Sebuah kota dilanda teror pembunuh berantai yang misterius.
Dante Connor, seorang pria tampan dan cerdas, menyembunyikan rahasia gelap: dia adalah salah satu dari pembunuh berantai itu.
Tapi, Dante hanya membunuh para pendosa yang lolos dari hukum.
Sementara itu, adiknya, Nadia Connor, seorang detektif cantik dan pintar, ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuh berantai ini.
Nadia semakin dekat dengan kebenaran.
Ketika Nadia menemukan petunjuk yang mengarah ke Dante, dia harus memilih: menangkap Dante atau membiarkannya terus membunuh para pendosa...
Tapi, ada satu hal yang tidak diketahui Nadia: pembunuh berantai sebenarnya sedang berusaha menculiknya untuk dijadikan salah satu korbannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dev_riel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dante VS Brian
"Sudah aku duga kamu pasti begini. Akan aku tembak kalian berdua, atau mungkin tiga-tiganya sekaligus," Ujar Sofia melirik Nadia, lalu kembali padaku.
"Kalau saja Sersan Daniel melihat ini. Ternyata dia benar tentang dirimu." Ujar Sofia lagi melihat pisau di tanganku.
Pistol di tangannya mengambang terhunus ke arahku selama beberapa detik.
Waktu sekejap itu kiranya cukup buat Brian melesat menghadang. Lebih cepat dari yang aku kita. Tetap saja, Sofia sempat melepas tembakan. Brian sedikit terhuyung, namun sukses menghujamkan pisau ke diafragma lawan. Sejenak mereka berdiri diam, lalu ambruk ke tanah. Tidak bergerak.
Genangan darah mulai merebak di lantai, bercampur antara Sofia dan Brian. Aku refleks mundur dua langkah ke belakang tapi terbentur sesuatu sampai terdengar lenguhan tertahan seiring kepanikanku sendiri.
Nadia. Kusobek plester plastik pembebat mulutnya.
"Aduuuh!! Sakit! Demi Tuhan, lepaskan aku dari sini dan hentikan berakting seperti orang gila." Jerit Nad.
Aku menatap Nadia. Plester plastiknya membekaskan lingkaran darah di sekitar bibir. Darah yang melemparku kembali memejamkan mata dan masuk ke kontainer di masa lalu bersama ibuku.
Dia terbaring di sana, persis seperti ibu. Persis seperti saat itu, ketika embusan angin dingin membuat bulu kudukku merinding dan bayangan-bayangan gelap riuh bercakap-cakap di sekelilingku. Persis ketika ibu berbaring terbungkus plastik, melotot dan kaku menunggu seperti...
"Berengsek! Sadarlah. DANTE!" Maki Nadia.
Tapi kenapa kali ini aku memegang pisau, dan dia masih tidak berdaya. Aku bisa mengubah segalanya sekarang, kalau mau. Aku bisa...
"Dante?" Ibu memanggil.
Maksudku Nadia. Pasti itu maksudku. Bukan ibu yang telah meninggalkan kami---aku dan Brian, di tempat mengerikan ini. Meninggalkan kami di tempat semua ini berawal dan kini akan segera berakhir, lengkap dengan semangat.
Lakukan---lakukan sekarang---lakukan dan semua akan berubah jadi sebagaimana mestinya---kembali bersama...
"Ibu?" Panggilku.
"Dante, bangun!" Seru Nadia. Tapi kenapa pisau di tanganku malah bergerak?
"Dante! Demi Tuhan, hentikan! Ini aku! Nad!"
Aku menggelengkan kepala. Tentu saja ini Nadia, tapi aku tidak sanggup menghentikan pisau yang terus bergerak naik.
"Aku tau, Nad. Aku sungguh minta maaf."
Pisau merayap makin tinggi. Aku hanya mampu menonton. Tidak bisa menyetop tanganku bergerak sendiri. Dorongan dari masa lalu dalam wujud Victor menyuruhku berhenti, tapi begitu kecil dan lemah.
Sementara kebutuhan membunuhku begitu kuat, jauh lebih kuat dari sebelumnya.
Menjadi awal sekaligus akhir. Mengangkatku keluar dari cangkang sedemikian rupa, lalu menghempas ke lorong pertarungan batin antara si bocah dalam genangan darah dan kesempatan terakhir untuk bertindak benar.
