“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.”
“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”
“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”
‐‐‐---------
Fiona Aldya Vasha, biasa dipanggil Fio, mahasiswa biasa yang sedang berjuang menabung untuk kuliahnya, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena satu kecelakaan—dan satu perjodohan yang tak diinginkan.
Terdesak untuk membayar kuliah, Fio terpaksa menerima tawaran menikah dengan CEO duda yang dingin. Hatinya tak boleh berharap… tapi apakah hati sang CEO juga akan tetap beku?
"Jangan berharap cinta dari saya."
"Maaf, Tuan Duda. Saya tidak mau mengharapkan cinta dari kamu. Masih ada Zhang Ling He yang bersemayam di hati saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Darrel yang baru saja menutup pintu mobil sontak terkejut melihat Fio hampir terjatuh ke pelataran tempat parkir. Ia berlari cepat, berusaha menangkap tubuh Fio sebelum menghantam tembok parkiran.
Namun situasinya justru semakin kacau—Fio terhuyung ke depan, dan Darrel yang menahan dari samping ikut kehilangan keseimbangan. Dalam sekejap, tubuh mungil Fio jatuh tepat menimpa dada Darrel yang terdorong ke belakang.
Brukk!
Mereka berdua ambruk ke lantai pelataran rumah sakit. Fio berada di atas Darrel, wajahnya hanya sejengkal dari wajah CEO dingin itu.
Fio membelalakkan mata, pipinya langsung merona hebat.
“Aduh! Maaf! Saya tidak sengaja!”
Darrel mengerjap sekali, napasnya sedikit tercekat karena benturan, tapi wajahnya tetap dingin seperti biasa—meski jelas ada rasa kaget di matanya. “Kamu benar-benar… merepotkan.”
Fio gelagapan “Saya… saya bisa bangun sendiri! Saya—”
“Diam. Jangan bergerak, nanti lukamu semakin parah.” ucapnya datar dan pelan.
Darrel bangun dengan Fio yang masih berada di atasnya.
Sebelum Fio sempat mengelak, Darrel langsung berdiri dan mengangkat tubuhnya dengan cara bridal style—membuat Fio semakin panik dan malu. Sepertinya bagi Darrel, berat tubuh Fio seperti satu karung kapas.
“T-tunggu! Saya bisa jalan sendiri kok!” Fio gelagapan. Bisa-busanya Darrel mengangkatnya tanpa beban.
“Kamu bahkan tidak bisa berdiri.” jawab Darrel singkat, ekspresinya tetap dingin, tapi gerakannya hati-hati saat membawanya masuk.
Para suster yang melihat adegan itu langsung sigap menghampiri, sebagian lagi berbisik-bisik melihat CEO muda yang terkenal dingin itu membawa gadis asing dalam pelukannya.
Fio hanya bisa menutupi wajahnya dengan kedua tangan, malu setengah mati. Sementara Darrel… tetap tenang, seakan insiden baru saja bukan apa-apa—padahal degup jantungnya sempat ikut berantakan sesaat tadi.
Di tempat lain.
Bu Rania menatap jam tangannya dengan gelisah. Sudah hampir setengah jam ia menunggu di ruang direktur rumah sakit, ruangan adiknya sendiri—untuk membicarakan biaya perawatan Fio dan pengawasan medis.
“Kak Rania, gadis itu benar-benar keluar tanpa ada yang melihat?” tanya Riani.
Bu Rania menghela napas panjang, “Iya… padahal dia masih luka. Suster pun sampai kebingungan. Untung CCTV rumah sakit masih berfungsi.”
Belum sempat sang adik menambahkan komentar, ponsel Bu Rania bergetar. Nama Darrel muncul di layar.
“Halo, Darrel?!”
Suara tenang tapi tegas Darrel terdengar di seberang.
“Mama, Fio sudah saya temukan. Kami sudah sampai di rumah sakit.”
Sekejap mata Bu Rania berbinar lega. “Alhamdulillah… baik, Mama segera ke sana. Bawa dia ke ruang rawatnya.”
Tanpa menunggu lama, Bu Rania berdiri dari kursi dan pamit ke adiknya. “Nanti kita lanjutkan lagi, ya. Fio sudah ditemukan.”
