Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.
Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya
Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?
p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Magicalform - Eyes Across the Room
Pratama mengangguk. "Sebaiknya begitu." Dia lalu menunjuk ke arah cermin besar di atas wastafel. "Kau bisa melihat dirimu di sana saat menyikat gigi atau mencuci muka."
Caroline mengikuti arah pandang Pratama dan melihat bayangannya sendiri di cermin. Dia mengangkat tangannya, menyentuh bayangan itu. Rasanya aneh, namun juga sedikit menarik. Wajah yang sama, rambut yang sama, tetapi dengan pakaian yang berbeda dan di tempat yang sama sekali asing.
"Pram," panggil Caroline, suaranya sedikit ragu. "Aku rasa.. aku memiliki banyak pertanyaan. Aku tidak tahu dimana aku berada dan apa hal yang terkait diriku."
Pratama menghela napas. Ekspresinya berubah serius. "Ini rumah kita, Lin. Dan kau ada di sini karena... kau selamat." Dia berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Memang banyak hal yang perlu kau ketahui. Tapi sekarang mandi dulu, juga istirahat selama sehari. Besok, saat sudah lebih tenang, aku akan menjelaskan semuanya."
Caroline menatapnya lekat. Ada keraguan di matanya. Dia ingin sekali tahu, namun dia juga merasa terlalu lelah untuk mencerna semua informasi sekaligus. "Tapi bagaimana aku bisa selamat? Aku ingat leherku..." …Dipenggal hingga terpisah dari tubuh
Dia menyentuh leher utuhnya.
Pratama mendekat. "Ada kecelakaan yang cukup parah, Lin. Syukurlah kau ditemukan tepat waktu." Dia tidak menjelaskan detailnya, mungkin karena tidak ingin memicu trauma lebih lanjut pada Caroline. "Sekarang, lanjutkan mandimu. Biar aku rapikan tempat tidurmu."
Setelah benar-benar yakin dengannya, barulah pria itu keluar. “Lin, jika ada apa-apa teriak saja. Tadinya kukira kau sudah selesai mandi baru berani mengetuk pintu.”
Caroline mengangguk pasrah. Ada sesuatu dalam suara Pratama yang menenangkan, meski dia tidak sepenuhnya percaya. Pintu ditutup. Caroline melepaskan bajunya yang berbau tengik. Melemparkannya ke keranjang coklat. Di bawah pancuran, Caroline melakukannya sama persis tetapi airnya terlalu panas, atau terlalu dingin.
“Aish!!” Dia mundur dan mematikan pancuran air. Lalu mengatur pemanasnya.
Setelah beberapa percobaan, air hangat mulai mengalir dari atas. Caroline memejamkan mata, membiarkan air membasuh tubuhnya. Sensasi itu begitu asing, namun juga menenangkan. Dia meraih sabun cair yang beraroma harum dan menggosokkannya ke kulitnya.
Pikirannya masih berkecamuk. Kecelakaan? Tapi dia ingat kematiannya begitu jelas. Mungkinkah ini adalah awal dari kehidupan barunya? Tetapi apakah ada kemungkinan lainnya? Kebetulan sekali jika ia hidup lagi, dia bisa hidup dengan wajah, suara, dan tubuhnya yang sama persis. Bahkan namanya saja sama.
Kematiannya yang seharusnya, dinginnya rantai yang ia kenakan, bau busuk sayuran dan telur, sensasi lehernya yang terputus terasa nyata saat ia baru bangun. Tapi.. tidak dengan sekarang. Seolah-olah itu hanyalah bunga tidurnya. Kini dia berdiri di tempat yang asing ini, di usia yang sama seharusnya dengannya di masa lampau.
Tubuhnya sama, namun lingkungannya benar-benar berbeda. Dan laki-laki bernama Pratama itu memanggilnya dengan nama "Lin". Tapi siapa dia? Mengapa dia begitu perhatian?
Setelah selesai mandi, Caroline melilitkan handuk bersih di tubuhnya. Dia melihat pantulannya di cermin. Wajahnya pucat, namun matanya memancarkan kebingungan dan sedikit ketakutan. Rambutnya masih kusut, tetapi setidaknya sudah bersih.
Ada pakaian bersih yang digantung oleh Pram. Sebuah gaun tidur dari bahan katun lembut yang jauh lebih tebal daripada gaun tidur tipis yang pertama dikenakannya.
