NovelToon NovelToon
INDIGO

INDIGO

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Lia Ap

Nadia ayu, seorang gadis yang bisa melihat 'mereka'

mereka yang biasa kalian sebut hantu, setan, jin, mahluk halus atau lain sebagai nya.


suara dari mereka, sentuhan bahkan hembusan nafas mereka, bisa di rasakan dengan jelas. Sejak mengalami kecelakaan itu, mengubah cara pandangannya terhadap dunia..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

21. Gangguan malam

Malam turun perlahan. Kami semua berkumpul di ruang tengah, lampu rumah dinyalakan semua. Joan dan Gilang masih sibuk di depan laptop masing-masing, sementara aku dan Wita duduk di sofa, menonton TV sambil pura-pura santai.

Awalnya, semuanya terasa aman. Tidak ada suara aneh, tidak ada bayangan. Bahkan udara terasa normal, hangat.

Aku mulai berpikir kalau mungkin, berkat pagar gaib yang kuperkuat tadi sore, mereka menyerah.

Tapi ternyata… aku salah.

Menjelang tengah malam, suara pertama mulai terdengar.

Tok… tok… tok… —

Ketukan pelan di jendela dapur. Bukan keras, tapi cukup untuk membuat bulu kuduk merinding.

Aku melirik ke arah jendela, dan sekilas… bayangan tinggi hitam berdiri di luar, diam menatap ke dalam. Matanya dua titik putih redup, tidak berkedip. Aku cepat-cepat menunduk agar tidak terlihat Joan dan Wita kalau aku pucat.

Lalu suara itu bertambah. Dari jendela ruang tamu, pintu belakang, bahkan atap. Tok… tok… tok… bergantian, seperti ada banyak yang mengelilingi rumah.

Wita meneguk minumannya dengan tangan bergetar. “Lo denger nggak, Nad? Kayak ada yang… ngetok semua sisi rumah.”

Aku berusaha tenang. “Iya, tapi… mereka nggak bisa masuk. Kita aman.”

Namun suara ketukan itu berubah menjadi gesekan. Seperti kuku panjang menyeret di kaca dan tembok. Sreeeek… sreeeek…

Suara TV mendadak berisik sendiri, berganti channel acak tanpa ada yang menyentuh remote. Lampu berkedip beberapa kali, meski listrik tidak padam.

Gilang menoleh, melepas headphone. “Eh, lo semua denger itu? Kok TV-nya… aneh?”

Joan berdiri, menutup laptopnya. “Tetap di ruang tengah. Jangan keluar, jangan buka jendela.”

Tiba-tiba, dari luar jendela ruang tamu, sesosok makhluk terlihat jelas. Tubuhnya kurus panjang, kulitnya abu-abu kusam seperti kayu tua, mulutnya menganga lebar dengan lidah menjulur panjang. Ia menempelkan wajahnya ke kaca, tapi tidak bisa masuk. Matanya berputar cepat, seolah marah.

Aku menahan napas, berusaha tidak bereaksi. Karena Ningsih sudah bilang — kalau aku terlihat panik, mereka akan makin menggila.

Dan benar saja, gangguannya meningkat.

Suara langkah berlari di atap, bolak-balik tanpa henti.

Pintu belakang bergetar, seperti ada yang menendang dari luar.

Semua pintu kamar terbuka sendiri satu per satu, krek… krek… tanpa ada angin.

Dan bau anyir menyebar dari arah dapur, seperti daging busuk.

Wita mulai gemetar, suaranya nyaris berbisik. “Nad… gue nggak kuat… ini kayak neraka. Mereka… mereka pengen kita takut mati.”

Aku menggenggam tangannya, berusaha tegar. “Denger gue, Wit. Mereka cuma bisa bikin kita takut. Mereka nggak bisa masuk. Pegang kata-kata itu.”

Joan menoleh ke arahku, matanya tajam. “Kamu yakin, Sayang?”

Aku mengangguk pelan, meski suaraku gemetar. “Percaya sama aku. Pagar ini masih kuat. Selama kita nggak buka pintu, mereka nggak bisa menyentuh kita.”

