NovelToon NovelToon
MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Istana/Kuno
Popularitas:621
Nilai: 5
Nama Author: penulis_hariku

“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21. Bara dibalik Bayangan

Langkah Raden Arya bergema di sepanjang lorong batu. Angin malam menyelinap di antara celah-celah dinding istana, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Tapi hati Arya terasa jauh lebih dingin daripada udara malam itu. Pandangan yang tadi ia saksikan di paviliun Raksa—adiknya, duduk begitu dekat dengan Puspa—terus berputar dalam pikirannya. Setiap kali ia mencoba menepis bayangan itu, dada terasa makin sesak.

“Puspa…” desisnya lirih, nyaris seperti keluhan yang tertahan. Ia tahu dirinya tak berhak menaruh perasaan pada seorang dayang. Ia adalah putra mahkota, pewaris tahta Samudra Jaya. Tapi setiap kali Puspa menunduk dengan senyum lembut itu, Arya merasa seperti manusia biasa—yang hanya ingin dicintai tanpa syarat. Langkahnya berhenti di halaman belakang balairung. Dari kejauhan, ia melihat api unggun prajurit yang sedang bersiap menuju medan perang. Suara dentang senjata, derap kuda, dan aba-aba prajurit bercampur menjadi satu irama yang memekakkan telinga.

Tumenggung Wiranegara datang tergesa menghampirinya. “Gusti Raden! Pasukan gerbang barat sudah siap. Menunggu titah Gusti untuk berangkat.”

Arya menatap lurus ke arah utara. “Baik. Siapkan juga pasukan cadangan di lembah Wringin Gede. Jangan biarkan musuh menembus jalur itu.”

“Sendika dawuh, Gusti.” Wiranata memberi sembah lalu pergi. Namun dalam hati Arya, kegelisahan tak juga surut. Kata-kata Raksa tadi malam terus menggema‘Ada tangan dari dalam istana yang membantu musuh.’

Ia menatap ke arah paviliun Raksa yang kini tampak sunyi, diterangi lampu minyak redup. Entah kenapa, firasat buruk menggelayuti hatinya.

Sementara itu, di paviliun Raden Raksa, Puspa masih duduk menunduk. Udara di dalam ruangan terasa hening, namun jantungnya berdetak cepat. Sejak kepergian Raden Arya, suasana berubah menjadi aneh—sunyi tapi menekan.

“Kenapa kau terlihat gelisah, Puspa?” suara Raden Raksa terdengar dari balik tirai sutra.

“H-hamba hanya takut Gusti Arya salah sangka,” jawab Puspa pelan.

Raksa berjalan mendekat, langkahnya tenang namun berat. “Biarkan saja. Ia harus belajar bahwa tidak semua yang tampak adalah kebenaran.”

Puspa menatapnya dengan bingung. “Apa maksud Gusti?” Raden Raksa tersenyum tipis, tapi matanya menyimpan sesuatu yang tak bisa dibaca. “Tak perlu kau khawatirkan. Malam ini banyak hal akan berubah, Puspa.”

“Berubah…?”

“Ya,” ucap Raksa dengan suara rendah. “Mungkin mulai dari batas negeri… hingga batas hati manusia.” Puspa menunduk, tidak mengerti maksud kata-kata itu. Ia hendak pamit, namun sebelum sempat berdiri, Raden Raksa menahan tangannya. “Jangan keluar dulu malam ini. Apa pun yang terjadi di luar, tetaplah di dalam paviliun.”

Nada suaranya serius kali ini, membuat Puspa hanya bisa mengangguk. Tak lama setelah Puspa pergi ke ruang belakang, Sangkara masuk tergesa dengan wajah cemas. “Gusti! Api telah terlihat di arah barat. Pasukan Jaya Rudra sudah mulai bergerak.” Raden Raksa berdiri, menatap ke luar jendela. Di kejauhan, langit barat memerah, diwarnai nyala api dan cahaya senjata. “Hhh… jadi sudah dimulai.”

“Apakah Gusti akan turun langsung ke medan perang?” tanya Sangkara.

Raksa menggeleng pelan. “Belum saatnya. Biarkan kangmas Arya memimpin dulu. Aku ingin melihat bagaimana ia menghadapi badai pertama ini.” Senyumnya tipis, tapi matanya berkilat tajam—antara strategi dan dendam yang lama ia simpan.

Di sisi lain, di medan perang Narasoma, Raden Arya memimpin pasukan dari atas kudanya. Cahaya fajar baru menyingsing, namun suara teriakan perang telah menggema di seluruh lembah. Panah api melesat dari kedua arah, dan bau darah mulai mengisi udara.

