Tanpa perlu orang lain bicara, Aya sangat menyadari ketidaksempurnaan fisiknya.
Lima tahun lamanya, Cahaya bekerja di kota metropolitan, hari itu ia pulang karena sudah dekat dengan hari pernikahannya.
Namun, bukan kebahagiaan yang ia dapat, melainkan kesedihan kembali menghampiri hidupnya.
Ternyata, Yuda tega meninggalkan Cahaya dan menikahi gadis lain.
Seharusnya Cahaya bisa menebak hal itu jauh-jauh hari, karena orang tua Yuda sendiri kerap bersikap kejam terhadapnya, bahkan menghina ketidaksempurnaan yang ada pada dirinya.
Bagaimanakah kisah perjalanan hidup Cahaya selanjutnya?
Apakah takdir baik akhirnya menghampiri setelah begitu banyak kemalangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Memulai
.
Setelah berbelanja berbagai pernak-pernik yang dibutuhkan oleh Aya, mereka pun pulang. Mobil melaju membelah jalanan kota yang mulai ramai. Aya sesekali melirik ke arah Marcel yang fokus menyetir. Jantungnya masih berdebar-debar sejak kejadian di mall tadi. Genggaman tangan Marcel masih terasa jelas di benaknya.
"Aya," panggil Marcel tiba-tiba.
"I-iya, Tuan Muda?” Aya tersentak kaget.
"Gimana kalau kita mampir ke taman sebentar?" ajak Marcel sambil melirik ke arah Aya.
Aya mengerutkan keningnya. "Mampir ke taman? Tapi, Tuan Muda. Tidak enak rasanya kalau saya kelamaan di luar," tolak Aya halus.
Marcel tersenyum. "Tenang saja, Mama tidak akan marah. Kan aku yang ngajak kamu. Lagian, aku juga pengen refreshing sebentar. Udah lama nggak ke taman," bujuk Marcel. Dalam hati, ia benar-benar ingin menggunakan kesempatan ini untuk bisa berdua saja dengan Aya. Tidak masalah baginya, walaupun Aya tidak menaruh hati padanya, bahkan mungkin tidak mengerti dengan perasaannya. Biarlah dia saja yang mencintai Aya.
Aya masih ragu. "Tapi, Tuan Muda..."
"Ayolah, Aya. Sebentar saja. Aku janji, setelah itu kita langsung pulang," potong Marcel dengan nada memohon.
Aya menghela napas. Ia tidak bisa menolak permintaan Marcel. Apalagi, ia juga merasa sedikit lelah setelah berbelanja tadi. "Baiklah, Tuan Muda," jawab Aya akhirnya.
Marcel tersenyum lebar. "Nah, gitu dong!"
Mobil pun berbelok arah menuju ke sebuah taman kota. Taman itu tampak asri dengan pepohonan yang menjulang tinggi dan bunga-bunga yang bermekaran. Beberapa anak-anak terlihat bermain riang.
Marcel memarkirkan mobilnya di tempat parkir yang tersedia. Ia kemudian membukakan pintu mobil untuk Aya.
"Silakan, Nona," ucap Marcel sambil tersenyum jahil.
Blush…
Lagi-lagi tindakan Marcel membuat wajah Aya bersemu merah. "Terima kasih, Tuan," balasnya.
Mereka berdua berjalan berdampingan menyusuri jalan setapak di taman itu. Suasana taman yang sejuk dan tenang membuat hati Aya merasa lebih nyaman. Walaupun ia masih merasa canggung, namun rasa hangat menyelimuti hatinya.
"Kamu suka taman ini, Aya?" tanya Marcel.
Aya mengangguk. "Suka, Tuan Muda. Udaranya segar," jawabnya.
"Dulu, aku sering ke sini waktu kecil. Main sama teman-teman. Main bola, kejar-kejaran. Yang kami ingat hanya main. Belum tahu masalah hidup. Satu-satunya masalah besar bagi kami hanya PR matematika.” Terkekeh setelah bercerita. Nostalgia yang begitu indah.
Aya mendengarkan cerita Marcel dengan seksama. Ia baru tahu, tuan mudanya itu ternyata memiliki sisi yang hangat dan menyenangkan.
Mereka berdua terus berjalan hingga sampai di sebuah bangku taman yang kosong. Marcel mengajak Aya untuk duduk di bangku itu.
"Duduk sini, Aya. Kita istirahat sebentar," ajak Marcel.
Aya menurut. Ia duduk di samping Marcel dengan canggung. Jantungnya kembali berdegup kencang.
"Tunggu sebentar ya," ujar Marcel tiba-tiba sambil bangkit berdiri. "Aku lihat ada penjual jajanan ringan di sana. Kayaknya enak."
Aya mengerutkan keningnya. "Tidak usah, Tuan Muda. Saya tidak lapar," tolak Aya halus.
"Nggak apa-apa. Buat teman ngobrol. Kamu tunggu di sini saja, ya," kata Marcel sambil tersenyum. Tanpa menunggu jawaban Aya, ia berlari kecil ke arah penjual jajanan ringan yang berada tak jauh dari tempat mereka duduk.
Aya hanya bisa menatap kepergian Marcel dengan bingung. Ia tidak mengerti, mengapa tuan mudanya itu begitu perhatian padanya.
Tak lama kemudian, Marcel kembali dengan membawa dua kantong plastik berisi jajanan dan minuman dingin, lalu menempatkannya di bangku di tengah-tengah mereka dan membukanya.
“Kenapa membeli jajanan sebanyak ini?” Mata Aya terbelalak melihat apa yang dibawa oleh Marcel.