Ia berjalan cepat menyusuri koridor, langkahnya penuh campuran antara lega dan khawatir. Dalam hati, ia benar-benar merasa iba pada gadis itu—sendirian, terluka, tapi tetap keras kepala bertahan hidup.
Begitu tiba di depan kamar rawat, Bu Rania langsung membuka pintu. Matanya langsung menangkap pemandangan Fio yang sedang duduk di tepi ranjang dengan kaki diperban ulang, sementara Darrel berdiri bersandar pada dinding dengan ekspresi dingin khasnya.
Bu Rania mendekat, “Fio… Ya Allah, Nak. Saya benar-benar khawatir. Kenapa kamu pergi begitu saja?”
Fio menunduk, malu. “Saya… m-maaf, Bu. Saya tidak bermaksud membuat repot. Saya cuma… harus bekerja. Saya takut dipecat.”
Nada suaranya lirih, matanya berkaca-kaca.
Bu Rania mendesah pelan, duduk di sisi ranjang dan menggenggam tangan Fio dengan lembut. “Nak… keadaanmu belum pulih. Kerja bisa dicari, tapi nyawa dan kesehatan itu yang utama. Kalau sampai terjadi apa-apa di jalan tadi, bagaimana?”
Fio hanya bisa diam, tenggorokannya tercekat.
Sementara Darrel masih bersandar di dinding, tangan terlipat di dada, tapi tatapannya sesekali melirik ke arah Fio — seolah sedang menilai keras kepalanya.
“Mulai sekarang, kamu istirahat dulu. Semua biaya rumah sakit saya yang tanggung. Jangan pikirkan apa pun, ya?”
Fio membelalakkan mata kecil. “Tapi, Bu—”
Bu Rania menepuk tangan Fio pelan. “Sudah. Tidak ada tapi-tapian.”
Darrel hanya menghela napas pelan, lalu berjalan mendekat. “Kalau kamu kabur lagi, kali ini aku yang langsung menyeretmu kembali.”
Nada bicaranya datar, tapi ada sedikit ketegasan yang membuat Fio refleks mengangguk cepat.
Bu Rania sempat menahan tawa kecil melihat interaksi keduanya—diam-diam, ada sesuatu dalam tatapan Darrel yang mulai berubah tanpa ia sadari.
Malam harinya Bu Rania tetap pulang karena ada suaminya yang menunggu di rumah. Darrel? Mana peduli. Dia juga ikut pulang. Bu Rania menitipkan itu kepada suster di sana dan meminta menjaga Fio dengan baik.
***
Ruangan rumah sakit itu sunyi. Hanya terdengar suara detak jam dinding dan desiran lembut dari pendingin udara. Lampu utama sudah dimatikan, hanya lampu tidur redup yang menyala di sudut ruangan, menciptakan suasana temaram.
Fio duduk bersandar di tempat tidurnya, menatap langit-langit dengan mata kosong. Hatinya berat… seolah seluruh dunia menekan bahunya yang kecil.
Tangannya mengusap perban di kakinya pelan. Luka itu tidak seberapa dibandingkan dengan kekacauan dalam hidupnya saat ini.
“Apa aku… berhenti kuliah dan bekerja dulu?” lirihnya.
Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya, seperti beban yang selama ini dipendam akhirnya pecah malam ini.
“Tapi kalau begitu… aku harus mengulang.”
Air matanya mulai berkaca-kaca. Ia menunduk, menatap jari-jarinya yang saling menggenggam di atas selimut.
Ingatan masa lalu tiba-tiba menyeruak. Malam terakhir bersama ibunya, di ruang depan rumah kontrakan mereka—ibunya memegang tangan Fio dengan tatapan hangat penuh harap.
"Kalaupun nanti Ibu nggak ada… Fio harus tetap lanjut kuliah, ya. Ibu ada tabungan. Ibu tidak mau melihat Fio berhenti di tengah jalan. Kamu anak pintar, Nak… Ibu percaya."
Air mata Fio menetes tanpa bisa ditahan. Ia memejamkan mata rapat-rapat, menggigit bibirnya untuk menahan isak.
