Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SIDANG PENENTUAN
Udara pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Langit mendung tipis, seolah menyimpan hujan yang belum turun. Maya duduk di tepi ranjangnya, memandangi tumpukan berkas yang semalam sudah ia rapikan. Tangan mungilnya mengusap pelan kepala Nayla yang masih terlelap di sampingnya. Perutnya terasa kencang, bukan karena lapar, tapi karena ketegangan yang semakin dekat. Hari ini, langkahnya akan kembali menapak ke ruang sidang.
Ia menarik napas panjang, lalu memandang jam di dinding. Pukul 06.00. Masih ada waktu sebelum harus berangkat.
Pelan-pelan ia membangunkan Nayla.
"Ayo sayang, bangun. Hari ini kamu main sama Tante Rani ya."
Nayla mengerjap, menguap kecil. "Mama kerja lagi?"
"Enggak, Mama ada urusan penting. Tapi kamu jangan khawatir, Tante Rani bakal jagain kamu sampai Mama pulang."
Nayla hanya mengangguk, masih setengah mengantuk.
Setelah memandikan dan menyiapkan sarapan sederhana untuk Nayla, Maya mengetuk pintu kamar Rani di kos sebelah. Rani, yang sudah tahu situasinya, tersenyum tipis sambil mempersilakan Nayla masuk.
"Tenang aja, aku jagain dia. Kamu fokus ke sidang. Jangan biarin dia menang di depan hakim."
Maya menatap Rani lama, seperti ingin memastikan semuanya aman. "Kalau ada apa-apa, kabarin aku langsung."
"Aku ngerti, May. Udah sana. Kamu nggak bisa telat hari ini."
Sebelum meninggalkan kos, Maya sempat kembali ke kamarnya. Ia mengambil ponsel, lalu mengetik pesan pada Bu Ina.
"Bu, jadi ikut ke pengadilan, kan? Saya tunggu di depan gang jam tujuh."
Tak butuh waktu lama, balasan datang.
"Iya, Nak. Ibu udah siap. Kita sama-sama berangkat."
...----------------...
Tepat pukul 07.00, Maya melihat sosok Bu Ina berdiri di ujung gang. Perempuan paruh baya itu mengenakan kebaya sederhana warna krem dan jilbab polos. Meski langkahnya pelan, sorot matanya teguh.
"Siap, Bu?" tanya Maya sambil tersenyum menahan gugup.
"Siap, Nak. Kita harus ceritakan yang sebenar-benarnya. Supaya mereka tahu siapa yang benar."
Maya mengangguk. "Hari ini mungkin panjang, Bu."
"Enggak apa-apa. Ibu lihat sendiri kamu dan Nayla selama ini. Kalau ada yang mau memisahkan kalian, Ibu nggak akan diam."
Mereka pun berjalan menuju jalan besar, menunggu taksi online yang sudah Maya pesan. Sepanjang perjalanan menuju pengadilan, Maya beberapa kali melirik Bu Ina, merasa lega ada seseorang di pihaknya.
Mobil melaju, melewati padatnya lalu lintas pagi. Maya menggenggam berkas erat-erat. Pikirannya melayang ke Reza—lelaki yang hampir empat tahun meninggalkannya bersama Nayla tanpa kabar, lalu tiba-tiba kembali menuntut hak asuh.
Hari ini, ia siap menghadapi apapun. Bahkan jika itu berarti membuka semua luka lama di depan semua orang.
...----------------...
Ruang sidang Pengadilan Agama itu terasa sesak meski udara dari pendingin ruangan berhembus pelan. Deretan bangku kayu penuh dengan orang yang menunggu giliran perkara. Maya duduk di barisan depan bersama Bu Ina, berkas di pangkuannya, jemarinya saling menggenggam erat.
Di sisi lain, Reza sudah duduk dengan setelan jas gelap yang tampak rapi, senyum tipis di bibirnya seperti merasa sudah memenangkan pertempuran sebelum dimulai.
Pintu samping terbuka, Adrian Lesmana masuk bersama asistennya. Tegap, berwibawa, dan dingin seperti biasa. Tatapannya hanya singgah sebentar pada Maya sebelum ia duduk di kursi kuasa hukum. Aura tenangnya justru membuat Maya merasa sedikit lebih kuat.
Hakim memasuki ruangan, palu diketuk tiga kali.
"Sidang perkara hak asuh anak antara Saudari Maya dan Saudara Reza dinyatakan dibuka," ucap hakim dengan suara tegas.
Reza langsung mengangkat dagunya. "Yang Mulia, saya sebagai ayah kandung merasa berhak atas pengasuhan anak saya. Ibu dari anak saya ini—" ia menoleh ke Maya dengan nada meremehkan, "—sudah tidak mampu memberi lingkungan yang layak."
Maya hendak membalas, tapi Adrian memberi isyarat halus agar ia diam.
"Yang Mulia," Adrian mulai berbicara dengan nada dingin dan rapi, "kami akan membuktikan bahwa klien saya, Maya, selama ini merawat anak tersebut dengan penuh tanggung jawab, tanpa dukungan materi maupun emosional dari pihak ayah kandung."
Hakim mengangguk. "Silakan ajukan saksi."
Adrian berdiri. "Kami memanggil Ibu Ina, tetangga yang tinggal berdampingan dengan klien saya selama tiga tahun terakhir."
Bu Ina maju ke depan, bersumpah sesuai aturan, lalu duduk. Tangannya tenang, matanya menatap hakim lurus.
"Ibu Ina," tanya Adrian, "bisa jelaskan pada majelis hakim bagaimana keseharian Maya dan anaknya selama ini?"
"Saya lihat sendiri, Yang Mulia," jawab Bu Ina lantang. "Nayla diasuh, disekolahkan, diberi makan cukup. Maya lah yang bangun pagi, masak, antar sekolah, dan kalau sakit dia yang begadang. Bapak Reza ini? Nggak pernah saya lihat menjenguk atau kirim uang. Tahu-tahu muncul minta anak dibawa."
Reza tampak kesal, mengetuk meja pelan. "Itu tidak benar—"
Hakim menatap tajam. "Saudara, tunggu giliran bicara."
Adrian mengangguk kecil lalu melanjutkan. "Ibu Ina, apakah Anda mengetahui status hukum antara Maya dan Reza saat ini?"
Bu Ina menghela napas. "Setahu saya, mereka belum bercerai secara resmi. Surat nikah masih ada, dan nggak pernah saya dengar mereka sidang perceraian."
Ruangan sidang mendadak hening. Beberapa orang di bangku belakang saling berbisik.
Hakim menoleh pada Reza. "Apakah benar Anda dan Maya masih terikat perkawinan sah?"
Reza terdiam sejenak, lalu mengangguk enggan. "Iya, Yang Mulia. Tapi kami sudah lama berpisah."
Adrian menyambar kesempatan. "Berarti, klaim bahwa anak harus dipindahkan karena ‘ketidaklayakan moral’ ibu menjadi tidak berdasar, karena Saudara Reza tidak pernah mengajukan perceraian ataupun pembatalan hak asuh sebelumnya."
Hakim mencatat sesuatu, lalu berkata, "Baik. Sidang akan dilanjutkan dengan mendengarkan saksi berikutnya dan bukti tertulis."
Maya menatap ke bawah, matanya panas. Tapi kali ini bukan karena takut—melainkan karena sedikit rasa lega. Setidaknya, satu kebenaran penting sudah keluar di ruang sidang itu.
kamu harus jujur maya sama adrian.