Dijodohkan? Kedengarannya kayak cerita jaman kerajaan dulu. Di tahun yang sudah berbeda ini, masih ada aja orang tua yang mikir jodoh-jodohan itu ide bagus? Bener-bener di luar nalar, apalagi buat dua orang yang bahkan gak saling kenal kayak El dan Alvyna.
Elvario Kael Reynard — cowok paling terkenal di SMA Bintara. Badboy, stylish, dan punya pesona yang bikin cewek-cewek sampai bikin fanbase gak resmi. Tapi hidupnya yang bebas dan santai itu langsung kejungkal waktu orang tuanya nge-drop bomb: dia harus menikah sama cewek pilihan mereka.
Dan cewek itu adalah Alvyna Rae Damaris — siswi cuek yang lebih suka diem di pojokan kelas sambil dengerin musik dari pada ngurusin drama sekolah. Meskipun dingin dan kelihatan jutek, bukan berarti Alvyna gak punya penggemar. Banyak juga cowok yang berani nembak dia, tapi jawabannya? Dingin banget.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Kritis
Drap Drap Drap
Langkah kaki jenjang yang masih terbalut kaos kaki putih dan sepatu limited edition biru muda itu berlari cepat menyusuri lorong rumah sakit. Suara gesekan sol sepatunya menggema di lantai granit, menyatu dengan hiruk-pikuk khas rumah sakit. Suara monitor berdenting, perawat yang lalu-lalang, dan pengumuman dari pengeras suara.
Rambut panjang kecokelatan yang diikat kuda ikut terayun ke sana kemari mengikuti gerak tubuhnya. Nafasnya tersengal, tapi langkah kakinya tak mau berhenti.
Alvyna gadis itu masih mengenakan seragam sekolah lengkap dengan dasi dan name tag SMA Bintara. Sejak turun dari motornya di area parkir, ia langsung berlari tanpa peduli siapa pun yang ia lewati. Pandangannya tertuju pada satu titik yaitu pintu kaca bertuliskan "UNIT GAWAT DARURAT."
Dan di sanalah dia.
Langkahnya terhenti matanya langsung menangkap sosok wanita paruh baya yang tampak mondar-mandir di depan pintu dengan ekspresi cemas. Manda mama dari El, sekaligus sahabat dekat almarhum ayahnya dan juga sahabat dari mama Alvyna.
"Tante! Gimana Mama? Mama aku kenapa?!" suara Alvyna terdengar panik, napasnya tak teratur, wajahnya penuh kecemasan saat menghampiri Manda.
Manda sontak menoleh. Wajahnya menunjukkan kegelisahan nyata, matanya sembab seolah sudah menahan tangis sejak lama. "Alvyna, tenang dulu sayang. Ayo duduk dulu ya? Dokter masih menanganinya di dalam. Kita tunggu sebentar lagi ya," ucapnya lembut, menggandeng Alvyna menuju bangku panjang yang dingin di tepi lorong.
"Tapi... tapi kenapa bisa sampai masuk rumah sakit lagi, Tante? Mama baru pulang dari rumah sakit kan? Apa jantungnya kambuh lagi? Atau..." kalimatnya menggantung. Suaranya melemah. Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya menetes juga membasahi pipinya.
Manda menarik napas pelan, lalu menjelaskan dengan suara bergetar. "Tante juga gak tau pasti, sayang. Tadi Tante main ke rumah, mau ngobrol-ngobrol. Eh pas masuk, malah lihat mama kamu udah pingsan di dekat tangga..."
Deg
Jantung Alvyna seolah melompat dari tempatnya. Pingsan? Di dekat tangga? Pikiran buruk langsung memenuhi kepalanya. Apa Mama jatuh? Apa kepalanya terbentur? Apa...
"Apa mama jatuh? Terus sekarang gimana? Mama kenapa Tan?!" suaranya meninggi, air matanya mengalir makin deras. Tubuhnya mulai gemetar tak mampu lagi berpikir jernih.
Manda tanpa ragu langsung berdiri dan memeluk Alvyna erat. Ia mengusap kepala gadis itu dengan lembut, mencoba menenangkannya. "Tenang sayang. Mama yakin mama kamu gak kenapa-kenapa. Kita doakan yang terbaik ya."
Dalam hati, Alvyna berdoa dalam diam. Berkali-kali dengan suara yang tak terdengar hanya bisa berharap.'Tuhan, jangan ambil mama dariku.'
Beberapa menit yang terasa seperti seumur hidup pun berlalu. Denting jam dinding semakin terdengar nyaring di telinganya.
Tak lama kemudian, langkah tergesa dari arah tangga mendekat. Raditya papa El, muncul dengan napas memburu. Menyusul beberapa saat setelahnya, El datang dengan wajah panik dan seragam sekolah yang masih berantakan.
