Sebuah kisah cinta rumit dan menimbulkan banyak pertanyaan yang dapat menyesakan hari nurani
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ericka Kano, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku akan menunggumu... (2012)
Setibanya di parkiran cabang, kami sudah melihat hiruk pikuk kendaraan di area parkir. Sudah bisa dibayangkan betapa ramainya di dalam gedung.
Aku segera turun dari mobil, tepat di depan pintu lobi dan Om Ewin pun memarkirkan mobil.
"Tuh, ibu Christy datang. Katanya dia konsultan hebat," aku samar-samar mendengar suara ibu-ibu sedang membicarakan ku ketika aku masuk lobi
"Iya katanya sarannya jarang meleset. Antri sama dia tuh panjang tapi hasilnya bagus," ibu yang satu menimpali.
Aku pura-pura tidak mendengar dan langsung menuju ke arah Millytia.
"Mill," sapaku agak mengejutkan Millytia
"Eh ya ampun, ampuni aku. Aah, ibu mengejutkan saya," jawab Millytia agak latah
"Sorry. Siswa Kinaya sudah ada belum?", tanyaku sambil terkekeh
"Belum ada, Bu. Mungkin sedikit lagi. Dia dari arah Ahmad Yani, mungkin kena macet, Bu," jawab Millytia masih dengan suara cemprengnya
"Ya sudah, aku tunggu dulu aja,"
"Ehm Bu, jangan tunggu di sini. Nanti ibu dipaksa konsultasi ama ibu-ibu di sini. Kasian Kinaya yang udah janjian. Tunggu di ruang eksekutif aja Bu," saran Millytia
"Iya yah, kali ini kamu pinter," candaku sambil mencolek dagunya dan berlalu dengan senyum
Ruangannya sudah rapih dan siap digunakan untuk konsultasi. Jarum jam hampir jam 5 sore. Sambil menunggu, aku membuka chat BBM ku. Tiba-tiba teringat Steve. Dia di mana sekarang ya. Steve jarang sekali memberi kabar. Ditanya pun lama balas. Aku sudah kapok memprotesnya. Terakhir protes kami bertengkar hebat. Jadi yah, kalau dia berkabar syukur, gak berkabar juga apa boleh buat.
Pintu ruangan diketuk. Itu pasti Kinaya dan walinya.
"Masuk," seru ku
Pintu dibuka. Wajah Kinaya yang muncul lebih dulu sambil tersenyum.
"Selamat sore kak," sapa Kinaya
"Sore Kinaya, mari......," kalimatku tertahan di tenggorokan. Aku membeku melihat wali Kinaya yang datang.
Kemeja lengan panjang biru. Padan dengan celana panjang warna hitam.
"Kak, kenalkan ini wali nya Kinaya, Om Raihan Iskandar," suara Kinaya terdengar samar-samar.
Ada sebongkah batu besar yang menyeruak di hatiku. Mendorong ingin keluar dalam bentuk amarah dan air mata.
"Kak, maaf... Kami boleh duduk?," suara Kinaya kembali terdengar.
Aku membuang pandanganku dari Rai. berusaha mengatur ritme napasku.
"Kinaya, boleh Kakak izin sebentar hanya berbicara dengan wali?," suaraku pelan dan hampir tercegat
"Boleh sekali kak, Kinaya tunggu di luar dulu," Kinaya belum memahami yang terjadi. Dia pikir aku memang sengaja hanya ingin menjelaskan beberapa hal kepada pamannya.
Begitu Kinaya keluar, tangisku tak terbendung lagi.
"Dasar kurang ajar. Laki-laki munafik. Kenapa harus muncul lagi di hadapanku," kata-kata itu mengalir begitu saja disertai tangan yang mulai mengambil buku di hadapanku dan melemparkannya ke arah Rai.
"Jahanam. Penjahat kau," seruku lagi dengan suara bergetar. Rai hanya berdiri diam menerima semua benda yang aku lemparkan
"Kamu hidung belang. Kamu sok suci. Kamu memang tidak pernah mencintaiku. Kamu memilih wanita malam daripada aku. Kamu brengsek," aku terisak dan menutupi wajahku dengan kedua tanganku.