Sungguh, ini akan mengubah segalanya---melampiaskan dendamku terhadap ibu dengan menunjukkan akibat perbuatannya. Mestinya ibu menyelamatkan kami. Kali ini harus beda. Bahkan Nad juga harus tau.
"Letakkan pisau itu, Dante," suara Nad lebih tenang sekarang, tapi suara lainnya jauh lebih kuat, aku nyaris tidak bisa mendengar yang lain. Setengah mati kucoba meletakkan pisau, tapi hanya mampu bergeser beberapa inci.
"Maaf Nad. Aku tidak sanggup mencegah," Kataku lemah.
Berjuang mengeluarkan suara sementara huru-hara di sekeliling bak terjangan badai hasil dendam kesumat dua puluh lima tahun. Apalagi sekarang ditambah kehadiran kakakku.
Suara Brian berdesis, "Dasar Jalang!"
Pisau di tanganku makin tertarik naik, makin tinggi...
Suara berisik datang dari lantai. Sofia? Entah. Peduli amat. Aku harus menyelesaikan ini. Harus kulakukan sekarang juga.
"Dante, aku adikmu. Kamu tidak mungkin lakukan ini padaku. Apa kata Ayah nanti?" Seru Nad.
Kuakui, fakta ini menyakitkan, tapi...
"Letakkan pisaunya, Dante!"
Suara lain di belakangku, dan suara lirih kecil. Pisau di tanganku terangkat maksimal.
"Dante, awas!" Seru Nadia. Aku menengok.
Detektif Sofia tengah berlutut bersandar satu kaki, tersengal-sengal, gemetar mengangkat pistol yang mendadak jadi begitu berat. Moncongnya naik perlahan-lahan, naik dan terus naik---mengarah ke kakiku, lutut...
Apa ada bedanya sekarang? Karena ini akan tetap terjadi. Pun, saat kulihat jemari Sofia mengencang di pelatuk pistol dan pisau di tanganku tidak juga lepas.
"Dia mau menembak kamu, Dan!" Seru Nadia, terdengar panik.
Wajah Sofia tegang menahan konsentrasi dan usaha kerasnya. Tampaknya dia memang berniat menembakku. Tubuhku setengah berputar ke arahnya, tapi pisau masih terus turun hendak menghujam ke arah...
"Dante!" Seru Nadia di meja.
Melesat ke depan, mencengkeram tangan dan mengarahkan pisau ke...
"Dan...!"
"Kamu anak yang baik, Dante," bisik Victor dengan suara hantunya yang selirih kabut, namun cukup untuk membuat pisau itu kembali naik.
"Aku tidak sanggup menahan diri," bisikku menjawab. Makin terkuasai oleh gerakan pisau.
"Pilihan apa... atau SIAPA... yang akan kamu bunuh," Ujarnya dengan tatapan tajam tanpa batas yang kini menatap lewat mata Nadia. Cukup kuat untuk mendorong pisau itu menjauh satu sentimeter.
"Banyak orang yang pantas dibunuh, Dante," bisik Victor begitu lembut, mengatasi deru angkara murka yang menguasai bagai amukan iblis gila.
Ujung pisau bergetar berhenti.
Di belakang, terdengar suara serak, berdebam keras, lalu lenguhan seseorang meregang nyawa.
Aku berbalik.
Sofia terkulai dengan tangan yang memegang pistol terpentang terhujam ke tanah oleh pisau Brian. Bibir bawahnya mendesis, matanya menyala menahan sakit. Brian berlutut di sampingnya, menikmati ketakutan merayapi wajah sang Detektif.
"Kita tuntaskan sekarang, Dik?" Dia berkata.
"Aku... aku tidak bisa." Jawabku lemah.
Brian bangkit di hadapanku dengan tubuh sempoyongan.
"Tidak bisa? Aku tidak kenal kata itu." Dia menyambar pisau di tanganku. Tidak sanggup aku cegah. Tubuhku seperti mati rasa.
Matanya menatap Nadia sekarang, namun suaranya terus melecut.
"Harus, Adikku. Harus! Tidak ada cara lain."
Brian tersengal menghirup napas dan membungkuk sejenak. Lalu menegakkan tubuhnya, seiring dengan kedua lengan terangkat bersama pisau.
"Haruskah kuingatkan padamu betapa pentingnya keluarga?"
"Tidak," Kataku tulus, teringat dua keluarga yang kumiliki saat ini, hidup maupun mati. Mendorong antara melakukan dan tidak melakukan.