“Pertahankan barisan! Jangan mundur satu langkah pun!” teriak Arya dengan pedang terhunus. Namun di tengah hiruk pikuk itu, ia mulai melihat sesuatu yang ganjil. Sebagian pasukannya di sisi kanan tampak bergerak tanpa aba-aba.

“Kenapa mereka berpencar sendiri?” Arya memicingkan mata, mencoba mengenali lambang di baju perang pasukan itu—bukan panji Samudra Jaya, tapi bendera hitam dengan lambang naga merah.

“Pengkhianat!” teriak salah satu prajurit. Arya terkejut. Dalam sekejap, pasukan dari sisi kanan berbalik menyerang prajurit Samudra Jaya sendiri. Suasana berubah kacau.

Tumenggung Wiranegara berteriak keras, “Ada mata-mata di dalam pasukan kita, Gusti!” Raden Arya mencabut pedangnya lebih tinggi. “Lawan mereka! Jangan beri ampun pada siapa pun yang membawa bendera naga merah!” Namun dalam hatinya, ia tahu — bencana ini bukan serangan biasa. Ada yang merencanakan semuanya dengan teliti. Dan nama pertama yang terlintas di benaknya… adalah Raksa.

Sementara itu di istana, Raden Raksa berdiri di beranda paviliunnya, menatap langit barat yang memerah seperti bara.

“Begitulah, kangmas Arya,” gumamnya pelan. “Mari kita lihat… siapa yang benar-benar pantas memimpin Samudra Jaya.” Di belakangnya, Puspa berdiri diam, wajahnya cemas melihat nyala api dari kejauhan. “Gusti… apakah itu tanda perang?”

Raksa menoleh, menatap gadis itu dengan sorot mata dalam. “Ya, Puspa. Dan setiap perang selalu dimulai dari api kecil—kadang dari hati yang cemburu, kadang dari ambisi yang tak pernah padam.” Puspa menggigit bibirnya, tidak tahu harus menjawab apa. Tapi di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang lebih menakutkan dari perang di luar sana—yakni perang dalam diri Raden Raksa sendiri.

Sementara itu Panglima Aruna sudah mempersiapkan pasukannya untuk menjaga istana terlebih di prabayeksa tempat tinggal Prabu dan paviliun selir serta paviliun putri mahkota dan pangeran. Putri Dyah keluar dari paviliun lalu menghampiri Aruna yang berjaga di depan pintu.

“Gusti Putri, diluar sangat berbahaya sebaiknya Gusti tidak keluar dari paviliun,” kata Aruna sambil memperhatikan sekitar. Putri Dyah tidak menggubris dia menatap langit perbatasan barat yang tampak memerah karena api perlawanan mulai berkobar.

“Apakah perang ini akan segera berakhir?” tanya Putri Dyah, Panglima Aruna menatap Putri Dyah lalu segera menunduk sadar kalau hal itu adalah larangan.

“Ampun Gusti sepertinya pihak Parang Giri mengeluarkan pasukan terbesarnya dan menurut informasi ada beberapa prajurit Samudra Jaya berkhianat dan memihak musuh,” Putri Dyah menoleh cepat kearah Panglima Aruna.

“Apa maksudmu dengan pengkhianat?”tanya Putri Dyah dengan suara yang bergetar. Panglima Aruna menghembuskan nafas perlahan sebelum menjawab pertanyaan itu.

“Menurut pembawa pesan dari Tumenggung Wiranegara, dibarisan pertama memang banyak prajurit yang tampak goyah, Gusti,” ujar Panglima Aruna dengan nada berat. “Ketika pertempuran mulai sengit, beberapa di antara mereka justru mengibarkan lambang naga merah…”

Putri Dyah menatap Aruna tajam, keningnya berkerut. “Naga merah?” suaranya bergetar pelan.

“Ya, Gusti,” jawab Aruna, menundukkan kepala. “Lambang itu berasal dari Parang Giri. Mereka yang mengibarkannya berarti telah berkhianat pada Samudra Jaya.”

Wajah Putri Dyah seketika memucat. “Pengkhianatan di tengah perang… ini keterlaluan.” Tangannya meremas kain selendang yang menutupi bahunya. “Bagaimana mungkin hal itu terjadi tanpa ada yang mengetahuinya di dalam istana?”

Aruna menunduk dalam. “Hamba sendiri belum menemukan siapa dalangnya, Gusti. Namun… ada satu hal yang membuat keadaan makin rumit.”

Putri Dyah menatapnya penuh tanda tanya. “Apa itu, Aruna?”

“Raden Arya kini memimpin langsung di perbatasan barat,” ucap Aruna hati-hati, “sementara Raden Raksa… tidak terlihat di antara pasukan. Menurut laporan, beliau tetap berada di paviliunnya hingga malam ini.” Kata-kata itu seperti petir yang menyambar dada Putri Dyah. “Apa katamu?” suaranya meninggi. “Raksa tidak ikut berperang?”

