Aku ingin kebebasan.
Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.
“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”
Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.
“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 2
Perlahan, Kia menoleh.
Di ambang tangga, berdiri sosok wanita paruh baya dengan wibawa tak terbantahkan. Setelan formal berwarna navy melekat sempurna di tubuhnya yang tegap, rambutnya disanggul rapi tanpa sehelai pun terlepas, dan sepasang mata tajam itu menatap langsung ke jantung keberanian siapa pun yang melihatnya.
Itu Mami Silviana Narendra. Sang direktur utama sekaligus penjaga garis keras reputasi keluarga.
Dengan langkah tenang namun penuh tekanan, Mami menuruni tiga anak tangga. Suara hak sepatu kulitnya bergema pelan di koridor marmer rumah besar itu, namun dentingnya terasa seperti palu godam di dada Kia.
"Kau pulang larut malam... menyamar sebagai laki-laki... dan menghindari kami setelah tiga bulan kami ke Malaysia?" Suaranya datar tapi tajam. "Sekarang bahkan memerintah staf untuk tidak memberi tahu keberadaanmu?"
Kia menahan napas. Nafas yang terasa lebih berat dari biasanya. Mami berdiri di depannya kini, hanya berjarak satu anak tangga.
"Kia, kamu itu satu-satunya penerus keluarga Narendra!" Suaranya meninggi. "Kamu tinggal seminggu lagi diwisuda, dan ini alasannya kamu menolak beasiswa ke Harvard?"
Tatapan matanya menyapu dari atas ke bawah, seperti sinar X yang menyisir luka tersembunyi.
"Lihatlah penampilanmu rambutmu dicap merah seperti anak jalanan, jaketmu penuh sobekan, sepatu boot berdebu, seperti anggota geng motor! Ini bukan gaya seorang Kazehaya!"
Diam. Hening menggantung seperti awan gelap sebelum badai.
Tapi Kia tetap diam, menggigit bibir bawahnya. Kia mengangkat wajahnya perlahan, mata beningnya kini dipenuhi api bukan kemarahan, tapi luka yang telah lama terpendam.
"Aku ini cuma ingin hidup bebas, Mi," ucapnya lirih, namun tegas. "Aku capek jadi boneka keluarga. Sedari kecil, aku belajar tunduk, patuh, pakai baju yang mami pilih, sekolah di tempat yang mami tentukan, ikut les ini itu biar terlihat sempurna di mata orang luar."
Mami mengernyit, tapi Kia belum selesai.
"Dan aku tahu, Mi. Sejak dulu, Mami seperti nyesal melahirkan anak perempuan. Karena katanya anak perempuan itu lemah, rapuh, gak setangguh anak lelaki. Karena katanya pewaris seharusnya laki-laki. Tapi kenyataannya, Mami cuma punya aku. Dan Mami gak pernah benar-benar menerimaku jadi diriku sendiri."
Suara Kia bergetar di akhir kalimatnya.
"Aku pakai jaket sobek dan rambut merah bukan karena aku ingin jadi pemberontak, tapi karena itu satu-satunya hal dalam hidupku yang bisa kupilih sendiri tanpa harus minta izin keluarga Narendra.”
Mami menatap Kia lekat-lekat. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya menusuk seperti belati yang dipoles dengan pengalaman dan kekuasaan.
“Jadi sekarang kau menyalahkanku?” suaranya rendah namun mengandung tekanan. “Kau pikir mudah menjadi perempuan yang harus memimpin keluarga besar seperti Narendra? Kau pikir aku punya kemewahan untuk ‘bebas’ seperti yang kau dambakan?”
Ia menarik napas panjang. Jemarinya saling bertaut di depan perut, seperti sedang menahan diri untuk tidak meledak.
“Aku membesarkanmu bukan untuk jadi korban perasaanmu sendiri, Kia,” lanjutnya dingin. “Kau anakku, darah dagingku. Tapi takdir membuatmu satu-satunya penerus, dan itu bukan pilihan.itu tanggung jawab.”
Ia menuruni satu anak tangga lagi, kini berdiri sejajar dengan Kia.
“Aku tidak menyesal melahirkanmu. Tapi aku kecewa karena kau mengkhianati segala jerih payah yang kami tanamkan. Kau lebih memilih kebebasan yang liar daripada kehormatan keluarga.”
Wajahnya mendekat, suaranya menurun tapi makin menusuk.
“Kalau kau mau hidup bebas, Kia Eveline Kazehaya maka lepaskan nama ini. Keluar dari rumah ini. Dan jangan bawa-bawa lagi nama Narendra di pundakmu.”
Suasana di lorong megah itu menegang. Aroma parfum mewah bercampur udara panas dari emosi yang memuncak.
Mami Silvia menatap putrinya seolah ingin merobek tirai yang selama ini memisahkan kehendaknya dan kenyataan.
