NovelToon NovelToon
Ibu Susu Bayi Sang Duda

Ibu Susu Bayi Sang Duda

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Janda / Selingkuh / Ibu Pengganti / Pengasuh / Menikah Karena Anak
Popularitas:39k
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah Alfatih

Hari yang seharusnya menjadi momen terindah bagi Hanum berubah menjadi mimpi buruk. Tepat menjelang persalinan, ia memergoki perselingkuhan suaminya. Pertengkaran berujung tragedi, bayinya tak terselamatkan, dan Hanum diceraikan dengan kejam. Dalam luka yang dalam, Hanum diminta menjadi ibu susu bagi bayi seorang duda, Abraham Biantara yaitu pria matang yang baru kehilangan istri saat melahirkan. Dua jiwa yang sama-sama terluka dipertemukan oleh takdir dan tangis seorang bayi. Bahkan, keduanya dipaksa menikah demi seorang bayi.

Mampukah Hanum menemukan kembali arti hidup dan cinta di balik peran barunya sebagai ibu susu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

13. Kotak bekal

Rumah keluarga Biantara terasa ramai seperti biasa, namun Abraham sudah bersiap lebih awal. Jas hitamnya rapi menempel di tubuh, dasinya sempurna, sepatu hitamnya mengilap. Ia melangkah cepat menuruni tangga, menoleh sekilas ke arah ruang makan yang masih terisi penuh dengan aroma roti hangat dan teh, tetapi tak sempat duduk.

“Asisten saya sudah menunggu, saya berangkat sekarang,” katanya singkat pada ibunya yang masih sibuk berbicara dengan pelayan.

Siska menghela napas, sudah biasa anaknya begitu. “Jangan lupa makan siang, Bian.”

Abraham hanya mengangguk, tangannya meraih map kerja, lalu berjalan cepat menuju pintu utama.

Di halaman depan, mobil hitam mewah sudah menunggu dengan sopir pribadi dan asistennya. Abraham hendak membuka pintu belakang ketika terdengar suara berlari dari dalam rumah.

“Tuan Bian!” suara Hanum memanggil lantang tetapi terdengar lembut. Nafasnya sedikit memburu karena berlari kecil membawa sesuatu di tangannya.

Abraham spontan menghentikan langkah, keningnya berkerut. Tatapannya beralih ke arah Hanum yang tergopoh mendekat dengan kotak makan kecil berbalut kain.

“Ada apa?” tanyanya datar, meski sorot matanya menahan heran. Hanum tersenyum tipis, meski wajahnya masih merah karena terburu-buru. Dia menyerahkan kotak itu dengan kedua tangannya.

“Ini … bekal untuk Tuan. Saya tahu tadi Tuan tidak sempat sarapan. Mungkin bisa dimakan di mobil. Tolong jangan lewatkan, meskipun hanya roti, perut tetap harus terisi.”

Abraham terdiam, tatapannya turun pada kotak bekal itu, lalu naik lagi ke wajah Hanum yang begitu tulus. Ada kehangatan aneh menjalari dadanya.

“Asisten saya bisa membelikan sesuatu di jalan,” katanya mencoba tetap dingin.

“Tetapi … makanan dari rumah lebih sehat,” sahut Hanum pelan, hampir ragu, namun matanya tetap berani menatap. “Saya tidak ingin Tuan jatuh sakit.”

Seketika Abraham tidak bisa berkata-kata. Kata-kata sederhana itu, ketulusan yang tak dibuat-buat, membuatnya merasakan sesuatu yang sudah lama ia lupakan sejak lama, perhatian Hanun itu tulus untuknya. Dia meraih kotak itu, jemarinya sempat bersentuhan dengan jemari Hanum. Singkat, tapi cukup membuat Hanum tersentak menunduk malu.

“Baiklah.” Suara Abraham terdengar lebih lembut dari biasanya. “Terima kasih, Hanum.”

Hanum mengangguk, tak berani menatapnya lagi. Abraham sempat menoleh sebentar sebelum masuk ke mobil. Senyum samar muncul di wajahnya, nyaris tak terlihat, tapi nyata. Asistennya yang duduk di depan sempat melirik dari kaca spion, matanya terbelalak kecil. Belum pernah ia melihat atasannya menerima sesuatu dengan ekspresi seperti itu.

Mobil melaju keluar halaman. Dari teras, Hanum berdiri diam, memegangi dadanya yang berdegup cepat. Kotak bekal sederhana itu kini ikut membawa sepotong rasa hangat yang mengikat di antara mereka.

Mobil berhenti di basement gedung perusahaan Biantara Group. Abraham turun dengan langkah mantap, asistennya segera mengikuti di belakang sambil membawa berkas-berkas penting. Mereka masuk ke lift pribadi tanpa banyak bicara, hanya suara ting lift yang mengisi keheningan.

Sesampainya di lantai paling atas, Abraham masuk ke ruangannya yang luas, berisi meja kerja besar dari kayu jati dan rak buku penuh dokumen. Asistennya meletakkan berkas-berkas di atas meja, lalu melirik ke arah kotak bekal yang sejak tadi Abraham biarkan begitu saja.

