"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Cinta yang Belum Selesai
"Kau boleh membangun apa pun di tanah itu…"
Suara Pak Hasan terdengar rapuh, seperti sisa tenaga terakhir yang ia genggam. "Tapi ingat… tanah itu tetap milik darah dan nama keluarga kami."
Tatapannya menembus mata Kian—bukan sekadar pandangan seorang ayah, tapi tatapan terakhir seorang penjaga warisan, yang kini mewariskan tanggung jawab, bukan kekuasaan.
"Tolong jaga putriku baik-baik, Kian. Itu bukan sekadar permintaan…"
Ia menarik napas panjang, nyaris seperti desahan terakhir.
"Itu amanah… dari seorang ayah yang mungkin tak akan sempat melihat anaknya bahagia."
Lalu matanya bergeser. Lembut. Hangat. Terakhir kali menatap putrinya.
“Kanya…”
Suaranya mulai bergetar.
“Ayah sangat mencintaimu.”
Tangannya berusaha terangkat, tapi hanya gemetar di pangkuannya.
“Jaga dirimu. Bahagialah dengan suamimu. Jangan pernah ragu menjadi dirimu sendiri. Jangan takut meminta bantuan… ketika kamu butuh. Ayah akan selalu menyayangimu dari sana.”
Kanya menatap ayahnya dalam diam. Tak bisa berkata apa-apa. Tenggorokannya tercekat, air matanya menggenang.
Lalu…
“Allahu Akbar…”
Lidah Pak Hasan mulai basah oleh dzikir.
“La ilaha illallah…”
Napasnya makin pelan.
“Ashadu an laa ilaha illallah… wa ashadu anna Muhammadur rasulullah…”
Dan di akhir syahadat itu…
Kepalanya miring perlahan ke samping.
Tubuhnya berhenti bergerak.
Napas itu—berhenti.
“Pak…”
Kian berdiri kaku.
Kanya tercekat. Tangannya gemetar. Matanya membelalak, lalu air matanya jatuh, deras, tanpa bisa dibendung.
“Ayah…
Jangan sekarang…
Belum…
Aku bahkan belum sempat memelukmu sebagai istri dari suami yang kau pilihkan…”
Ia menunduk. Wajahnya tenggelam dalam kedua tangan.
Tangisnya tak keluar sebagai isakan. Tapi tubuhnya menggigil dalam diam.
Kian terpaku. Seluruh dadanya mengeras. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar... kosong.
“Aku pikir hari ini adalah awal keuntungan.
Ternyata… ini adalah awal kehilangan."
"Inalillahi wa innailaihi raji'un," ucapnya, lalu melirik Kanya.
Dan entah mengapa, untuk pertama kalinya… ia merasa tak punya hak untuk mendekat.
***
Tiga hari sejak kepergian Pak Hasan.
Tiga hari pula sejak akad itu sah diucapkan.
Tapi suasana rumah sakit belum sepenuhnya pulih dari duka.
Langit selalu tampak muram, seolah ikut berduka. Angin terasa dingin bahkan saat siang bolong.
Dan Kanya...
Masih terbaring di ranjang. Kakinya belum pulih. Tempurung lututnya retak dan perlu waktu berminggu-minggu sebelum ia bisa menjejak tanah lagi.
Cadarnya masih tak ia lepas di depan Kian.
Wajahnya pucat, matanya sembab. Tapi air mata itu sudah berhenti. Kini hanya ada sepi—jenis sepi yang tak bisa dijelaskan, bahkan dengan tangis.
Ia lebih sering memandangi langit-langit kamar. Diam.
Sesekali menoleh ke jendela, tapi tak benar-benar melihat apa pun.
Di pojok ruangan, Kian duduk di kursi panjang. Ia membuka laptop dan berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya. Padahal yang ia buka hanya layar kosong. Tak satu pun email ia balas.
Suasana di antara mereka seperti udara di ruangan jenazah. Sunyi. Terlalu hening, bahkan detak jam dinding bisa terdengar seperti dentuman.
Kian terdiam di kursinya, seolah menyatu dengan keheningan. Tapi pikirannya jauh dari tenang.
"Sudah tiga hari kami menikah, dan belum ada satu pun kata 'istri' yang pantas aku ucapkan padanya.
Tapi entah kenapa, saat kulihat dia diam di ranjang itu... perasaanku ikut diam."
Kadang Kian mencuri pandang.
Saat Kanya tidur.