Caroline merasa jauh lebih nyaman. Aroma sabun dan mint pasta gigi memenuhi indranya. Perutnya sudah kenyang, badannya sudah bersih, namun kepalanya masih lapar. Dia melihat sekeliling kamar lagi. Baru ia lihat namun juga terasa benar entah bagaimana. Seprai sudah kembali di tempatnya dan lantainya lebih licin.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka lagi. Pratama masuk dengan sisir di tangannya. Sikap kaku dan kikuknya sudah agak memudar. Lelaki itu tersenyum tipis. "Rambutmu, butuh dirapikan?" tanyanya.
Caroline menatap sisir itu, lalu Pratama. Ada kebaikan di matanya, dan dia tidak merasakan ancaman sama sekali. Dia mengangguk pelan. "En."
Pratama mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. “Kemarilah, duduk di depanku.”
Dua orang duduk bersila di atas ranjang. Dengan gerakan hati-hati, Pram mulai menyisir rambut Caroline yang kusut. Setiap tarikan sisir terasa lembut, tidak menyakitkan sama sekali. Caroline bisa merasakan helai-helai rambutnya yang rontok ikut tersapu. Dia memejamkan mata.
"Selesai," putus Pratama.
Caroline membuka matanya. "Menurutku, aku sudah banyak istirahat. Bolehkah jika aku bertanya sekarang saja? Aku masih tidak mengerti," bisiknya. "Apa yang terjadi? Siapa aku? Siapa kamu?"
Caroline membuka matanya. Rambutnya terasa jauh lebih rapi dan ringan. Dia menoleh ke belakang, menatap Pratama yang kini sedang menyimpan sisirnya. "Menurutku, aku sudah banyak istirahat. Bolehkah jika aku bertanya sekarang saja? Aku masih tidak mengerti," bisiknya, dorongan untuk mengetahui kebenaran begitu kuat. "Apa yang terjadi? Siapa aku? Siapa kamu?"
Pratama berhenti menyisir. Dia meletakkan sisir ke atas meja.
Caroline yang membelakangi Pram sudah berbalik arah. Tatapan Pram sulit diartikan, campuran dari kelegaan, kesedihan, dan mungkin sedikit kebingungan. "Baiklah, Lin. Kau memang butuh tahu." Dia meraih tangan Caroline, menggenggamnya erat.
"Kamu istriku, nama lengkapmu Caroline Kirana Adiwidya. Kamu meneliti bahan alam obat tetapi tidak dalam perusahaanku. Aku Pratama Aksa Dananjaya. Mungkin ranahku lebih dalam industri sekaligus perusahaan kecil."
Istriku? Pikirannya langsung melayang ke sensasi leher yang terpotong, ke sel penjara yang dingin, dan ke identitasnya sebagai istri rendahan yang dihukum mati. Tidak ada sosok Pram dalam ingatannya.
"Tidak mungkin," Caroline menarik tangannya dengan cepat, seolah sentuhan Pratama membakar kulitnya. Matanya membelalak kengerian. "Aku... aku bukan istrimu! Aku memang menyukai obat, tetapi aku sama sekali tidak mengenalmu. Ini juga bukan tempatku, a-aku.." Dia ragu sejenak, karena nama kerajaannya terasa kabur, tetapi ingatannya akan statusnya begitu jelas. "Pengkhianat Kerajaan!"
Pratama menatapnya dengan bingung. Kerutan muncul di dahinya. "Pengkhianat? Lin, apa yang kau bicarakan? Dokter bilang mungkin ada sedikit masalah dengan ingatanmu akibat benturan." Dia mencoba meraih tangan Caroline lagi, tetapi wanita itu menghindar.
"…benturan?" Caroline tertawa hampa. "Tidak! Aku... dihukum mati! Leherku dipenggal! Darahku muncrat, dimana-mana. Aku mati, Pram! Aku mati!" Suaranya meninggi, dipenuhi kepanikan dan frustrasi. Bagaimana bisa laki-laki ini berbicara tentang lupa ingaran, sementara dia merasakan kematiannya dengan begitu nyata?
Pratama menatapnya kosong, seolah kata-kata Caroline adalah bahasa asing. Raut wajahnya berubah dari bingung menjadi khawatir, lalu menjadi sangat sedih. "Lin, aku tidak tahu apa yang terjadi padamu." Dia mencoba meredakan suasana. "Mungkin kau masih sedikit berhalusinasi akibat obat-obatan atau efek dari koma. Tenanglah."