Tiba-tiba, semua lampu padam bersamaan. Gelap total. TV mati. Hanya suara ketukan, gesekan, dan langkah yang terdengar di luar… makin lama makin dekat.

Dalam gelap, aku mendengar suara Ningsih di telingaku, meski wujudnya tak terlihat.

“Pegang kendalimu, Nadia. Jangan biarkan rasa takut mematahkan pagar. Mereka tidak bisa masuk… kecuali kau sendiri yang membukakan celah.”

Gelap total. Hanya suara langkah dan ketukan yang memenuhi udara. Nafasku terasa berat, jantungku berdetak terlalu kencang. Wita berpegangan erat pada lenganku, sementara Joan dan Gilang berdiri siaga, meski mereka tak bisa benar-benar melihat apa yang mengitari rumah.

Dari luar jendela, suara ketukan berubah menjadi bisikan. Pelan, berlapis, datang dari segala arah.

“Kembalikan… kembalikan… milik kami… milik kami…”

Aku menahan napas, mencoba fokus. Tapi semakin aku mendengarkan, semakin jelas kata-kata itu. Mereka tidak sedang acak bicara. Mereka… menuntut sesuatu.

Lampu tiba-tiba menyala lagi sendiri, berkedip-kedip. Di cermin besar ruang tamu, Ningsih muncul, berdiri di belakangku. Rambut merahnya menjuntai, matanya menyala samar. Hanya aku yang bisa melihatnya.

“Nadia…” suaranya serak. “Kau mau tahu kenapa mereka tak mau pergi? Kenapa mereka mengikutimu sejak pantai itu?”

Aku menoleh pelan, berbisik, agar yang lain tidak curiga. “Iya… kenapa? Apa yang mereka mau dariku?”

Ningsih melayang mendekat, suaranya kini hanya terdengar di telingaku.

“Kau ingat saat kau menapaki pasir pantai itu? Saat kau menunduk dan memungut kerang yang aneh, yang warnanya tak seperti kerang biasa?”

Aku teringat. Memang, beberapa jam sebelum semuanya terjadi, aku menemukan kerang besar berwarna hitam kehijauan, berkilau aneh. Aku menyimpannya di tas, berniat membawanya pulang sebagai hiasan.

“Itu bukan kerang biasa, Nadia,” Ningsih melanjutkan. “Itu penanda — penanda milik makhluk penjaga laut itu. Siapa pun yang menyentuh dan membawanya, dianggap sebagai pencuri. Mereka akan menuntutnya kembali… atau menuntut jiwamu sebagai ganti.”

Suara bisikan di luar semakin keras, menabrak kaca jendela seperti badai suara.

“Kembalikan… kembalikan… milik kami… darah sebagai ganti… darah sebagai ganti…”

Aku menelan ludah, keringat dingin mengalir di pelipis. “Jadi… kalau aku balikin kerangnya, mereka pergi?”

Ningsih menggeleng perlahan, senyumnya tipis. “Tidak sesederhana itu. Kau sudah membawanya melewati batas laut, melewati daratan, bahkan melewati pagar gaib ini. Sekarang, mereka tidak hanya menginginkan kerangnya… mereka ingin menandaimu. Menjadikanmu bagian dari mereka, atau setidaknya… memakan sedikit dari jiwamu sebagai harga.”

Aku terdiam, tubuhku terasa kaku. Di luar, bayangan tinggi itu menempelkan wajahnya ke jendela lagi, lidahnya menjulur, matanya menatap tepat ke arahku, seolah mendengar percakapan ini.

Joan menoleh ke arahku, menyadari wajahku pucat. “Nad, ada apa? Kamu lihat sesuatu lagi?”

Aku hanya bisa berbisik. “Mereka nggak akan pergi… kecuali aku kasih apa yang mereka mau.”

Suara bisikan dari luar kini berubah menjadi teriakan serak, serempak

“KEMBALIKAN… ATAU DARAH… KEMBALIKAN… ATAU DARAH…”

Wita menutup telinganya, ketakutan. Gilang berdiri, menatap panik ke semua arah. “Apa sih maunya mereka, Nad?!”

