NovelToon NovelToon
Jadi Istri Om Duda!

Jadi Istri Om Duda!

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Duda
Popularitas:504
Nilai: 5
Nama Author: Galuh Dwi Fatimah

"Aku mau jadi Istri Om!" kalimat itu meluncur dari bibir cantik Riana Maheswari, gadis yang masih berusia 21 Tahun, jatuh pada pesona sahabat sang papa 'Bastian Dinantara'

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Galuh Dwi Fatimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pagi Yang Lucu

Riri terpaku.

“Riri?” suara berat Bastian terdengar serak khas orang baru bangun.

“Eh—”

Belum sempat Riri mundur, karena posisi tubuhnya sudah terlalu condong ke depan, ia malah kehilangan keseimbangan.

“Aaaah—!”

Refleks, Bastian merentangkan tangan dan menangkapnya. Dalam sekejap, tubuh Riri ambruk ke pelukan Bastian, wajahnya nyaris menempel di dada pria itu. Degupan jantung mereka bertemu dalam keheningan kamar.

“Riri… kamu ngapain?” tanya Bastian pelan, tapi matanya menyiratkan rasa heran campur geli.

Riri menatapnya dari jarak sangat dekat, mata mereka bertaut. “A… aku… aku cuma… ehm…”

“Kamu lihatin saya tidur?” tanya Bastian lagi, nada suaranya datar tapi ada senyum samar di ujung bibirnya.

“Enggak! Bukan gitu! Aku… cuma… ya ampun…” Riri buru-buru bangkit dengan wajah merah padam seperti kepiting rebus. “Aku cuma… mau lihat jam! Iya! Jam!”

“Jam? Di muka saya?” Bastian mengangkat alis.

Riri menutup wajah dengan kedua tangan. “Ya ampun, kenapa sih aku bego banget pagi-pagi begini…” gumamnya pelan.

Bastian tertawa kecil. “Kalau kamu pengen lihat wajah saya, gak usah pura-pura cari jam. Bilang aja,” katanya santai, berdiri dan merapikan jaketnya.

“Pak!” Riri makin malu dan melempar bantal kecil ke arahnya, yang langsung ditangkap Bastian dengan mudah.

“Udah yuk, siap-siap. Rombongan pasti udah pada panik nyari kita.”

“Gara-gara Bapak sih, tidurnya nyenyak banget…” Riri menggerutu sambil menyeret langkahnya ke kamar mandi.

“Gara-gara saya? Kamu yang tidur nyenyak banget semalam” balas Bastian tenang.

Riri berhenti sejenak di depan pintu kamar mandi, menoleh sambil menatapnya tajam. “Aduh, Pak… Kenapa sih Bapak terus ganggu saya pagi-pagi begini.”

Bastian tertawa pelan. “Kamu yang ganggu saya, kamu juga yang marah. Kamu itu lucu, Ri.”

__

Bus yang disewa oleh panitia gathering sudah siap di depan hotel. Pagi itu adalah jadwal mereka kembali setelah gathering selesai. Beberapa rekan kerja terlihat sibuk memeriksa daftar kehadiran sambil sesekali melirik jam tangan.

“Eh, Rico… si Riri mana ya? Kok belum nongol juga?” tanya Nia sambil melipat lengan.

“Gatau. Tadi malem dia ngasih kabar katanya kakinya terkilir,” jawab Rico. “Tapi sampai sekarang gak balik-balik juga? Jangan-jangan…”

Baru saja Rico mau melanjutkan kalimatnya, suara klakson pelan terdengar. Semua orang refleks menoleh ke arah jalanan kecil menuju pantai. Dan di sanalah — Riri dan Bastian muncul dengan motor sewaan pemilik penginapan yang mereka tumpangi.

Riri duduk di belakang, memakai helm putih dan hoodie longgar. Bastian di depan, tampak tenang seperti biasanya. Tapi pemandangan itu cukup bikin beberapa rekan kerja langsung heboh.

“Wahh! Mereka dateng berdua!” seru salah satu karyawan cowok sambil siulan nakal.

“Dari mana ajaaa?” tanya Nia dengan senyum menggoda, matanya menyipit penuh kecurigaan.

Riri langsung turun dari motor dengan agak kaku karena kakinya masih sedikit sakit. “Jangan ngaco deh. Tadi tuh kami—”

“Kami ketinggalan rombongan semalam,” potong Bastian cepat, suaranya tegas seperti biasanya. “Kebetulan kaki Riri terkilir, jadi saya sewa penginapan terdekat untuk istirahat. Aman, gak perlu gosip aneh-aneh.”

