Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
Cemburu??
Kalau bukan karena Papa Reza yang memaksa Tessa berangkat bersama Rajata. Pasti sekarang Tessa sudah berada di Kampus. Masalah nya mobil Rajata sejak tiga puluh menit lalu stuck dijalan. Ada perbaikan jalan di persimpangan depan sehingga menimbulkan kemacetan parah.
"Gue turunin depan situ deh" suara Tessa memecah keheningan.
"Ngapain sih? Bentar lagi juga sampai. Ini udah mulai jalan." Sahut Rajata tanpa menoleh ke arah Tessa. Ia fokus melihat jalanan.
"Nggak bisa. Gue bentar lagi ada kelas. Yang ada telat kalo gue tetep disini sama lo" Tessa melihat jam ditangan nya. Pukul sembilan kurang. Lima belas menit lagi kelasnya dimulai.
Rajata tidak menjawab, ia hanya menatap lurus kedepan mencari celah diantara deretan mobil yang padat merayap.
"Ja, gue beneran bentar lagi ada kelas!" Tessa mulai panik. Karena mobil Rajata sudah lima menit tidak bergerak lagi.
Tanpa pikir panjang dia memesan ojek online lewat aplikasi dan lokasi penjemputan di toko roti yang berada lima langkah didepan nya.
Saat notifikasi muncul dari drivel ojek online yang mengabari kalau sudah dititik lokasi penjemputan. Tessa segera meraih totebage yang ada di jok belakang.
"Mau kemana sih" tanya Rajata bingung
"Sorry, gue udah pesen ojol didepan. Gue duluan ya!" Ucap Tessa tergesa sambil membuka pintu mobil.
"Heh!! Tessa.. balik nggak lo" teriak Rajata begitu melihat Tessa membuka pintu ditengah kemacetan. Namun...
BLAM!!
Tessa tidak peduli. pintu mobil ditutup kasar oleh nya. Biarlah nanti Rajata marah, di pikirannya sekarang yang penting dia sampai kampus dengan cepat. Sepuluh menit lagi dia ada ujian. Bisa ngulang dia kalau sampai absen.
"Pak Rahman ya?" Sapa nya pada bapak paruh baya yang duduk diatas motor vario hitam, menggunakan jaket hijau kebanggan drivel ojol itu.
"Iyaa, Mbak Tessa ya?" Balas pak Rahman tersenyum ramah "ini helm nya mbak!" Sambil menyodorkam helm pada Tessa.
Nggak punya banyak waktu, Tessa meraih Helm tersebut dan memakainya dengan tergesa.
"Pak ngebut bisa yaa ? Saya udah telat ini pak!" Seru Tessa setelah naik keatas motor itu.
"Insyaallah ya mbak, jika Allah mengijinkan bisa sampai lebih cepat" jawab Pak Rahman
Tessa hanya mengaminkan dalam hati. Hari itu jalanan macet parah, hanya bunyi klakson yang saling bersahutan, debu dan asap motor menghiasi setiap jalan. Tessa sampai harus menutup hidung akibat polusi tersebut. Beruntung pak Rahman cukup lihai. Jadi, motor tua yang mereka tunggangi bisa meliuk liuk dicelah sempit seperti ular yang mengehar mangsa nya.
Sesekali tubuh Tessa terangkat akibat jalanan yang tidak rata. "Pegangan yang kenceng mbak. Nanti jatuh saya nggak punya asuransi" celetuk pak Rahman.
"Siap pak," jawab Tessa sambil mengeratkan pegangannya pada ujung jaket yang sudah robeh bagian punggung nya.
Sementara itu, Rajata masih tertinggal jauh dibelakang. Sesekali ia membunyikan klakson dengan kasar lalu, mengumpat sambil memukul setir.
"Anjing!! Sialan" makinya, napas sudah ngos-ngosan karena emosi
"Minggir goblok! Mau mati lo?!" Teriaknya pada pengendara motor yang tiba-tiba memotong jalur nya.
Tentu saja umpatan itu hanya dia sendiri yang mendengar. Orang diluar bahkan tidak menoleh sekalipun.
***
Tessa kini sudah berada di kampus. Setelah menyerahkan helm nya pada pak Rahman. Ia langsung berlari menuju gedung fakultas dengan napas memburu.
"Masih ada waktu dua menit" gumam nya pelan melirik kearah jam tangan nya. Ia menekan tombol lift berulang kali, namun pintu tidak kunjung terbuka. Ia memutuskan berlari melewati tangga saja.