“Benar, Gusti,” jawab Aruna lirih. “Tidak seorang pun tahu alasan beliau. Bahkan Sangkara dan Jaya Rudra tak memberi keterangan apa pun. Mereka hanya menyampaikan bahwa perintah Gusti Raden Raksa adalah menjaga wilayah dalam istana.” Putri Dyah menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang bergolak. “Menjaga istana?” ia mengulang pelan, matanya menatap kosong pada langit yang mulai gelap. “Atau menjaga sesuatu yang lain…?” Dia memalingkan pandangannya ke arah barat lagi. Di sana, kilatan cahaya tampak menembus gelap malam—barangkali pantulan logam senjata yang beradu. “Apakah Samudra Jaya sedang diguncang dari luar,” katanya lirih, “atau justru dari dalam, oleh darahnya sendiri?”

Aruna menunduk dalam. “Hamba tidak berani menilai, Gusti. Tapi… bila benar ada pengkhianat di barisan kita, maka perang ini bukan hanya soal perbatasan. Ini tentang siapa yang setia dan siapa yang haus kuasa.” Putri Dyah terdiam lama. Angin membuat selendangnya berkibar lembut, tapi matanya tajam seperti menembus kegelapan di kejauhan. “Sampaikan kepada Tumenggung Wiranegara,” ucapnya akhirnya, “bahwa saya ingin laporan langsung tentang keadaan di perbatasan barat malam ini juga. Dan bila Raden Raksa tetap tidak meninggalkan paviliun—saya ingin tahu alasannya selain itu Perintahkan penjaga ganda di sekitar paviliun Raden Raksa. Jangan bertindak gegabah, tapi awasi setiap gerak-geriknya. Bila ada yang mencurigakan… laporkan langsung padaku.”

“Sendika dawuh, Gusti,” jawab Aruna sambil menunduk hormat, lalu segera beranjak pergi. Putri Dyah melangkah perlahan kembali ke paviliunnya. Tapi dalam hatinya, guncangan itu tak juga mereda. Ia tahu, perang melawan Parang Giri hanyalah awal. Bahaya yang lebih besar mungkin sedang tumbuh di dalam dinding istana Samudra Jaya sendiri—dan sumbernya, bisa jadi bukan dari luar… melainkan dari seseorang yang tengah berdiri tenang di beranda paviliunnya sendiri.

Sementara itu di kejauhan, di paviliun yang temaram, Raden Raksa masih berdiri di beranda dengan senyum samar di wajahnya. Matanya menatap arah barat yang berkobar, seolah api perang itu menyala karena kehendaknya sendiri.

“Api kecil sudah membesar…” gumamnya pelan. “Mari kita lihat, kangmas Arya—apakah kau masih percaya pada arti kesetiaan?” Puspa yang berdiri di belakangnya hanya bisa menunduk. Ia tak tahu, apakah malam itu Samudra Jaya sedang menghadapi perang di medan pertempuran… atau justru perang yang lebih berbahaya, di dalam istana sendiri.

Jaya Rudra datang dengan tergopoh-gopoh mengetuk pintu lalu menunduk memberi hormat, melihat Puspa dibelakang Raden Raksa membuat Jaya Rudra urung melaporkan apa yang terjadi, Raden Raksa paham apa yang dimaksud anak buahnya itu.

“Tidak apa-apa mendekatlah,” Jaya Rudra mendekat lalu membisikkan sesuatu di telinga Raden Raksa.

“Putri Dyah mulai curiga dengan kita Gusti, beliau menjaga ketat paviliun Raden,” bisik Jaya Rudra sangat pelan, tangan Raden Raksa mengepal erat rahangnya mengeras tapi sadar masih ada Puspa dibelakangnya sehingga dia langsung meredam amarahnya.

“Baiklah...bersikaplah seperti biasa seolah-olah tak terjadi apa-apa, dan perintahkan Sangkara untuk bergerak lebih cepat,”bisik Raden Raksa.

“Sendika Dawuh Gusti,” Jaya Rudra pun keluar dari paviliun, Raden Raksa mendekat kearah Puspa lalu menatap manik mata gadis itu kemudian mengecup bibirnya perlahan dan tanpa disadari, Puspa membalas kecupan bibir itu tidak terburu-buru perlahan tapi penuh akan makna didalam kecupan itu hingga akhirnya ciuman itu perlahan terlepas, nafas mereka berdua tersengal. Puspa menundukkan wajahnya memerah karena malu tapi dengan cepat Raden Raksa menahan dagunya.

“Tunggulah, saat aku menaklukkan singgasana kau yang akan menjadi permaisurinya,”

Jantung Puspa berdetak lebih cepat, ada dua makna dalam ucapan Raden Raksa hingga dia tak membalas kata-kata itu.