Aku menatap Ningsih. “Kalau aku nggak mau kasih jiwaku… gimana cara ngejauhin mereka?”

Ningsih menyeringai, matanya berkilat merah. “Ada satu cara. Tapi kau mungkin tak akan suka. Karena untuk mengikat mereka agar pergi, kau harus memberi sesuatu yang lain… sebagai ganti.”

Bisikan dan ketukan di luar semakin menggila. Pintu belakang bergetar seperti ada yang menendang, suara langkah berlari di atap makin kencang, dan semua jendela serentak gedebuk dihantam sesuatu dari luar.

Joan menggenggam bahuku. “Nad, kamu harus bilang. Ada cara nggak supaya semua ini berhenti?”

Aku menatapnya, ragu untuk menjelaskan soal kerang dan ancaman mereka. Tapi sebelum aku sempat bicara, Ningsih muncul di cermin ruang tamu, matanya menyala merah. Hanya aku yang bisa lihat.

“Nadia,” suaranya berbisik lirih tapi menusuk, “kerangnya… masih di tasmu, kan? Ambil. Kita lakukan sekarang, sebelum pagar gaib benar-benar runtuh.”

Aku cepat-cepat berlari ke kamar, mengambil tas kecilku. Dari dalam, aku mengeluarkan kerang besar hitam kehijauan, permukaannya berkilau aneh seolah hidup. Begitu kerang itu keluar, semua suara di luar mendadak berhenti. Hening… tapi terasa lebih mencekam, seperti mereka sedang menunggu.

Wita menatapku, bingung. “Itu… cuma kerang kan? Kok rasanya… kayak rumahnya langsung sunyi?”

Aku tidak menjawab, menatap Ningsih yang melayang di pojok ruangan. “Apa yang harus aku lakukan?”

Ningsih tersenyum samar. “Letakkan kerang itu di tengah rumah. Kita akan buka jalur agar mereka mengambilnya kembali. Tapi… kau harus memberi pengganti. Mereka tak akan puas hanya dengan benda ini, karena kau sudah membawanya melewati batas dunia mereka.”

Aku menggertakkan gigi. “Pengganti… maksudnya apa?”

Dia mendekat, berbisik di telingaku. “Bukan jiwa manusia. Tenang. Tapi kau harus memberi sesuatu yang hidup sebagai persembahan, agar mereka puas dan berhenti mengikutimu.”

Joan menatapku curiga. “Nad? Kamu ngomong sama siapa? Apa yang harus kita lakukan?”

Aku hanya berbisik pelan. “Percaya sama aku… ini satu-satunya cara.”

Ningsih melayang ke arah jendela, tangannya mengarah ke kandang burung di teras belakang — burung peliharaan milik mamaku.

“Kau bisa gunakan itu. Darahnya cukup untuk jadi penawar. Atau… kalau kau tak sanggup, aku punya cara lain. Tapi harganya… lebih berat.”

Aku menelan ludah. Wita menatapku lebar, seolah bisa merasakan kalau aku harus memilih sesuatu. “Lo nggak serius kan, Nad…? Lo nggak bakal ngorbanin sesuatu, kan?”

Sementara itu, dari luar rumah, suara makhluk-makhluk itu kembali terdengar — lebih keras, lebih marah

“KEMBALIKAN… ATAU DARAH… KEMBALIKAN… ATAU DARAH…”

Ningsih menatapku lurus, senyumnya tipis. “Pilih sekarang. Kita hanya punya beberapa menit sebelum pagar gaib retak. Kerang dan sedikit darah… atau kau bayar dengan harga yang jauh lebih mahal nanti.”

Aku menggenggam kerang itu erat, merasakan denyut halus dari dalamnya. Semua mata di ruangan tertuju padaku. Joan, Gilang, Wita — semua menunggu aku bertindak, meski mereka tak tahu sepenuhnya apa yang sedang terjadi.

1
Afiq Danial Mohamad Azmir
Wahhh!!
Alexander
Nggak kebayang ada kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!