“Tiba-tiba ingin. Dulu waktu kecil aku jarang, hampir tidak pernah membeli jajanan seperti ini. Kalau beli nyuri-nyuri waktu pas di sekolah. Soalnya kalau ketahuan mendiang Oma pasti dimarahi. Tidak sehat katanya.”
Aya memasukkan jajanan ke dalam mulut sambil menatap wajah pria itu. Entah apa yang membuatnya merasa iba. Tapi sedikitnya ia paham. Masa kecil anak orang kaya jelas tidak sebebas anak kecil dari kalangan rakyat jelata.
Marcel menoleh ke arah Aya. Ia menatap wajah gadis itu dengan tatapan lembut.
"Aya," panggil Marcel lirih.
Aya gelagapan seperti ketahuan mencuri. I iy-ya, Tuan Muda?”
"Aku..." Marcel menggantungkan kalimatnya. Ia merasa gugup untuk mengungkapkan perasaannya.
Aya menunggu Marcel melanjutkan kalimatnya. Jantungnya semakin berdebar-debar.
"Aku senang bisa jalan-jalan sama kamu hari ini," ucap Marcel akhirnya. Ia tidak berani mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Ia takut, Aya akan menolaknya.
Aya tersenyum. "Saya juga senang, Tuan Muda," balasnya.
"Makasih ya, sudah mau nemenin aku hari ini," ucap Marcel tulus.
Aya tertawa canggung. “Kenapa harus berterima kasih. Justru saya yang harusnya berterima kasih karena Tuan Muda bersuaah-susah mengantar saya," ucapnya.
Marcel dan Aya saling bertatapan. Tanpa sadar benang-benang merah mulai menjalar menjerat mereka.
*
*
*
Setelah puas menikmati suasana taman, keduanya pulang. Setibanya di rumah, Aya langsung menghampiri Nyonya Syifana untuk menunjukkan bahan-bahan yang telah dibelinya.
"Nyonya, ini bahan-bahan yang tadi saya beli," ucap Aya sambil meletakkan kantong belanjaan di atas meja. “Dan ini kartu Nyonya,” lanjutnya.
Nyonya Syifana menerima kembali kartunya lalu melihat-lihat isi kantong belanjaan dengan seksama. "Wah, lengkap sekali. Kamu memang pintar memilih bahan, Aya," puji Nyonya Syifana.
Aya tersenyum senang mendengar pujian Nyonya Syifana. "Terima kasih, Nyonya," ucapnya.
“Ya sudah, kamu istirahat sana dulu, habis istirahat baru mulai buat!” titah Nyonya Syifana.
“Saya tidak lelah kok, Nyonya. Tadi juga istirahat lama di taman.”
Kening nyonya Syifana berkerut, menatap dengan mata memicing penuh selidik. Istirahat di taman? Pantas saja mereka lama. Jadi, putranya mengajak Aya kencan dulu?
“Hah,,, ya sudahlah, terserah kamu saja. Tapi jangan terlalu memforsir diri. Kamu harus bisa menjaga kondisi tubuhmu sendiri.”
“Baik, Nyonya. Kalau begitu saya permisi dulu.” Aya berniat undur diri.
“Simpan semua peralatan dan semua bahan kerajianmu di ruang kosong yang ada di sebelah perpustakaan! Kamu bisa mengerjakan semuanya di sana. Jangan di kamar,” ucap nyonya Syifana sebelum Aya berlalu.
Aya sedikit terkejut karena merasa diberi keistimewaan. Tapi kemudian berpikir, mungkin karena yang akan dikerjakannya ini nanti untuk ditunjukkan pada ibu-ibu arisan.
*
*
*
Cahaya dengan tekun mengerjakan pembuatan tas dari bahan gelas plastik. Gelas plastik itu dengan sengaja ia beli di toko peralatan plastik yang ada di mall tadi. Tidak mungkin baginya harus mencari gelas plastik bekas karena waktunya yang sudah mepet.
Jemarinya dengan lincah menggunting dan merangkai lingkaran-lingkaran tersebut menggunakan benang kur.
“Aya,,,?” Mbak Tina dan Mbak Rani datang dengan nampan di tangan.
“Ehh, Mbak?” Aya menoleh kaget.
“Nih aku bawain cemilan!” Tina meletakkan nampan di dekat cahaya lalu ikut duduk di lantai.
“Kamu itu kalo lagi ngerjain sesuatu pasti lupa makan, Ay…!” tegur Rani yang juga ikut duduk. Tangannya mengambil sesuatu yang baru dikerjakan oleh Aya.
“Hehehe… maaf ya Mbak. Kok malah merepotkan. Padahal nanti juga kalo aku lapar bisa ambil sendiri.” Cahaya merasa tak enak hati.
“Gak papa. Lagian tugas bagianku sudah selesai.”
“Ada yang bisa aku bantuin, gak, Ay? Aku juga mau dong sambil belajar.” Rani masih membolak-balik apa yang dia pegang. Tina pun mengangguk antusias.
“Emangnya gak papa, Mbak?”
“Gak papa. Tugasku juga sudah selesai.”
“Ya udah deh. Asal gak ngrepotin Mbak Tina sama Mbak Rani aja.”
Aya pun dengan telaten menunjukkan apa yang bisa mereka kerjakan. Tina dan Rani juga terlihat bersungguh-sungguh dalam membantu sekaligus belajar.
Dalam waktu satu jam, mereka menghasilkan satu badan tas. Tinggal menyempurnakan dengan menambahkan kain furing dan resleting di bagian dalam serta tangkai pegangan.
“Wah, aku bisa.” Mbak Tina berseru girang.
“Tapi belum rapi seperti buatan mu, Ay.” Mbak Rani terlihat sendu.
“Namanya juga baru belajar, Mbak. Lama-lama pasti lebih bagus.”
.
. cuit cuit