“Bu… Fio janji mau lanjut kuliah. Tapi sekarang… tabungan itu udah habis untuk biaya rumah sakit dan pemakaman Ibu. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Ayah pun… bahkan untuk mengirim uang saja selalu penuh alasan.”
Matanya melirik ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Chat terakhir dengan ayahnya masih terpampang—pesan dingin, singkat, dan menyakitkan.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan perih di dada.
Meski keadaannya begitu berat, jauh di lubuk hatinya… ada api kecil yang belum padam. Keinginannya untuk kuliah, untuk menyelesaikan apa yang telah ia mulai, begitu besar.
“Aku tidak boleh nyerah. Ibu percaya sama aku… aku juga harus percaya sama diriku sendiri.”
Namun meski mulutnya berkata begitu, air matanya terus mengalir—campuran antara ketakutan, lelah, dan tekad yang berjuang keras agar tidak pudar.
***
Keesokan harinya.
Sore ini, matahari mulai condong ke barat, cahayanya menembus jendela kamar rawat dan membuat suasana menjadi hangat keemasan. Fio sudah rapi dengan pakaian sederhana, tas kecil tersampir di bahunya. Kakinya memang belum benar-benar pulih, tapi ia bisa berjalan pelan dengan bantuan tongkat penopang dari rumah sakit.
Saat pintu kamar terbuka, Bu Rania masuk dengan senyum hangat. Ia datang sendiri saat ini. “Fio… saya dengar kamu mau pulang hari ini?”
Fio tersenyum sopan, meski wajahnya tampak lelah.
“Iya, Bu. Saya sudah minta izin ke dokter. Kaki saya sudah sedikit membaik, dan… saya tidak ingin terlalu lama merepotkan pihak rumah sakit atau Ibu.”
“Nak, kamu ini masih dalam masa pemulihan. Kenapa terburu-buru pulang? Bagaimana kalau lukamu kambuh?”
Fio menggeleng pelan. “Saya baik-baik saja, Bu. Terima kasih banyak sudah membantu saya sampai sejauh ini. Tapi saya sudah cukup merepotkan.”
Bu Rania mendesah kecil. Ada ketulusan dan kepedulian dalam sorot matanya. “Kalau begitu… bagaimana kalau kamu ikut saya ke rumah? Sementara waktu saja. Biar saya yang mengurus semuanya sampai kamu benar-benar pulih.”
Fio terbelalak kecil, jelas tidak menyangka tawaran itu. “Hah? Ke… rumah Ibu? Wah, saya… saya tidak enak, Bu. Kita bahkan baru kenal. Saya tidak bisa begitu saja ikut ke rumah orang, apalagi rumah Ibu…”
Bu Rania tersenyum sabar, berusaha membujuk dengan lembut. “Nak… Saya sudah menganggap kamu seperti anak sendiri. Lagipula, saya merasa sangat bersalah atas kejadian waktu itu. Biarkan saya menebusnya dengan sedikit kebaikan, ya?”
Fio menggigit bibirnya, ragu. Tapi kemudian ia menggeleng pelan. “Maaf, Bu… saya benar-benar menghargai niat baik Ibu. Tapi saya lebih nyaman pulang ke kontrakan saja. Di sana juga sudah terbiasa.”
Bu Rania memandangnya beberapa saat, lalu akhirnya mengangguk dengan senyum tipis.
Bu Rania: “Baiklah… kalau begitu saya antar kamu pulang. Setidaknya saya tenang melihatmu sampai rumah.”
***
Di dalam mobil menuju kontrakan Fio, Bu Rania duduk di kursi depan, sesekali melirik ke arah Fio yang duduk tenang di kursi penumpang.
Setelah beberapa saat, Bu Rania membuka suara dengan nada hati-hati. “Fio… ada satu hal yang ingin saya bicarakan. Tentang masa depanmu.”
Fio menoleh pelan, agak bingung.
“Tentang apa, Bu?”
Bu Rania menarik napas dalam-dalam, lalu menatap gadis itu dengan mata serius namun lembut. “Mama tahu ini mendadak. Tapi… saya ingin menjodohkan kamu dengan anak saya, Darrel.”
Deg
Bersambung