kisah lama yang belum usai, membuatku masih hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Aku selalu menyesali apa yang terjadi saat itu, aku selalu menginginkan masa itu terulang kembali. Walaupun aku tau itu mustahil, aku tetap memimpikannya. Aku ingin memperbaiki kesalahanku yang besar kepada cinta pertamaku, karena aku sudah menghancurkan hatinya sampai tak berbentuk. Masih pantaskah aku jika menginginkannya kembali padaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ashelyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu 2
“Jangan lupa les nanti malam di tempat baru” ucap seorang wanita berumur 48 tahunan.
“Iya bu” balas Teresa kepada ibunya yang memasuki kamarnya.
Teresa menghela napasnya panjang, dia baru saja pulang dari sekolah, dan ibunya sudah memintanya untuk melakukan hal lain. Dengan terpaksa dia pergi ke kamar mandi untuk cepat membersihkan dirinya. Karena jam sudah menujukan pukul 6 sore, dan les akan di mulai jam 7 sebentar lagi.
Setelah bersiap dengan kaos putih dan rok jeans pendeknya, Teresa memoleskan lipstik tipis ke bibirnya. Dia membiarkan rambut panjangnya tergerai seperti biasa. Kemudian dia membawa tas ranselnya yang berisi buku-buku untuk kegiatan belajarnya.
“Apa tempat les nya sudah benar bu?” Tanya Teresa pada ibunya yang sedang fokus dengan dokumen di tangannya.
“Sudah” ucapnya singkat.
“Baiklah Teresa berangkat sekarang bu” ucap Teresa dan pergi keluar dari rumahnya.
Hawa dingin di malam hari membuat Teresa merapatkan jaket yang dia pakai. Dia sedikit menyesal karena memakai rok pendek di malam hari yang dingin ini. Dengan cepat Tere masuk kedalam mobilnya.
Tidak butuh waktu lama, akhirnya Tere sampai di sebuah tempat les yang sudah ramai dengan orang-orang seusianya yang masuk dengan tas di tangan mereka. Ada beberapa orang juga yang hanya membawa iPad.
“Apa mereka belajar hanya menggunakan iPad?” Batin Teresa, alisnya mengernyit tak mengerti.
“Pa supir bisa pulang dulu, aku akan pulang pukul 9, Pa supir bisa jemput aku di jam itu” ucap Teresa berbicara kepada supirnya.
“Baik nona” ucapnya dengan patuh.
Teresa mengangguk mengerti, dia hendak melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam gedung tiga tingkat di depannya. Tapi langkahnya terhenti saat dia melihat seseorang yang dia kenal sedang memarkirkan sepedanya di depan gedung les.
“Prince?” Ucap Teresa dengan kikuk.
Prince menoleh kearahnya, dia terlihat kebingungan saat pertama kali menyadari kehadiran Teresa. Dia berjalan mendekat dengan wajahnya yang datar, menatap Teresa sekilas sebelum akhirnya dia membuka mulutnya berbicara.
“Kau les disini juga?” Tanyanya, dan Teresa mengangguk.
“Ahh oke” ucapnya dengan sangat singkat dan padat ‘ahh’.
Teresa kebingungan saat Prince langsung pergi begitu saja setelah mengucapkan kata ‘Ahh’ yang terdengar sangat acuh tak acuh itu. Bagaimanapun di tempat ini hanya Prince lah yang Teresa kenal, mau tidak mau Tere harus berlari mengejarnya.
“Anu, Prince?” Ucap Teresa setelah berlari mengejarnya.
“Hm?” Balasnya dengan sangat singkat.
“Aku baru masuk ke tempat les ini, bisakah kau menjadi temanku di tempat ini?” Ucap Teresa dengan suara yang sangat imut.
“Oh oke” lagi-lagi Prince menjawabnya dengan singkat.
“Anu… Prince!” Ucap Teresa lagi.
“Hm?” Balasnya.
Teresa sedikit kesal dengan sikap acuh Prince kepadanya, bagaimanapun sebelumnya tidak ada yang berani mengabaikannya seperti sekarang. Diabaikan seperti ini membuat Teresa tidak nyaman.
“Bisa beritahu aku dimana kelas ini?” Ucap Teresa sembari memberikan detail kelas lesnya.
“Di sudut ruangan ini, disana ada kelas khusus murid baru” ucapnya.
Teresa mengangguk mengerti, dia menatap wajah Prince yang lebih dekat dengannya. Seperti sebuah waktu yang di perlambat, Tere merasa seperti terhipnotis dengan wajahnya yang tampan.
“Saat pulang nanti, bisakah kau menungguku?” Ucap Teresa memberanikan diri untuk mencuri kesempatan.
“Atas dasar apa aku harus menunggumu?” Ucapnya tanpa senyuman sedikitpun.
“Hah?” Respon alami Teresa saat mendengar jawaban Prince.
“Aku harus pergi sekarang” ucapnya dan pergi begitu saja meninggalkan Teresa yang masih menatapnya tak percaya.
•••
Pukul 20.30.
Les hari ini selesai lebih awal dari yang sudah di jadwalkan, membuat Teresa mempunyai waktu luang 30 menit sebelum supirnya menjemput. Dan waktu ini dia manfaatkan untuk mengajak Prince berbicara. Kebetulan kelas Teresa selesai lebih cepat dibandingkan kelas Prince.