"Aku tidak berhalusinasi!" Caroline meremas seprai putih. "Aku tahu siapa aku! Aku harusnya sudah mati!" Rasa frustrasinya memuncak.
“Cukup dengan kata aku harusnya sudah mati !! Kau masih bernafas, disini kau duduk. Di hadapanku. Kau aman disini. Tidak ada yang dipenggal.”
Hening menyelimuti ruangan. Pratama hanya menatap Caroline, matanya penuh pertanyaan dan duka yang mendalam. Dia ingin memeluk wanita itu, menenangkannya, tetapi pasti ia ditolak. Dia tidak mengerti status macam apa yang dibicarakan Caroline, atau kenapa wanita itu yakin sekali dia telah mati dipenggal. Baginya, itu semua terdengar seperti delusi.
"Lin." panggil Pratama lagi, suaranya lebih besar tapi tidak sampai berteriak. "Aku tahu ini sulit. Tapi kau harus percaya padaku. Kau selamat, dan kau bersamaku. Ini rumah kita." Dia mengulanginya, berharap kata-kata itu bisa menembus benak istrinya.
Namun, Caroline hanya menggelengkan kepala, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Tidak... Bukan itu. Aku tidak berbohong."
“Kau lihat dari awal aku bangun hingga sekarang, aku tidak mengenal semua benda disini. Aku terlihat seperti orang bodoh.” Suaranya bergetar, menunjukkan kekesalan ekstrim karena tidak dipercaya.
Pratama menyugar rambut ke belakang. Istrinya tidak sekadar berhalusinasi atau melupakan beberapa hal. Caroline serius dengan apa yang ia katakan, dan ketakutannya terbagi juga padanya.
"Lin." Pratama memanggilnya lembut, mencoba menembus pertahanan Caroline. "Aku tidak pernah berpikir kau bodoh. Menurutku, ketidaktahuanmu masih bisa dipahami. Kau adalah pasien yang baru sadarkan diri." Ia menghela napas, menyadari bahwa ia tidak bisa lagi hanya meyakinkan Caroline dengan kata-kata biasa. "Baiklah. Kalau begitu, mari kita mulai dari sini."
Ia bangkit dari ranjang dan berjalan ke sebuah meja kecil di sudut kamar. Dari laci, ia mengeluarkan sebuah album foto dan membawanya kembali ke ranjang, duduk tidak terlalu dekat, tapi cukup dekat agar Caroline bisa melihat.
"Ini," kata Pratama, membuka halaman pertama album. "Ini kita. Di hari pernikahan kita." Ia menunjukkan foto pasangan pengantin yang tersenyum bahagia. Caroline memandang foto itu. Wajah wanita di sana memang dirinya, dengan gaun putih yang indah, tersenyum lebar di samping seorang pria yang tak lain adalah Pratama. Namun, ingatannya tetap kosong. Tidak ada riwayat, tidak ada emosi yang melekat pada gambar itu.
"Aku?" Caroline menyentuh foto itu dengan ragu. Rasanya seperti melihat kembarannya.
"Ya, itu kau. Lalu ini! saat kita liburan di Bali setelah menikah." Pratama membalik halaman, menunjukkan foto-foto lain. Caroline tertawa di bangku, Caroline menendang pasir, Caroline di dekat pura."
Dia belum berhenti. Album itu memiliki banyak lembar. Soal dia, Pram, beberapa orang asing. Caroline diam sejenak saat memandangi tubuhnya dengan jas putih dan tangannya memegang berbagai dedaunan. “Kau suka meneliti bahan alam, bahkan sering lupa waktu kalau sudah di lab."
Lab? Tempat apa lagi itu?
Setiap foto yang ditunjukkan Pratama seperti sepatu yang salah pasangan. Caroline melihat tubuhnya, tetapi tidak mengenali wanita yang ada di foto itu. Tidak ada koneksi emosional, tidak ada memori yang muncul. Semua hanya visual tanpa arti.
"Aku lupa," bisik Caroline, suaranya putus asa. " Rasanya... seperti melihat hidup orang lain." Ia merasakan kepalanya mulai pusing lagi, terlalu banyak informasi yang bertabrakan dengan ingatannya yang lain.