Detak jantungnya berpacu dengan langkah cepat nya. Napas nya tidak beraturan, begitu sampai didepan kelas.
Tok .. tok.. tok
"Maaf pak saya terlambat satu menit" ucap sambil membungkuk masih terengah-engah.
Beruntung dosen hanya menatap nya sejenak, kemudian mengangguk. "Silahkan, waktu ujian sudah berjalan." Tessa menghela napas lega.. berjalan menuju tempat duduk. Beruntung dia masih bisa mengikuti ujian.
Setelah hampir dua jam terjebak macet. Akhirnya Rajata sampai juga dikampus.
Ia memarkirkan mobil nya dengan kasar lalu merenggangkan ototnya yang terasa kaku.
KREKK! Bunyi tulang sendi nya.
"Sial tulang-tulang gue rasa nya lepas semua dari tempat nya!"gerutu nya sambil memutar leher. Saat menoleh kebelakang matanya tanpa sengaja menatap sebuah pouch berwarna pastel. Ia menyipitkan mata, lalu meraihnya. Merasa familiar—dan benar saja, saat dibuka isinya alat-alat lukis Tessa.
Rajata menyeringai penuh arti. Senyum licik itu muncul seiring ide jahil yang terlintas dikepala nya.
"Siapa suruh lo ninggalin gue sendiri ditengah kemacetan!" Gumamnya sambil memutar mutar pouch di tangannya. "Bentar lagi gue pastiin lo mohon-mohon buat balikin pouch lo ini Tess."
Rajata tertawa pelan membayangkan wajah kesal Tessa.
***
Huh!!!!
Tessa menghela napas panjang. Kepala nya sedikit pusing, yaa.. gimana nggak pusing? sejak pagi hidupnya penuh gedebak-gedebuk kayak film action.
Dari mulai kena macet dijalan, lanjut naik ojol ala-ala motorGP, terus lari-lari naik tangga demi ngejar waktu ujian. Belum lagi harus meras otak buat mikirin jawaban soal-soal itu. Perut nya langsung mual membayangkan semua itu.
"Lo tumben banget telat, Tess?" Tanya Diana yang baru tiba membawa dua gelas es teh.
"Macet parah gila dijalan. Kalo gue nggak naik ojol. Mungkin udah ngulang gue semester depan karena nggak ikut ujian!"Jawab Tessa sambil menyeruput es teh milik nya.
Raisa yang duduk di sebelah nya langsung menoleh cepat. Curiga, "Lah... emang lo naik apa sebelum nya kalau nggak ojol?"
Gerakan Tessa langsung terhenti, matanya melebar. Mampus gue!! Batinnya. Dia baru sadar kalau tadi keceplosan.
"Emm..gue naik..." Tessa panik, matanya celingukan kesana kemari mencari jawaban yang pas.
"Naik apaan ?" Desak Diana sambil menyipit mata penuh selidik.
"Naik mobil... nebeng.. anak om gue," jawab Tessa akhirnya dengan nada ragu.
"Ohhh... Ganteng nggak anak om lo Tess?" Tanya Diana tiba-tina dengan mata berbinar penuh harap.
Tessa cepat-cepat mengibaskan tangannya. "Nggak banget! Resek parah orang nya!"
"Yahhh sayang banget! Padahal kalau ganteng kan, gue mau dikenalin!" Jawab Diana menghela napas dengan gaya pura pura sedih.
"Lo sama Udin aja udah Di, cocok kok lo berdua" sahut Raisa dengan senyum jahil.
"Ih nggak mau..!! Giginya Udin kan pakai kawat. Ntar pas ciuman bibir gue nyangkut lagi.." Jawab Diana cepat
Mendengar itu ketiga nya langsung ketawa sampai, suara mereka sampai menarik perhatian beberapa mahasiswa di kantin.
"HAHHAA! Astaga Di.. otak lo isi nya ciuman mulu." Raisa memukul pelan bahu Diana sambil masih tertawa ngakak.
"Ya realistis dong, Sa! Masa bibir gue jadi korban behel?" Jawab Diana serius, yang justru bikin Tessa dan Raisa tertawa makin keras.
"Eehhm.." suara seseorang tiba-tiba terdengar dari belakang.
Tessa, Raisa dan Diana menoleh bersamaan. Ternyata Juna yang datang sambil bawa satu mangkok batagor dan air mineral dingin.
"Lagi ngetawain apa sih rame banget?" Tanya Juna sambil menarik kursi disamping Tessa.