Satu bisikan pamungkas dari Victor menderu dalam kenangan. Kepalaku menggeleng sendiri, lalu mulut.
"Tidak! Aku tidak bisa. Jangan Nadia." Kali ini aku bersungguh-sungguh.
Brian menatap muram. "Sayang sekali. Aku kecewa."
Pisau meluncur turun.
*****
Aku tahu betapa konyolnya kelemahan manusia yang satu ini, bahkan mungkin tak lebih dari sekedar kompensasi sentimentalitas, tapi aku selalu suka acara pemakaman.
Pertama, karena acara ini selalu bersih, begitu rapi, dan ditata apik serta hati-hati dalam serangkaian upacara khas. Terlebih pada pemakaman kali ini---ada baris demi baris petugas polisi pria dan wanita dalam seragam, tampak khidmat dan rapi, berkesan---seperti upacara.
Ada ritual salut dengan senapan pula, pelipatan berdera kebangsaan dengan rapi dan hati-hati, semua ditunjukkan sebagai penghormatan pada almarhum.
Wanita itu memang salah satu dari kami, anggota Kepolisian Department of Occult Investigation.
Pokoknya almarhum adalah seorang polisi Shadowfall City, dan kami para polisi Shadowfall City tahu benar bagaimana menggelar upacara pemakaman yang layak buat kolega. Terlalu sering latihan.
"Oh, Nadia," desahku pelan sekali, agar dia tidak mendengarku. Sebenarnya tidak harus pasang lagak mendesah begini, tapi rasanya wajib di lakukan, dan aku ingin melakukan dengan benar.
Aku nyaris berharap mampu meneteskan air mata barang sedikit agar aktingku komplit dengan adegan menyeka air mata. Almarhum dan aku dekat semasa hidup. Tapi kematiannya begitu brutal dan mengerikan. Bukan cara mati yang layak buat seorang polisi, dicincang sampai mati oleh pembunuh sinting. Pertolongan datang terlambat. Dia keburu tewas, jauh sebelum siapa pun tiba di TKP.
Aku tidak tahan untuk tidak mendesah, "Oh Nadia tersayang."
"Diam, bodoh!" Desis Nadia sambil menyodok keras dengan sikut. Dia tampak cantik dalam pakaian barunya. Akhirnya tercapai juga cita-citanya naik pangkat jadi Sersan.
Minimal memang ini yang wajib didapatkan setelah kerja kerasnya mengidentifikasi dan nyaris menangkap si Pembunuh Willow Lane. Dengan pencarian berbasis APB (Anti-Phase Boundary--Pengumuman Kriminal Buron dari Kepolisian) yang di lancarkan terhadapnya, kakakku yang malang pasti akan tertangkap, cepat atau lambat---itu pun kalau dia tidak menghabisi pemburunya lebih dulu satu per satu.
Aku telah diingatkan dengan keras akan arti penting keluarga, jadi setulusnya aku berharap dia tetap bebas. Nadia juga akan pulih. Katanya dia sungguh ingin memaafkan aku, dan bahkan setengah percaya pada kisah "Kebijaksanaan Victor " yang terpaksa aku buka sebagian akibat episode di kontainer.
Bagaimanapun kami juga keluarga, dan ini sudah kutunjukan dengan jelas di akhir peristiwa.
Aku mendesah lagi.
"Diam!" Desis Nadia gemas, lalu mengangguk ke ujung antrean bela sungkawa para polisi Shadowfall City. Kuikuti arah pandangannya : Sersan Daniel melotot tajam. Sejak datang tidak lekang mengawasi.
Dia begitu yakin bahwa kejadian sebenarnya tidak seperti aku dan Nadia tuturkan dalam laporan. Sekarang dia bertekad memburuku.
Kuremas tangan Adikku, sementara tangan satu lagi meraba tepian keras kaca mikroskop di dalam saku, berisi setetes darah Sofia.
Aku jadi agak tenang. Bahkan tidak keberatan dipelototi Sersan Daniel. Dia pasti akan memburuku. Mau bagaimana lagi?
Tidak seorang pun bisa mengubah itu.
Aku sungguh berharap bisa menangis. Acaranya begitu indah. Seindah malam bulan purnama yang kelak menjelang saat aku menggarap Sersan Daniel.
Semua akan kembali normal.