Saat Kanya memalingkan wajah.
Atau saat jemarinya mengusap tepi selimut dengan gelisah.
Ia ingin bicara, tapi… apa?
Tentang luka?
Tentang kehilangan?
Tentang cinta yang belum tumbuh di ladang yang terlalu basah oleh air mata?
***
Suatu sore, suster datang mengganti perban di kaki Kanya.
Kian mendekat. Membantu menopang tubuh Kanya agar duduk sedikit tegak. Tangannya menyentuh punggung Kanya—dan tubuh gadis itu menegang.
"Maaf," ucap Kian pelan, lekas menarik tangan.
Kanya tak menjawab. Tapi ia tak marah.
Setelah suster pergi, Kian menuangkan air putih ke gelas. Diletakkannya di meja kecil dekat ranjang.
“Minumlah. Kamu belum banyak makan.” Suaranya tenang. Tapi sedikit kaku.
Kanya menoleh perlahan. Tatapan matanya kosong. Tapi akhirnya ia mengangguk. Ia raih gelas itu pelan.
Tangannya gemetar.
Kian refleks menyentuh punggung tangannya untuk membantu—tapi Kanya buru-buru menarik tangannya.
Tatapan mereka bertemu.
“Maaf,” ucap Kian lagi, lebih lirih.
Kanya menarik napas.
“Aku belum siap… untuk bersikap seolah kita benar-benar pasangan.”
Suara itu terdengar rapuh. Tapi jujur.
Kian menunduk. “Aku tahu.”
Ia menarik kursi, lalu duduk lebih dekat tapi tak menyentuh.
“Kita bisa mulai dari... menjadi orang asing yang saling menjaga.”
Kanya menoleh pelan.
“Seperti teman sekamar?” tanyanya datar.
“Seperti penjaga dan yang dijaga,” jawab Kian.
Ia tersenyum tipis, tapi matanya jujur.
Kanya tak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya… ada sedikit ketenangan di matanya.
***
Sudah satu minggu sejak Pak Hasan dikuburkan.
Langit sudah tak terus-menerus kelabu seperti sebelumnya. Tapi di hati Kanya, mendung masih menggantung berat.
Pagi itu, setelah suster selesai mengganti perban di kakinya, Kanya memandang Kian yang sedang menuang teh.
“Aku mau pulang,” katanya tiba-tiba.
Kian menoleh. Alisnya bertaut. “Ke rumah?”
“Ke pondok pesantren,” jawab Kanya mantap. “Liburan sudah selesai.”
Kian meletakkan teko dengan pelan, tapi hatinya mulai berdebar. “Kanya, kakimu masih—”
“Masih bisa dipakai duduk,” potong Kanya cepat. “Dan aku bisa belajar sambil duduk.”
“Kau bisa istirahat di rumah dulu. Nanti aku sampaikan ke pihak pondok agar—”
“Tidak perlu.”
Kalimat Kanya tegas. Matanya bergeming di balik cadarnya.
“Semakin lama aku di sini… semakin terasa kosong. Aku butuh dunia lain, selain kenangan tentang Ayah.
Dan aku belum siap tinggal terus bersama pria yang bahkan belum jadi temanku.”
Kian menghela napas pelan. Ia tak membantah lagi. Tapi wajahnya sulit dibaca—antara bingung, cemas, dan… takut kehilangan kendali atas sesuatu yang mulai bergerak di luar skenarionya.
Ia menunduk.
“Kalau begitu, aku akan menyewa perawat untuk menemanimu selama di pondok.”
Kanya tampak sedikit terkejut. Tapi ia tidak menolak.
“Baik,” ujarnya pendek.
Kian menatapnya sesaat. Ingin bicara lebih. Tapi ia tahu—Kanya bukan gadis yang bisa dipaksa dalam duka dan luka.
Sore Itu
Perawat yang ditugaskan—seorang perempuan muda bernama Ranti—datang tepat waktu. Ramah. Profesional. Dan langsung klik dengan Kanya sejak awal.
Kian membawa tas berisi barang-barang Kanya. "Aku akan mengantarmu sampai ke mobil."
Kanya hanya mengangguk, duduk di kursi roda, mengenakan gamis hitam dan cadar hitam. Matanya sempat menoleh ke arah kamar rawat itu—yang kini kosong, sunyi, sepi, tak berpenghuni.
Tempat terakhir ayahnya memanggil nama Allah.
Kian membantunya masuk ke dalam mobil dengan hati-hati. Ia ingin mengucap sesuatu… tapi tak keluar.
