rasa bersalah yang membara,tetapi ia tidak bisa membiarkan rencana dadakannya—rencana untuk menyelamatkan dirinya sendiri—gagal. "Aku ada urusan sebentar Ayah. Aku tutup."
Tanpa menunggu balasan,ia segera memutuskan sambungan telepon. Wajahnya kembali pucat, serasa darah mengalir pergi. Pengkhianatan kecil lagi.
Taksi yang ditumpangi Seo Han melaju kencang, menembus kepadatan lalu lintas Seoul. Pemandangan kota yang sibuk terus bergerak di luar jendela seperti film bisu, tetapi fokus Seo Han mulai kabur, dunia di sekelilingnya kehilangan warna dan bentuk.
Saat mobil berhenti mendadak karena lampu merah, rasa pusing yang hebat tiba-tiba menghantamnya, jauh lebih kuat dari sengatan ringan yang ia rasakan di bandara tadi. Kepalanya terasa dipukul godam, dan seluruh dunia tampak berputar, gedung-gedung pencakar langit itu menari-nari di pandangannya.
Ia memegang erat sandaran kepala kursi di depannya, buku-buku jarinya memutih. Di telinganya, bunyi nginnng... dengingan yang tadi hanya sayup-sayup kini menjadi suara tajam yang memekakkan, seolah ada lonceng kematian yang berbunyi tepat di samping gendang telinganya.
Seo Han memejamkan mata erat, "aakkkhh" desisannya pendek, mencoba menahan badai di dalam kepalanya. Namun, tiba-tiba, ia merasakan sensasi aneh, cairan hangat dan kental mengalir dari hidungnya, mengalir deras melewati bibir atasnya.
Ia membuka mata dan menyentuh hidungnya dengan jari-jari yang gemetar. Jari-jarinya langsung dipenuhi darah merah segar yang langsung jatuh di hoodienya. Ia mimisan. Sebuah pengingat fisik yang brutal akan kondisinya yang rapuh.
Sopir taksi, yang melihat pergerakan panik di kaca spion, segera menoleh. "Ya Tuhan, Nak! Kamu mimisan! Tunggu sebentar!"
Sopir itu meraih kotak tisu dari dashboard dan menyerahkannya dengan cepat, wajahnya penuh keprihatinan.
Seo Han menerima tisu itu. Kepalanya masih berdenyut-denyut sakit, tetapi ia memaksakan diri tersenyum tipis, sebuah ekspresi yang terpaksa dan menyedihkan.
"Terima kasih,"katanya, meskipun suaranya terdengar tercekat dan hidungnya sekarang penuh dengan tisu putih yang segera diwarnai merah. "Hanya kelelahan. Perjalanan... melelahkan." Ia berbohong.