--bukan novel Horor--
--bukan novel bertema Mafia--
ini novel bertema Pendekar dan kesaktian jika tidak suka jangan di baca karena akan merugikan author jika kalian membaca tidak selesai. hargai karya orang lain.
***
Adiwijaya Bagaskoro merupakan anak yang selalu di manja kedua orang tuanya yang merupakan seorang demang di desanya. Namun penghianatan terjadi paman Adiwijaya membunuh kedua orang tua Adiwijaya dan mengambil mustika keluarga.
Adiwijaya mengejar Pamannya yang kabur ke dalam hutan hingga Akhirnya Adiwijaya bertemu dengan banyak kera dan seorang petapa sakti yang sulit mati sebelum menurunkan ketiga Ajiannya yaitu Ajian Anoman Obong, Pancasona, dan Ajian Bayu Saketi.
Bagaimana kisah Adiwijaya selanjutnya? dan akankah Adiwijaya mampu membunuh Pamannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Abdul Rizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mantan pendekar
"Benar Gusti Raja, kedatangan hamba kesini karena hamba berniat menemui bibi dan sepupu hamba di sini." Ucap Adiwijaya.
"Sayang sekali Adi, mereka berdua sudah mati di bunuh oleh Mahesapati. Namun Mahesapati menyangkal hal itu, dia berfikir anak dan istrinya masih hidup dan istrinya menikah lagi dan merahasiakan keberadaannya dari dirinya. Kamu harus tahu satu hal Adi, sebenarnya dulu Mahesapati merupakan seorang senopati di kerjaanku." Ucap Raja Paku Alam.
Adiwijaya terlihat semakin geram mendengar hal itu, kejahatan pamannya sudah tidak dapat di maafkan lagi.
"Aku bersumpah akan memberikan kematian yang menyakitkan untuknya!" Batin Adiwijaya sembari mengepalkan kedua tangannya.
Singkat cerita Akhirnya Jambulana menjadi senopati andalan kerajaan sedangkan Adiwijaya pamit undur diri dari Kotaraja.
Sebelum pergi Adiwijaya mampir ke rumah bibi dan sepupunya, Adiwijaya terlihat termenung menatap ayunan yang biasa dia mainkan bersama sepupunya atau anak dari Mahesapati.
Sementara itu terlihat Patih Mangku Dirjo dan beberapa prajurit Kotaraja terlihat mengawasi Adiwijaya.
Adiwijaya sendiri tahu bahwa dia sedang di awasi oleh Patih Mangku Dirjo dan beberapa Prajurit Kotaraja, namun Adiwijaya sendiri tidak mempermasalahkannya mungkin saja itu hanya bentuk pengawalan.
Namun apa yang tidak di ketahui oleh Adiwijaya patih mangku Dirjo saat ini memasang ekspresi gelisah seolah takut apabila Adiwijaya menyadari ada sesuatu yang janggal di dalam rumah itu.
Cukup lama Adiwijaya mengenang masa lalunya di rumah itu, hingga akhirnya dia kembali ke kerajaan untuk berpamitan kepada Ki Joko Tuak dan Jambulana.
"Adi, sinar matahari masih sangat terik, apakah kamu yakin mau pergi sekarang?" Tanya Jambulana yang terlihat enggan berpisah dengan Adiwijaya.
"Haha... tidak perlu bersedih seperti itu Jambulana, kapan-kapan aku akan mampir ke Kotaraja." Jawab Adiwijaya.
Jambulana dan Ki Joko Tuak di buat bersedih karena kepergian Adiwijaya entah kapan mereka dapat bertemu lagi.
***
Di Desa bernama Desa Lestari.
Ada dua pasangan yang sedang memadu kasih di sebuah gubuk yang sepi dan jauh dari pemukiman. Mereka saling memeluk dan saling memadu kasih layaknya suami istri. Tanpa mereka sadari seorang bujang lapuk bernama Atmo sedang mengintip mereka.
Mata Atmo sampai tidak berkedip mengintip pasangan itu yang sedang saling memadu kasih, hingga secara tidak sengaja Atmo yang hendak berpindah posisi malah menginjak ranting.
Krasak!
"Siapa itu?!" Teriak Jantra kaget.
"Kang Jantra pasti ada yang mengintip kita kang." Ucap ambarwati yang terlihat panik.
"Kurang ajar, akan aku pukuli mengintip itu!" Ucap Jantra yang langsung memakai celananya dan keluar mengejar Atmo yang lari masuk ke dalam hutan.
Atom berlari masuk ke dalam hutan hingga Akhirnya dia terhenti karena menabrak tubuh seorang pemuda dengan topi caping di kepalanya.
"To-- tolong aku kisanak, aku mau di bunuh!" Ucap Atmo kepada Adiwijaya yang ada di depannya.
