Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.
Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 / THTM
Hampir dua minggu sejak Alaric memutuskan untuk sedikit menjauh dari rumah besar.
Ia memilih tinggal di apartemennya yang berada di pusat kota, mencoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan, rapat, dan laporan yang tak ada habisnya. Tapi, setiap kali malam tiba dan lampu-lampu kota berkelip di jendela, pikirannya selalu kembali ke satu nama—Nayara.
Ia menatap gelas kopinya yang sudah dingin, seolah berharap rasa pahit itu bisa menutupi getir di dadanya.
“Kenapa harus dia?” gumamnya pelan, hampir seperti menyalahkan diri sendiri.
Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa gadis itu tidak lebih dari gangguan sesaat, hanya karena terlalu lama bermain di wilayah yang seharusnya tidak disentuh.
Tapi setiap kali ia menutup mata, wajah Nayara muncul — dengan mata yang polos dan takut-takut, dengan suara lembut yang memohon agar dibiarkan sendiri.
Dan anehnya, bukan rasa puas yang datang… tapi rasa bersalah.
Beberapa kali ia hampir mengambil ponselnya, ingin mengirim pesan, menanyakan kabar gadis itu, tapi tangannya selalu berhenti di tengah jalan.
Ia sadar, semakin ia berusaha menjauh, semakin kuat bayangan Nayara menggenggamnya.
Di sisi lain, Nayara justru kembali bisa bernapas lega lagi. Meskipun terkadang masih merasa was-was jika ini hanya sementara seperti sebelumnya.
Hari-harinya kembali normal, sekolah, membantu ibunya, tertawa kecil dengan teman-teman. Tapi ada satu hal yang tidak bisa ia jelaskan — kadang-kadang, di tengah keramaian, ia merasa seperti sedang diawasi.
Bukan dengan niat buruk, tapi dengan tatapan yang terlalu mengenal dirinya.
Sementara itu, di ruang kerjanya yang sunyi, Alaric bersandar di kursi.
Layar laptop di depannya menampilkan laporan, tapi matanya kosong.
Dan dalam hening itu, ia berbisik lirih, “Aku pikir aku bisa berhenti. Tapi ternyata… tidak sesederhana itu.”
...----------------...
Sudah tiga bulan Nayara tak melihat sosok Alaric.
Sejak pria itu memilih memfokuskan diri pada urusan kantor, hidup Nayara terasa lebih ringan — seperti baru saja keluar dari ruang gelap yang pengap.
Ia mulai bisa tertawa lepas bersama Elara tanpa rasa was-was, tanpa takut bayangan itu muncul di setiap sudut pandangnya.
Namun lagi-lagi sepertinya ketenangan itu berumur pendek.
Undangan kecil berwarna emas tiba-tiba datang — ulang tahun Elara, pesta sederhana di rumah besar keluarga itu.
Nayara sempat menolak dengan berbagai alasan, tapi Elara terlalu tulus untuk disakiti. “Kalau kamu nggak datang, aku nggak bakal tiup lilin,” katanya waktu itu, dengan wajah memohon.
Dan di situlah Nayara berdiri malam ini — di halaman yang diterangi cahaya lampu taman, dengan hati yang berdebar aneh.
Ia tak tahu, bahwa di balik balkon lantai dua, sepasang mata sedang memperhatikannya sejak tadi.
Alaric, dengan jas hitamnya yang rapi, menatap gadis itu tanpa suara. Ia pikir waktu akan memadamkan bayangan Nayara, tapi setiap kali ia mencoba melupakannya, wajah gadis itu justru semakin nyata dalam pikirannya.
Seolah ketenangan yang ia bangun selama ini hanya tipuan semata.
Dan malam itu, di tengah tawa tamu-tamu yang berbaur, langkah Alaric perlahan mendekat.
Senyum ramahnya membuat siapa pun tak curiga, namun Nayara tahu…
Tatapan itu bukan tatapan biasa. Tatapan itu membawa kenangan yang selama ini ia kubur dalam-dalam.
Musik lembut mengalun di dalam aula besar. Para tamu berganti menari, tertawa, dan berbincang. Tapi bagi Nayara, waktu terasa melambat.
Setiap langkah yang ia ambil, setiap arah pandangnya — entah kenapa, selalu berujung pada sosok Alaric.
Pria itu tampak terlalu tenang. Senyumnya seolah ramah, tapi Nayara tahu… dari balik senyum itu, Alaric sedang menyusun sesuatu.
“Nay,” panggilan itu membuat Nayara menoleh cepat.
Alaric berdiri tak jauh, segelas jus di tangan, pandangannya tajam namun santai.
“Aku boleh ngobrol sebentar?” tanyanya sopan, tapi nada suaranya tak memberi ruang untuk penolakan.
Nayara mengangguk pelan, setengah takut, setengah penasaran. Mereka berjalan menjauh dari kerumunan, menuju teras belakang yang sepi. Lampu taman redup, suara pesta terdengar sayup dari kejauhan.
“Sudah lama kamu nggak ke rumah,” Alaric membuka percakapan sambil menatap jauh ke arah taman.
“E… iya, Kak. Lagi sibuk aja, sekolah dan bantu Ibu kalo udah pulang kerja disini,” jawab Nayara gugup.