"Ma gimana kondisi Bu Sarena?" tanya Raditya langsung sambil menghampiri istrinya.
Manda menggeleng lemah. "Masih ditangani dokter Pa. Kita cuma bisa berdoa sekarang."
El menoleh ke kiri dan melihat Alvyna yang duduk lemas di bangku dengan wajah penuh air mata. Wajahnya menyiratkan kebingungan.
"Loh dia juga di sini? Siapa yang sakit? Mama gue gak apa-apa kan?" batinnya bertanya, penuh kecemasan.
Namun sebelum satu pun dari pertanyaan itu sempat terjawab, pintu UGD terbuka. Seorang dokter paruh baya dengan jas putih dan name tag bertuliskan Dr. Faris melangkah keluar dengan wajah serius.
Alvyna langsung berdiri dan menghampiri.
"Dok gimana kondisi mama saya? Apa mama saya baik-baik aja?!" tanyanya terburu-buru, matanya memohon.
Dr. Faris menarik napas dalam sebelum menjawab, "Nona, berdasarkan hasil pemeriksaan, ibu Anda tidak mengonsumsi obat-obatan yang kami resep kan beberapa hari terakhir. Selain itu beliau mengalami benturan cukup parah di kepala, kemungkinan besar akibat terjatuh sebelum pingsan. Saat ini beliau dalam kondisi kritis dan harus segera dipindahkan ke ICU untuk penanganan lebih intensif."
Jleb
Kata ‘kritis’ menggema di kepala Alvyna. Napasnya tercekat tubuhnya seperti kehilangan tenaga.
"A-apa? K-kritis?" suaranya bergetar. Pandangannya mulai mengabur dunia di sekitarnya terasa berputar. Dan dalam hitungan detik tubuhnya ambruk tak sadarkan diri.
"ALVYNA!!" teriak Manda panik.
Untung saja El yang berdiri tak jauh langsung bergerak cepat dan menangkap tubuh Alvyna sebelum benar-benar menghantam lantai. Ia menahan tubuh gadis itu, menggendongnya dalam posisi bridal style tanpa pikir panjang.
"Dok bantuin! Dia pingsan!" teriak El panik.
Beberapa suster langsung bergerak cepat, membuka pintu menuju ruang perawatan. El mengikuti mereka sambil masih menggendong Alvyna yang tak sadarkan diri.
Sementara itu, Manda menatap Dr. Faris dengan mata berkaca-kaca. "Tolong lakukan yang terbaik, Dok. Saya mohon selamatkan sahabat saya."
Dr. Faris menatap Manda dengan tenang dan penuh empati. "Kami akan berusaha semaksimal mungkin, Bu. Mohon bantu doanya."
Di ruangan lain yang lebih tenang, Alvyna kini terbaring di atas ranjang periksa. Selimut rumah sakit menutupi tubuhnya yang masih berseragam. Selang infus terpasang di tangan kirinya.
El duduk di kursi di sebelah ranjang, menatap wajah pucat gadis itu. Tangannya mengepal di pangkuan, bingung sendiri dengan rasa khawatir yang kini mendominasi hatinya. Gadis yang biasanya jutek, galak, bahkan suka mencuekinya kini terbaring lemah. Dan anehnya, itu bikin napasnya sendiri sesak.
"Engh..." Alvyna mulai bergerak pelan. Tangannya meraih kepala yang terasa berat dan nyeri. El langsung berdiri reflek mendekat.
"Pelan-pelan. Lo baru pingsan tadi," ucapnya lembut sambil menopang tubuh Alvyna agar bisa duduk bersandar.
Alvyna membuka mata perlahan. Pandangannya masih buram. "Mana mama gue?" tanyanya cepat. Suaranya serak tapi nadanya penuh ketegangan.
"Masih ditangani dokter. Kata mereka mau dipindahin ke ICU," jawab El pelan.
Deg
Alvyna terdiam. Jadi semua itu bukan mimpi? Bukan sekadar bayangan buruk? Ini nyata?Tangannya mengepal erat di atas selimut. Rasanya seperti ditampar kenyataan matanya kembali memanas.
El menarik napas panjang lalu berkata pelan, "Gue tahu ini berat banget buat lo. Tapi lo harus kuat. Nyokap lo juga pasti lagi berjuang di dalam sana. Kita doain bareng-bareng ya?"
Alvyna menoleh pelan, menatap El dengan mata yang masih berkaca-kaca. Bingung dan kaget serta tak percaya.
Dia? Tunangan dadakannya? Cowok yang bikin hari-harinya berantakan? Sekarang justru jadi orang pertama yang menenangkan dia?
Dunia benar-benar aneh. Tapi di saat seperti ini, justru genggaman tangan yang tenang itu terasa seperti satu-satunya pelampung di tengah badai yang tak henti menggulung. Dan untuk pertama kalinya. Alvyna merasa bersyukur El ada di sana.