"Siapa yang mau membunuhmu?" Tanya Adiwijaya.
Hah... hah...
Sebelum Atmo menjawab siapa yang hendak membunuhnya, Jantra sudah tiba dengan nafas terengah-engah.
"Rupanya kalian berdua yang mengintipku dan kekasihku di gubuk itu!" Ucap Jantra yang terlihat emosi.
"Mengintip? Aku sama sekali tidak mengintipmu kisanak, aku baru saja sampai di sini." Ucap Adiwijaya mencoba menjelaskan.
"Hala, tidak usah mengelak!" Marah Jantra dan langsung memajukan tinjunya hendak meninju wajah Adiwijaya.
Adiwijaya menghindari serangan Mantra dengan mata tertutup, dia sedang melatih indra pendengarannya ketika bertarung.
"Sialan!! Berani sekali kamu meremehkanku!" Teriak Jantra dia semakin membabi buta menyerang Adiwijaya sementara Atmo hanya bisa bersembunyi di balik pohon.
Jantra terus menyerang Adiwijaya, sedangkan Adiwijaya terus menghindari serangan Jantra, Hingga akhirnya Adiwijaya memukul rusuk kanan Jantra dan membuat Jantra terpelanting.
Bersamaan dengan itu Ambarwati datang dengan pakaian yang hanya mengenakan kain jarik yang di lilitkan.
"Kakang!?" Seru Ambarwati melihat kekasihnya jatuh tersungkur.
Adiwijaya dan Atmo menatap melongo tubuh Ambarwati yang hanya memakai kain jarik dan terlihat belahan putih.
"Pantas saja orang ini, mengintip aku juga kalau ada di sana pasti juga ikut mengintip." Batin Adiwijaya.
Ambarwati mendekati Jantra yang terduduk sembari memegangi rusuk kanannya.
"Makanya lain kali tanya baik-baik dulu kisanak, aku hanya seorang pendekar yang hendak lewat di hutan ini untuk menuju desa selanjutnya." Ucap Adiwijaya.
Jantra, Ambarwati dan Atmo langsung percaya dengan ucapan Adiwijaya, karena dari pakaian Adiwijaya memang mencerminkan seorang pendekar sejati.
Namun apa yang tidak di ketahui Adiwijaya, Atmo dan Jantra terlihat Ambarwati mengigit bibir bagian bawahnya ketika melihat otot lengan Adiwijaya yang sangat menonjol.
Memang pakaian Adiwijaya bisa di bilang sedikit terbuka, bagian lengannya hanya sebatas bahu saja dan di bagian dadanya juga sedikit terlihat.
"Maafkan aku Jantra, Ambarwati, aku sama sekali tidak bermaksud mengintip kalian di gubuk itu, aku hanya ingin beristirahat di gubuk itu eh aku malah melihat kalian.. hehe.." Ucap Atmo sambil tersenyum cengengesan.
"Hala... dasar bujang tua! Bilang saja kamu memang sengaja mengintip!" Ucap Jantra yang sepertinya masih emosi.
***
Di tempat yang berbeda seorang Kyai sedang berjalan tenang menyusuri jalan perdesaan. Kyai tersebut bernama Kyai Sepuh sebelum menjadi Kyai dia dulu merupakan seorang pendekar yang sangat sakti mandraguna, dulu dia terkenal sangat ahli dalam kecepatannya menebas musuh karena dia dahulu memiliki sebuah Pusaka pedang yang bernama pedang Kilat.
Kyai Sepuh sendiri setelah memakan asam garam dunia pendekar dia memilih untuk memeluk islam dan kini dia hendak menuju ke Kotaraja untuk menyebarkan ajarannya dan berteman dengan Raja Paku Alam, selain itu Kyai Sepuh juga hendak mencari muridnya yang kabur entah kemana.
Ketika Kyai Sepuh berjalan seorang diri di sebuah desa, dia melihat seorang pria paruh baya dengan topi caping dan hanya memiliki lengan satu terlihat berjalan membaur bersama para masyarakat.
Sebagai seorang mantan pendekar yang sangat sakti tentu saja Kyai Sepuh tahu bahwa pria itu bukanlah masyarakat biasa, melainkan seorang pendekar yang sedang membaur.
Indra kepekaan Kyai Sepuh sangat tajam, dia bisa merasakan adanya hawa siluman yang menyelimuti jiwa pria paruh baya itu.
"Ilmu sesat Harus musnah dari muka bumi ini, termasuk para pengamalnya!" Batin Kyai Sepuh sembari mengelus jenggotnya dia kemudian mengikuti pria paruh baya itu dari belakang.
Bahkan saking hebatnya Kyai Sepuh pria paruh baya itu sama sekali tidak mengetahui bahwa dia sedang di ikuti, karena langkah kaki Kyai Sepuh sangat ringan seolah angin itu sendiri.