“Tuan … bekalnya tidak dimakan dulu? Nyonya pasti menyiapkannya dengan tulus,” ucap sang asisten hati-hati, mencoba mencairkan suasana. Alis Abraham langsung berkerut. Dia menatap asistennya dengan dingin.

“Siapa yang bilang aku minta bekal itu?” suaranya datar, tapi ada ketegasan yang membuat orang lain sulit melawan. Asistennya menelan ludah.

“Saya hanya … melihat bagaimana Nyonya Hanum berlari sampai terengah-engah tadi. Itu bukan hal kecil, Tuan. Jarang ada orang yang memperhatikan Tuan sedetail itu.”

Abraham menghela napas panjang, memalingkan wajahnya ke jendela kaca besar di belakang meja kerjanya. Jakarta terlihat ramai dari sana, tapi pikirannya justru berantakan.

“Tidak usah ikut campur urusan pribadiku. Saya tidak punya … perasaan apa pun pada Hanum.”

Asisten itu terdiam, tahu atasannya tidak suka dibantah. Namun, matanya melirik kotak bekal di meja. Ia berniat meraihnya. “Kalau begitu … saya buang saja, Tuan...”

“Letakkan.” Suara Abraham tiba-tiba berat. Pandangannya tajam menusuk, membuat asistennya terhenti kaku. “Urus saja pekerjaanmu, jangan sentuh apa pun yang bukan milikmu.”

Suasana mendadak tegang. Asisten itu mengangguk cepat, “Baik, Tuan,” lalu mundur.

Abraham menatap kotak bekal itu lama sekali. Ada perasaan bergejolak dalam dirinya, antara ingin mendorong jauh-jauh atau justru membukanya. Tetapi, demi menjaga dirinya tetap keras, ia memilih menekan tombol interkom.

“Keluar, jangan ganggu aku sebelum jam meeting.”

“Ba ... baik, Tuan.”

Pintu tertutup, Abraham akhirnya sendirian di ruangannya yang hening itu hanya ada suara jam dinding yang terdengar. Dia menatap kotak bekal itu lagi, tangannya sempat terulur, tapi berhenti di udara. Rahangnya mengeras, hatinya memberontak, tapi matanya jelas-jelas memantulkan sesuatu yang berbeda, keinginan yang ia sendiri enggan akui.

Ketika kotak itu dibukanya, isinya membuat dia tersenyum, roti dengan selai coklat yang cukup sederhana. Bahkan, Abraham jarang memakan itu, dia sudah bisa menebak rasanya pasti biasa-biasa saja.

"Ini terlalu enak," gumam Abraham saat gigitan pertama, dia bingung bagaimana itu bisa terlalu enak sedangkan bentuknya cukup sederhana.

1
Fitria Syafei
Kk cantik kereeen 🥰🥰 terima kasih 😘
Kar Genjreng
cinta di tolak mbh dukun bertindak lampir
Rokhyati Mamih
Bian jangan lupa bawa istri mu yah ?
Hanum.bisa loh nakhlukin ranio
Ddek Aish
karna Julio ngeyel ngarap keuntungan yang besar akhirnya Abraham terima proyek ini dengan si pelakor berabe kan jadinya sekarang
Teh Euis Tea
awas bian waspada jgn ssmpe kena jebajan betmen😁
Ucio
Rania As Mak lampir mulai beraksi
waspada Abraham
IbuNa RaKean
ulet Keket😡😡
Lisa
Ciee Hanum & Abraham udh mulai mesra nih 😊😊 bahagia selalu y utk kalian bertiga..
Asri Yunianti
jangan ada peristiwa jebakan² ya kak🤭
Ani Basiati: lanjut thor
total 2 replies
IbuNa RaKean
aaahhhhh so sweet🥰🥰
Mbak Noer
bagus ceritanya seru
Lusi Hariyani
pasangan ini bikin gemes aja dech
Fitria Syafei
Kk cantik kereeen 🥰🥰 terima kasih 😘
Kar Genjreng
tersenyumlah Abraham agar dunia semaksimal n damai,,,wajah kaku kulkas lima pintu,,,mulai banyak senyum di hadapan hanum ❤️❤️lope lope sekebon mangga 😁😁
ken darsihk
Sadar kan kamu Bian , Hanum istri mu pantas di bangga kan
Istri mu nggak kaleng2 Biiii 👏👏👏
ken darsihk
Lanjuttt ❤❤❤
ken darsihk
Akhir nya es itu mencair juga 👏👏👏
Kar Genjreng
Qu kirim vote Yo Ben tambah semangat Mas menggarap Hanum 🤩❤️
Lisa
Seneng banget bacanya akhirnya Abraham benar² merubah sikapnya dan lebih menghargai Hanum apalagi Hanum mempunyai bakat design..
Ucio
Mantap dpt bonus Kiss Num,wkwkek
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!