Alaric mengangguk pelan, lalu menatapnya — kali ini langsung, tanpa penghalang.
“Kamu tenang ya?” tanyanya tiba-tiba.
Pertanyaan itu membuat Nayara menegang.
Ada sesuatu dalam suaranya — sesuatu yang bukan sekadar tanya basa-basi.
“Aku cuma… ya, sibuk aja, Kak,” ucapnya, menunduk.
Alaric tersenyum miring, lalu mendekat setengah langkah. “Waktu tenang yang ku kasih, kamu nikmatin dengan baik, ya?”
Nada lembutnya justru terdengar seperti bisikan yang mengunci napas Nayara.
“Kak, jangan bercanda gitu… banyak orang,” bisik Nayara, matanya celingukan.
Tapi Alaric hanya mengangkat alis, “Bercanda? Kamu pikir aku bercanda dengan semua ini, Nay?”
Deg.
Ucapan itu seperti menarik Nayara kembali ke malam-malam yang ingin ia lupakan.
Ia mundur satu langkah, menunduk, mencari kata — tapi Alaric lebih cepat.
Ia tersenyum tipis, nyaris ramah, lalu menepuk bahu Nayara ringan. “Tenang aja. Aku cuma nanya… apa kamu siap kalau waktu tenang itu benar-benar udah selesai?”
Nada itu…
Lembut, tapi menyiratkan kendali mutlak.
“Selamat menikmati pestanya, Nay.”
Alaric berlalu meninggalkan teras, meninggalkan Nayara yang kini berdiri sendiri — dengan jantung berdebar kacau dan pikiran yang menolak percaya kalau masa tenangnya kali ini benar-benar berakhir.
Pesta telah usai.
Lampu-lampu di aula satu per satu padam, hanya menyisakan cahaya lembut dari taman luar yang menembus jendela besar.
Nayara membantu Elara membereskan meja-meja, menata piring, dan mengumpulkan gelas bekas minum. Tapi di sela lelah dan sibuk itu, jantungnya terus berdebar. Ia tahu Alaric masih ada.
“El, aku bantu sampe sini aja ya, nanti Ibu pasti nungguin,” ucap Nayara sambil merapikan rambutnya.
Elara tersenyum lembut. “Iya, tapi makasih banyak ya, Nay. Kalau kamu nggak ada, pasti aku udah berantakan banget.”
Nayara mengangguk pelan. Dan buru-buru melangkahkan kakinya keluar Tapi bahkan sebelum ia benar-benar keluar dari aula, suara berat itu terdengar.
“Kamu nggak pamit dulu?”
Langkah Nayara terhenti.
Suara itu membuat udara di ruangan seolah menebal. Ia menoleh perlahan — Alaric berdiri di depan pintu, masih mengenakan kemeja hitam yang tadi ia pakai di pesta. Lengan bajunya digulung, dasinya longgar, tapi justru itu yang membuat tatapannya semakin berbahaya.
“Elara udah gak ada, kan?” tanyanya santai.
“Iya, Kak. Kayaknya,” jawab Nayara pelan.
“Bagus,” balas Alaric, mendekat perlahan.
Nayara ingin mundur, Tapi tatapan Alaric seolah mengunci pergerakan Nayara.
Tatapan Alaric menelusuri wajahnya — bukan tatapan kasar, tapi terlalu dalam, seperti menelanjangi isi pikiran Nayara.
“Kamu masih takut sama aku, Nay?” tanya Alaric dengan nada setengah berbisik.
“Bukan takut…” jawab Nayara gugup. “Aku cuma… nggak mau kejadian dulu terulang lagi.”
Alaric tersenyum, samar, nyaris menyakitkan. “Dulu?
Nayara menelan ludah.
“Aku udah janji sama diri aku sendiri buat mulai hidup normal, Kak,” ucapnya pelan.
Dan untuk sesaat, Alaric hanya diam — menatapnya seperti seseorang yang menahan emosi yang rumit.
Kemudian, suaranya terdengar lagi. Tenang. Pasti.
“Kamu pikir aku nggak nyoba lepas, Nay? Aku pergi jauh, kerja di luar negeri, ngubur semua hal yang pernah terjadi.”
Alaric menghela napas pendek, nadanya mulai berat. “Tapi makin jauh aku pergi, makin jelas wajah kamu di kepala aku. Makin aku lawan, makin aku pengen ketemu.”
Nayara terpaku.
Ia tidak tahu harus berkata apa.
Ada bagian dirinya yang ingin marah, tapi bagian lain — bagian yang ia benci — justru tersentuh.
“Jadi kamu mau aku apa, Kak?” suaranya nyaris bergetar.
Alaric tersenyum tipis, lalu berbisik rendah, nyaris tak terdengar.
“Aku nggak minta apa-apa… aku cuma mau kamu ingat, Nay — selama aku di sini, kamu nggak akan pernah benar-benar bebas.”
Ucapan itu menampar kesadarannya.
Nayara terdiam.
Alaric mundur selangkah. Dengan ekspresi santai ia melangkah pergi, seolah percakapan tadi tak pernah terjadi.
Sementara Nayara berdiri di tempat yang sama, menggigil — bukan karena dingin, tapi karena tahu bahwa permainan Alaric tidak akan pernah berhenti.