"Aku capek, Kia!" serunya akhirnya, napasnya terengah menahan emosi yang tertahan bertahun-tahun. "Capek menghadapi anak yang selalu kabur dari tanggung jawab, yang terus bersembunyi di balik peluh dan luka hanya demi menjadi perempuan yang ingin hidup seperti atlet jalanan!"
Tangannya melayang sejenak ke udara, seolah ingin menghapus jejak semua harapan yang pernah ia letakkan di pundak putrinya.
"Ini yang kau pilih? Hidup sebagai petarung jalanan? Kau pikir pewaris keluarga Narendra itu bisa berdarah-darah di ring tanpa malu?"
Namun sebelum Kia sempat membalas atau air matanya jatuh, terdengar suara yang menggetarkan lantai marmer:
“Sudah cukup.”
Langkah lambat namun tegas terdengar dari ujung koridor.
Seorang pria sepuh muncul, tegap meski usia telah meluruhkan kekuatan ototnya. Rambutnya memutih rapi, tongkat ukiran kayu cendana di tangan kanan menjadi simbol wibawa, bukan kelemahan.
Tuan Besar Narendra. Pendiri kerajaan bisnis keluarga. Ayah dari Silvia, Kakek dari Kia pria tua keturunan Jepang.
Mami Silvia langsung menegakkan tubuhnya. Kia memalingkan wajah, mencoba menyeka air matanya diam-diam.
Kakek berhenti di antara mereka. “Silvia,” ucapnya pelan tapi tegas. “Kau bukan sedang bicara dengan sekretaris yang tak becus. Dia putrimu. Darahmu. Dagingmu. Kau lupa?”
Mami menggigit bibir, menahan bantahan.
"Kau ingin dia jadi pewaris, tapi kau tidak pernah membesarkan hatinya sebagai manusia. Kau bentuk dia menjadi simbol bukan anak. Maka jangan terkejut jika ia melawan."
Ia lalu menoleh pada Kia. "Dan kau, Kia..." suaranya melunak. "Hidup memang tidak adil. Tapi melarikan diri bukan tanda kekuatan. Kalau kau ingin bebas, pastikan itu bukan karena takut tapi karena kau tahu siapa dirimu dan mau bertanggung jawab atas pilihanmu."
Kakek menghela napas panjang, lalu berkata lirih, "Aku ingin kalian duduk. Tidak sebagai CEO dan pewaris. Tapi sebagai ibu dan anak. Karena kalau rumah ini tak lagi mengenal cinta maka warisan apa yang bisa kita banggakan selain kehancuran?”
Setelah suasana mereda, Kakek Narendra duduk di kursi antik di ruang tengah, diapit oleh putrinya Silvia dan cucunya Kia. Meja teh di hadapan mereka tetap dingin, karena tidak ada yang menyentuh cangkirnya. Keheningan menggantung, seolah tak ada yang ingin membuka topik apa pun setelah ledakan emosi tadi.
Namun, suara Kakek kembali terdengar. Tenang, tapi sarat maksud.
“Ada satu hal lagi yang ingin Kakek bicarakan.”
Kia mengangkat wajahnya perlahan, sementara Mami Silvia menoleh dengan sedikit waspada.
Kakek melipat tangannya di atas tongkatnya.
“Kia... Kakek paham kau ingin bebas, ingin menentukan jalanmu sendiri. Tapi dunia ini tidak dibangun hanya atas keinginan. Ada nilai, ada fondasi yang harus dijaga dan salah satu yang selama ini kulihat hilang darimu adalah arah.”
Ia berhenti sejenak, menatap Kia dalam-dalam.
“Itulah kenapa Kakek ingin mengenalkanmu pada seseorang. Anak dari sahabat lama Kakek di pesantren. Namanya Damar Faiz Alfarez.”
Kia membeku di tempat.
“Dia lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir. Pintar, tenang, dan sangat menjunjung nilai agama serta keluarga. Anak dari seorang kiyai yang dihormati. Aku percaya dia bisa menjadi penyeimbangmu.”
Mami Silvia menoleh dengan alis sedikit terangkat, tapi tidak langsung menolak. Malah seolah lega karena ada solusi yang terdengar “beradab”.
Kia menggigit bibirnya. “Kakek... ini maksudnya...?”
“Pernikahan,” jawab Kakek datar. “Taaruf, tentu. Bukan paksaan. Tapi Kakek ingin kau pertimbangkan serius. Damar sudah tahu tentangmu dan dia bersedia. Bahkan tidak peduli masa lalumu yang kau anggap ‘liar’. Katanya, semua orang bisa kembali ke arah yang benar.”
Kia tercekat. Bukan karena nama Damar. Tapi karena dunia seolah kembali berkonspirasi menutup semua jalan pelariannya.
kia ni ustadz bukan kaleng" kia jdi ngk udah banyak drama 🤣🤣🤣🤣