Perlahan Rai mendekat. Tanpa berkata apa-apa dia langsung memelukku. Menyandarkan kepalanya di kepalaku. Aku memberontak, tidak ingin dipeluk olehnya.
"Lepaskan. Pergi peluk sana semua perempuan di tenda biru itu. Pergi," aku merontah. Untung setiap ruangan kelas dibuat kedap suara sehingga suara tangisanku tidak terdengar keluar.
"Maafkan aku, Ty," suara menenangkan itu pun terdengar kembali.
"Aku minta maaf," terdengar lagi. Tanpa sadar, aku berhenti merontah. Kubiarkan dia memelukku beberapa lama.
Saat aku mulai tenang, dia menarik sebuah kursi dan duduk tepat di depanku.
"Christy Fransisca. Wanita yang selalu kucintai dengan kekaguman. Aku di sini. Aku mengakui kesalahanku. Tapi biarkan aku menjelaskan yang terjadi," tuturnya dengan lembut
Aku tidak menjawab, aku masih terisak kecil.
"Ibumu mengeluarkan sumpah serapah saat aku datang dan mengatakan akan mengadakan pertunangan denganmu. Dan ibumu mengatakan bahwa aku harus melangkahi mayatnya jika ingin menikahimu," dia mulai bertutur.
Lanjutnya,
"Saat itu aku membawa beberapa barang untuk mu dan ibumu. Dan semua barang itu diambil ibumu dan dibakar di depan rumah tepat di hadapanku. Dan demi langit ibumu bersumpah untuk tidak akan pernah merestui kita,"
Aku masih terisak pelan. Tanganku masih menutupi wajahku.
"Aku memang menikah. Tapi aku sudah cerai awal tahun 2010. Aku hanya menikah selama 1, 5 tahun. Aku menikahi seorang apoteker muda bukan wanita malam. Kebetulan rumah orang tuanya dekat dengan lokasi tenda biru dan kebetulan Anthon pernah melihatku di sana. Jadi mereka pikir aku menikahi wanita malam,"
Penjelasannya tidak menghentikan tangisan ku.
"Aku akui aku salah. Menikah dengannya adalah keputusan bodoh dan teramat cepat yang aku ambil. Aku bodoh, Ty," dia mulai menggapai kedua tanganku menariknya dari wajahku.
"Aku bodoh meninggalkanmu tanpa penjelasan. Aku pengecut karena tidak berani menemuimu. Sampai akhirnya, tadi malam, aku melihatmu duduk di sofa di samping Kinaya. Melihatmu berbicara. Melihatmu tersenyum. Mataku tidak bisa berpaling sedikitpun. Aku tidak bisa menyangkal hatiku bahwa aku masih mencintaimu,"
Deg ! Kalimat yang sangat menakutkan untuk aku dengar.
"Bahkan tadi aku masih belum berani menemuimu. Aku hanya berani mengirimkan boneka itu. Aku belum berani. Namun aku tidak bisa menghilangkan kegelisahan ini. Aku harus menemuimu. Berbicara. Supaya kamu tahu bahwa masih kamu pemilik hati ini," kalimat demi kalimat ini justru menjadi cemeti yang memecut hatiku. Semakin sakit. Semakin berdarah.
"Pernikahanku tidak aman Ty. Aku tidak pernah menyentuhnya karena aku tidak bisa. Aku sudah berupaya memperlakukan dia sebagai isteri tapi tetap tidak bisa. Sejak jatuh cinta padamu, tubuhku sudah disettel hanya bisa menerima tubuhmu, Ty,"
Kalimat ini membuatku lunglai. Gamang. Benar-benar gamang. Bolehkah kalimat ini kudengar sebelum aku menyerahkan mahkotaku pada Steve? Kenapa nanti hari ini? Aaaaaaaaaa, ingin aku berteriak seperti di hutan rimba.