"Ini, si Diana katanya nggak mau bibirnya jadi korban behel-nya si Udin." Jawab Raisa cepat.
"RAISAAA!!!" Pekik Diana mendelik tajam kearah Raisa.
"Nggak.. gitu kok jun, sumpaah!" Ucap nya panik sambil memukul pelan lengan Raisa.
Tessa dan Raisa justru makin ketawa keras sampai perut mereka sakit. Juna hanya menggelengkan kepala, tapi sudut bibir nya terangkat, menahan tawa.
"Btw, kelas lukis jadi dimajuin ke hari ini kan?" Tanya Juna sambil mengunyah batagor nya.
"Iya jadi kok, gue udah bawa—"
Kalimat Tessa terhenti, wajah nya tiba-tiba pucat. Pikirannya melayang ke totebag satunya yang dia tinggal di mobil Rajata, pouch yang berisi alat lukis nya ada disana!!
"Kenapa Tess?" Tanya juga yang menyadari perubahan ekspresi Tessa.
"Alat lukis gue—ketinggalan dimobil saudara gue." Jawab Tessa lemas.
Setelah itu ia cepat-cepat meraih ponsel nya dan mencari nomor Rajata yang belum sempat dia simpan. Tangan nya sedikit gemetar, kemudian menekan tombol hijau.
Satu...dua...tiga.. dering terdengar. Suara berat itu muncul.
"Halo?" Jawab Rajata santai.
"Tas gue ketinggalan dimobil lo." Kata Tessa tanpa basa-basi.
"Terus?" Jawab Rajata dingin, seolah nggak ada masalah.
"Ya gue.. butuh sekarang! Bisa gue ambil nggak?" Jawab Tessa sedikit kesal. Ia sampai mencengkram ponsel nya erat-erat.
"Nggak bisa gue lagi sibuk!" Jawab Rajata santai—terlalu santai malah.
Padahal diseberang sana dia menjawab sambil menyeringai lebar. Ada kepuasan yang terpancar diwajah nya. Dalam hati panik kan, Loo akhirnya!!!
"Ih sibuk apaan sih lo!! Please deh gue butuh banget alat itu!" Tessa mulai panik. Suaranya naik satu oktaf, tapi ia masih berusaha menahan diri agar tidak meledak saat itu juga.
Namun sebelum Rajata sempat menjawab, suara juna lebih dulu terdengar.
"Nggak apa-apa, Tess. Pakai punya gue dulu aja, gue bawa dua kok" ucap Juna ringan sambil merogoh tasnya.
Tessa sontak menoleh dengan mata berbinar, seolah baru menemukan harta karun.
"Serius Jun?" Tanyanya mastikan.
"Iya, serius. Nih..." Juna mengangguk mantap, lalu mengeluarkan satu set alat lukis dari dalam tasnya.
"Wahh, makasih yaa.." jawab Tessa, senyum nya mengembang lebar. Saking senengnya, ia sampai lupa kalau dirinya masih terhubung di telepon dengan Rajata.
Di seberang sana, Rajata yang mendengar percakapan itu sontak meremas ponselnya. Rahang nya mengeras, nada nya berubah dingin.
"Lo dimana? Gue anter alat lukis lo sekarang!"
Tessa tersentak mendengar suara berat itu. Ia baru sadar kalau teleponya belum ditutup.
Namun, alih alih panik, ia menjawab dengan santai dengan senyum penuh kemenangan.
"Nggak perlu. Gue udah ada."
Tanpa memberi kesempatan Rajata bicara lagi, Tessa buru-buru menutup teleponnya.
Sementara itu di lapangan basket, Rajata hanya diam memandangi layar ponselnya. Jari-jari nya mengepal disamping paha.
"Sialan.. gampang banget dia nerima bantuan cowok lain!" Ada sesak aneh di dadanya, tapi ia nggak mau mengakui.
"Woy, Ja! Mau ke mana lo? Abis ini latihan, woy!" teriak Tibra dari tengah lapangan, keningnya berkerut heran.
Rajata menoleh sekilas dengan tatapan datar. "Bentar... gue ada perlu."
Tanpa pikir panjang, Rajata melangkah cepat menuju mobilnya. Begitu membuka pintu, ia meraih pouch alat lukis milik Tessa yang tergeletak di jok belakang. Satu hal yang kini memenuhi pikirannya:
"Gue nggak bakal biarin Tessa seenaknya nerima bantuan dari orang lain. Apalagi... cowok."
kasihan, malang benar nasibmu Tessa