Sementara itu ditengah malam Prabu Harjaya terkejut karena mendapat kabar adanya pengkhianat di dalam pasukannya.

“Apa katamu?!” suara Prabu Harjaya bergema keras di balairung utama, hingga para abdi dan prajurit yang berjaga di luar ikut menunduk ketakutan. Malam itu, lentera-lentera minyak bergoyang ditiup angin malam, menciptakan bayangan tajam di dinding istana. Mahapatih Nirmala Wisesa berdiri di hadapan sang raja dengan wajah tegang. Di tangannya masih tergenggam gulungan laporan perang yang baru saja dibawa utusan dari perbatasan barat. “Ampun, Gusti Prabu… kabar ini datang dari Tumenggung Wiranegara sendiri. Ada sekelompok prajurit yang berbalik arah dan mengibarkan lambang naga merah. Mereka telah menyerang barisan belakang pasukan Samudra Jaya.”

Prabu Harjaya membanting tangan ke sandaran singgasananya. “Pengkhianat! Di dalam pasukan sendiri!” suaranya berat dan bergetar oleh amarah. “Sudah berapa lama kita menyemai benih pengkhianat tanpa menyadarinya, Nirmala?”

Mahapatih menunduk dalam-dalam. “Ampun, Gusti. Kami sedang menyelidiki dari mana perintah itu berasal. Namun… ada hal lain yang mungkin Gusti perlu ketahui.”

Raja menatapnya tajam. “Bicaralah.”

“Raden Arya saat ini masih memimpin di perbatasan barat, berusaha menahan serangan musuh,” ujar Nirmala hati-hati. “Namun, Raden Raksa… tidak ikut bersama pasukan.”

Kening Prabu Harjaya langsung berkerut. “Tidak ikut?”

“Benar, Gusti. Beliau tetap di paviliunnya dan tidak memimpin pasukan seperti yang diperintahkan.” Seisi balairung mendadak hening. Hanya suara angin malam yang terdengar melolong lembut dari celah jendela. Beberapa bangsawan yang hadir saling berpandangan, sebagian menunduk agar tak tertangkap sorot mata sang raja yang kini membara oleh kemarahan.

“Jadi, di saat Samudra Jaya berlumur darah dan api,” ujar Prabu Harjaya perlahan, suaranya berat seperti dentuman guntur, “putraku sendiri memilih berdiam diri di istana?!”

Mahapatih Nirmala menunduk dalam-dalam. “Ampun, Gusti Prabu... menurut laporan dari pengawal istana, Gusti Raden Raksa masih berada di paviliunnya. Beliau sedang mempersiapkan strategi cadangan untuk pertahanan selatan.”

“Strategi?” suara Prabu Harjaya meninggi, tapi cepat ia redam. “Mengapa aku tidak diberi kabar tentang itu?” Tak ada yang berani menjawab. Para bangsawan hanya saling pandang dengan wajah tegang. Akhirnya Mahapatih Nirmala memberanikan diri angkat bicara lagi. “Mungkin Gusti Raden Raksa menunggu perintah langsung dari paduka, atau... sedang menanti waktu yang tepat untuk bergerak.”

Prabu Harjaya menghela napas panjang. “Waktu yang tepat? Saat darah prajurit menetes di barat, tak ada waktu yang tepat untuk diam.” Nada suaranya tajam, tapi ada sesuatu di baliknya—rasa sedih seorang ayah yang mulai kehilangan keyakinan pada anak-anaknya.

Ia menatap peta besar di hadapannya. Bendera-bendera kecil berwarna merah dan biru menandai posisi pasukan. Di sisi barat, lambang naga merah berkibar—tanda bahwa pengkhianatan benar-benar telah terjadi. Prabu Harjaya mengepalkan tangannya di atas meja batu.

“Samudra Jaya bukan hanya diserang dari luar,” gumamnya lirih, “tapi juga dari dalam hati orang-orangnya sendiri.”

Mahapatih Nirmala menunduk makin dalam. “Ampun, Gusti Prabu... hamba akan memastikan siapa dalang di balik ini semua.” Namun Prabu Harjaya hanya mengangkat tangannya, menahan ucapan itu. “Tidak, Nirmala. Jangan gegabah. Biarkan waktu menunjukkan siapa yang benar-benar setia.” Suaranya tenang, tapi mata baginda menatap kosong ke arah jendela, ke langit yang memerah oleh nyala api di kejauhan. Dalam benaknya, ada nama yang berputar, samar tapi menyesakkan. Nama yang tak ingin ia curigai, tapi juga tak bisa ia abaikan Raden Raksa.

1
Yuuko Ichihara
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
kokichi.oma.panta
Wuihh! Simpel tapi menghibur banget ni novel.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!