"Ty, boleh kah aku mendengar suaramu?," pintanya lirih sambil memegang tanganku.
Tiba-tiba,
"Bu Christy, Kinaya sudah tiba," Raya langsung membuka pintu. Dia pikir aku belum tahu kalau Kinaya sudah datang.
Sontak kami berdua terkejut. Aku segera mengubah mimik wajahku. Dan berharap Raya tidak memperhatikan air mataku. Namun Raya telanjur memperhatikan beberapa buku dan penghapus papan yang sudah tergeletak di lantai.
"Oiya, saya mau bicara dengan walinya dulu," ujarku sambil menunjuk Rai.
Dengan tenang, Rai berdiri, menghampiri Raya dan mengulurkan tangan.
"Raihan, pamannya Kinaya. Saya memang ada izin untuk berbicara secara personal dengan konsultan,"
"Oh iya, eh, silakan Pak Raihan," jawab Raya sambil menutup pintu kembali
Rai kembali menatapku. Kemudian dia duduk kembali.
"Ty, maafkan aku. Tolong bilang bagaimana supaya aku bisa menerima maafmu?,"
Aku butuh waktu untuk menjawab itu. Rasa sakit ini begitu dalam.
"Rai," wajahnya terbelalak mendengar aku memanggil dia dengan nama untuk pertama kalinya.
"Kalau aku sudah memberi maaf. Apa gunanya itu sekarang?," susah payah aku mengeja kalimat itu
Matanya berbinar. Dia kembali memegang tanganku.
"Sangat berguna untukku. Aku sangat mencintaimu. Aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa seumur hidupmu membenciku, Ty,"
Lanjutnya,
"Sampai hari ini aku masih menyimpan kumpulan puisimu untuk ku, Ty. Potongan-potongan korannya aku buat seperti Mading supaya aku bisa membacanya setiap hari. Cat dinding rumah tidak ku ubah Ty. Masih warna kesukaanmu. Bunga di rumahku masih banyak dengan bunga mawar karena itu bunga kesukaanmu. Aku masih sering menonton rekaman pertunjukkan teater mu. Aku masih suka berkaraoke seolah-olah ada kamu di sampingku. Aku tidak mengubah apapun tentangmu di hidupku, Ty,"
"Tapi aku sudah menikah, Rai...," dengan dorongan yang keras, akhirnya kata-kata itu meluncur
Tiba-tiba Rai seperti kena tombol pause. Terhenti. Diam. Dan Tidak melanjutkan kata-katanya lagi.
"Itulah mengapa aku tanya. Apa gunanya maaf dariku. Aku bukan Christy yang dulu lagi. Aku sudah menikah. Aku sudah punya anak," ujarku dengan suara bergetar
Rai menunduk. Matanya menerawang ke sana ke mari. Mungkin dia berusaha menerima kenyataan ini.
"Menikah...," gumamnya
"Dengan siapa, Ty?," tanyanya lirih
Aku membuka galery hp ku dan menunjukan foto Steve dengan anak kami Vincent.
Rai tertegun. Lama dia menatap foto itu.
"Aku berhasil menjagamu, Ty. Aku berhasil membuatmu memberikan yang terbaik untuk suamimu, kan," suaranya bergetar
"Itu sebenarnya untukmu, Rai. Namun tindakanmu pergi tanpa penjelasan membuatku sangat kecewa sehingga memutuskan untuk menerima cinta yang lain,"
Rai mengangguk asal. Bibirnya terkatup sambil menggumam tak jelas. Aku sudah bersiap dia melampiaskan amarahnya. Mungkin membanting kursi, memukul dinding, entahlah..
Namun,
"Aku percaya bahwa cinta sejati itu tetap ada Ty. Aku akan menunggumu. Tidak akan aku lakukan kesalahan ku yang kedua kali. Aku hanya akan menikahi mu. Kalau tidak sekarang, mungkin nanti,"
Rai beranjak dan keluar ruangan. Aku menangis. Benar-benar seperti cerita film tapi ini riil menimpaku.
Oh langit, runtuhlah menimpaku.....