Teresa berdiri di dekat sepeda milik Prince yang terparkir rapi di area khusus sepeda. Dia melihat bagaimana sepeda itu dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Karena penasaran, Teresa mengambil foto sepeda itu untuk mencari tau harga jualnya.
“Harganya terlalu mahal untuk ukuran sepeda” ucapnya setelah mengetahui harga sepeda milik Prince.
Tidak berselang lama Prince datang dengan ekspresi wajah khasnya, dia menatap Teresa sekilas sebelum dia menatap sepeda miliknya. Dan tanpa menyapa sedikitpun Prince membuka kunci sepedanya, dia mengabaikan Teresa yang jelas-jelas ada di dekatnya.
“Anu…Prince!” Panggil Teresa, terdengar sangat dipaksakan.
“Kenapa?” Jawabnya singkat tanpa menoleh sedikitpun.
“Bisa antar aku ke-“
“Tidak!” Prince menolaknya mentah-mentah bahkan sebelum Tere menyelesaikan ucapannya.
“Ahahahaha…” tawa palsu terdengar hampa.
Teresa menggigit bibir bawahnya menahan malu, ia menelan ludah dengan susah payah. Menarik nafas pelan, berusaha menenangkan diri. Sementara jemarinya gelisah memainkan ujung baju. Pipinya memanas, dengan cepat ia menutupnya dengan tangan.
“Aku pergi sekarang” ucap Prince hendak mengayuh sepedanya, tapi tangan Teresa memegangi tas ranselnya, membuat Prince nyaris terjatuh.
Prince menatap Tere geram, rahangnya mengeras tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Tere menatap matanya cepat, lalu langsung menghindar. Prince sampai turun dari sepedanya dan berkacak pinggang di depan Teresa yang gugup.
“Apa kau tertarik padaku?” Ucapnya, membuat Teresa salah tingkah.
“Tidak! Aku hanya ingin lebih akrab dengan teman sekelasku. Kau pasti tau jika aku baru pindah ke kota ini, aku tidak memiliki banyak kenalan” jelas Teresa, matanya sibuk menghindar dari tatapan mata Prince padanya.
“Oke aku mengerti. Jadi kau ingin aku mengantarmu kemana?” Tanyanya terlihat sangat terpaksa.
“Toserba yang ada di perempatan sana” ucap Teresa menunjuk arah dengan jari tangannya.
“Baiklah cepat naik!” Ucap Prince kembali menaiki sepedanya.
Teresa terdiam, dia kebingungan mencari dimana tempat duduknya. Ia memegangi bagian belakang sepeda milik Prince yang seharusnya ada tempat duduk disana, tapi dia tidak menemukan tempat duduk itu. “Dimana aku harus duduk Prince?” Tanya Teresa tak mengerti.
“Disini” ucapnya sembari menunjuk sebuah besi di bagian depan sepeda. Yang itu tandanya, punggung Teresa akan sangat berdekatan dengan Prince saat dia menaiki sepeda itu.
“Tapi aku memakai rok pendek” ucap Teresa memperlihatkan roknya.
Prince hanya melihatnya sebentar, lalu dia melepaskan tasnya, kemudian melepaskan jaketnya. Teresa kebingungan melihatnya, tapi kemudian Prince memberikan jaket itu padanya.
“Ikat ini untuk menutupi rok pendek itu” ucapnya melemparkan jaketnya ke Teresa.
Teresa menatap jaket berwarna hitam di tangannya, dia meremasnya kemudian menciumnya, ada bau harum di jaket ini. “Inikah aroma wangi khas Prince” batinnya.
Dengan senyum tipisnya, Teresa segera mengikat jaket itu di pinggangnya. Kemudian dia langsung naik ke sepeda Prince dengan ragu, bahkan jantungnya sudah berdegup lebih kencang saat wajah Prince berada sangat dekat dengannya.
“Berpegangan yang erat!” Ucapnya sebelum melajukan sepedanya.
“Oke Prince” gumam Teresa.
Angin yang menerpa wajah Teresa membuat rambut panjangnya tergerai kebelakang mengenai wajah Prince. Tangannya semakin kuat memegang stang sepeda saat ia mencium bau harum strawbery khas shampo seorang gadis muda dari rambut Teresa. Prince sesekali melihat kearah wajah Teresa yang selalu tersenyum saat melihat pemandangan di malam hari dari atas sepeda bersamanya.
Sampai pada akhirnya mereka sampai di toserba yang di maksud Teresa. Prince menghentikan sepedanya tepat di depan toserba itu, sementara Teresa langsung turun dari sepedanya. Mulutnya baru terbuka bermaksud untuk mengatakan sesuatu, tapi Prince langsung pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun padanya.
“Prince!! Jaketmu!” Teriak Teresa dengan sangat keras, tapi suara kendaraan mengalahkan suaranya. Prince melaju cepat mengayuh sepedanya.
“Benar-benar Ice Prince!”
“Aku akan mengembalikan jaketnya besok”
Teresa melepaskan jaket yang mengikat di pinggangnya. Tanpa sadar dia tersenyum saat menatap jaket berwarna hitam itu, sementara tangannya reflek memegangi dadanya yang berdegup kencang.
“Ada apa denganku?” Batinnya.
...----------------...