Kanya hanya menatap ke depan.
Tak ada pelukan.
Tak ada salam perpisahan dari istri ke suami.
Hanya diam.
Tapi sebelum pintu mobil tertutup, Kanya akhirnya bicara, lirih:
“Terima kasih… karena membiarkanku pergi.”
Kian tersenyum tipis.
“Pergilah. Tapi jangan anggap aku tak peduli.”
Mobil pun melaju, meninggalkan Kian berdiri sendiri di depan rumah sakit.
Angin sore berhembus pelan. Membelai wajahnya yang tampak datar. Tapi di balik wajah itu…
"Apa ini pernikahan... atau perpisahan?
Kenapa saat dia pergi, ada bagian dari diriku yang ikut tertinggal di dalam mobil itu?”
***
MALAM DI APARTEMEN KIAN
Hening.
Lampu gantung menyinari ruang makan modern yang dingin dan terlalu rapi.
Sepiring nasi dingin teronggok di meja, tak tersentuh sejak sore.
Jam dinding berdetak pelan, seolah ikut menghitung waktu yang berlalu tanpa makna.
Kian duduk sendiri.
Ia membuka dompet. Matanya jatuh pada selembar foto mungil yang terselip di sana—foto Friska, tersenyum dalam balutan kemeja putih. Foto yang diam-diam masih ia simpan sejak hari ia melamar Kanya.
Sudah tiga hari ia tak menghubunginya.
Bukan karena lupa.
Tapi karena tak tahu harus bicara apa.
“Aku masih mencintainya. Dan gak mungkin… melupakannya secepat ini.”
Ia mengusap wajahnya, napasnya berat.
Layar ponselnya menyala.
Jarinya membuka chat dengan Friska.
Puluhan pesan menumpuk, belum terbalas.
Emoji, pertanyaan, dan satu kalimat terakhir:
“Kian, apa kamu benar-benar sibuk hingga tak sempat balas chat aku?”
Lalu ia membuka chat dengan Kanya.
Kosong. Tak ada satu pun riwayat.
Seperti ruang kosong yang asing… padahal mereka sudah terikat pernikahan.
“Apa aku bisa mencintai wanita… yang bahkan tak pernah kulihat wajahnya?”
Ia memandang kosong ke luar jendela.
Lampu-lampu kota berpendar seperti bintang yang menjauh.
Ia tak tahu…
Bahwa dulu, ayahnya jatuh cinta pada ibunya ketika tak bisa melihat dunia.
Bahwa cinta bisa tumbuh dari rasa nyaman, dari ketulusan, bukan hanya dari eloknya paras rupa yang mudah pudar oleh waktu dan usia.
“Untuk seseorang yang baru saja jadi istri…
…kenapa rasanya seperti aku justru kehilangan sesuatu?”
Jarinya bergerak, hendak mengetik sesuatu.
Tapi akhirnya diam.
Ia menutup layar, menutup dompet.
Dan menunduk.
Malam makin larut. Tapi hatinya tetap sunyi.
Bukan karena tak ada orang.
Tapi karena ia sendiri...
di tengah dua cinta yang belum selesai.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.
Lanjutkan kak Nana... 🙏🙏🙏 Aku Hadir lagi kak,setelah Menunggu Cukup lama,agar Novel ini Menandatangani Kontrak Eksklusid. Dan Akhirnya Sekarang Aku Bisa Baca 😁😁😁
Kanya juga bukan Wanita yang akan bertindak bodoh dan tidak akan nuduh Kian tanpa bukti yang kuat...
ayo Kanya berikan hakmu pada Kian...biar Kian tidak menyentuh wanita lain di luar,,perlihatkan wajahmu Kanya jika sedang berdua di kamar
Kamu melanggar larangan orang tua mu..
jangan sampai kamu kehilangan baru nyadar Kanya wanita terbaik.
ingat pesan ayahmu
Kedua orang tua Kian itu agamis - Kian membalas pesan Kanya tanpa salam - mungkin menjalankan ibadah sholat juga bolong-bolong 🤭. Suami tak bisa jemput Kanya kata mama Aisyah - Kian tiba-tiba keluar kota.
Tiga malam Kanya telah berada di rumah mertua - Kian masih di luar kota.
Wuuaaahhh Kian pulang dari luar kota bau parfum wanita - kerah kemeja ada noda lipstik - gile bro. Awal pernikahan yang mengecewakan.