Namun, jawaban serius Bastian tidak sepenuhnya memadamkan kehebohan.

“Penginapan… berdua… satu kamar?” bisik Rico ke Nia dengan ekspresi kepo maksimal.

Nia menutup mulut menahan tawa. “Ih, jangan-jangan… romantis banget ya, Ric.”

Riri langsung nyambar tasnya dan menatap keduanya garang. “Hei! Kalian mau saya lempar ke laut rame-rame ya?!”

“Bercanda, Riii~” Nia mengangkat tangan tanda menyerah, tapi matanya jelas masih menggoda.

Rico mendekat dan berbisik, “Jujur aja deh, tadi malam ngapain aja berdua?”

“RICO!” bentak Riri spontan, membuat beberapa orang menoleh. Wajahnya langsung merah padam seperti udang rebus.

Bastian hanya menggeleng pelan, jelas terlihat menahan tawa. “Ayo naik ke bus, waktunya balik. Gak usah bikin drama,” katanya tenang, lalu berjalan mendahului ke arah bus.

Riri menatap punggung Bastian sambil mendengus pelan. “Bapak ini… bikin aku malu aja,” gumamnya lirih.

Nia merangkul bahu Riri sambil terkikik. “Jujur, Ri… chemistry kalian tuh kayak drama kantor di drama korea gitu loh.”

“Apaan sih!” Riri menepis pelan tapi wajahnya tak bisa menyembunyikan rona merahnya.

___

Malam itu, sepulang dari gathering, kamar Riri sunyi. Hanya suara pendingin udara yang terdengar pelan. Ia merebahkan diri di atas kasur sambil memeluk bantal kesayangannya. Pandangannya kosong menatap langit-langit.

“Kenapa aku mikirin dia terus…” bisiknya lirih.

Ia membalik badan ke samping, menarik selimut sampai ke dagu. Ingatan tentang kejadian kemarin saat ia selalu jatuh ke pelukan Bastian kembali berputar seperti cuplikan film di kepalanya — cara Bastian memandangnya saat itu, bagaimana tangan pria itu dengan sigap menahan tubuhnya… dan detik-detik sunyi yang terasa lebih lama dari seharusnya.

“Deg-degan banget, parah,” gumamnya sambil menutup wajah dengan bantal.

Ia lalu bangkit dan duduk bersila, seolah sedang menginterogasi diri sendiri.

“Riri… kamu kenapa sih? Dia itu bos kamu. Teman Papa kamu lagi. Tapi… dia juga gak punya siapa-siapa. Single. Dan kamu juga bukan anak kecil lagi…”

Jantungnya berdetak lebih cepat setiap kali membayangkan wajah Bastian. Pria itu punya kharisma yang tenang, berbeda dengan cowok-cowok sebayanya. Cara bicara, tatapan mata, bahkan sikapnya yang dingin tapi sesekali hangat… semuanya bikin Riri sulit berpaling.

“Kalau aku suka sama dia… apa salah,?” bisiknya pelan, hampir seperti takut mendengar jawabannya sendiri.

Ia kemudian mengambil ponsel dari nakas. Jari-jarinya otomatis membuka Instagram Bastian lagi. Deretan foto Bastian saat berkunjung ke luar negeri, tersenyum bersama kolega, hingga candid saat meeting terpampang rapi.

“Dia… keren banget,” gumam Riri, matanya berbinar. Ia tanpa sadar menekan tombol love lagi.

Dalam diam, sebuah senyum tipis terlukis di bibirnya. Tapi detik berikutnya, ekspresinya berubah bimbang.

“Kalau Papa tahu… gimana ya?” pikirnya. “Dan kalau dia tahu aku suka sama dia… apa dia bakal menjauh? atau dia bakal nerima aku?”

Hatinya bertarung antara logika dan perasaan. Namun, satu hal yang pasti — perasaannya sudah tumbuh terlalu dalam untuk diabaikan.

“Bastian Dinantara…” ia menyebut nama itu perlahan, seolah mencoba membiasakan diri dengan rasa itu. “Apa kamu ngerasain hal yang sama juga?”

___

Riri baru saja menyelesaikan laporan terakhirnya di divisi Humas. Saat ia melangkah ke lift, tanpa sengaja ia berpapasan dengan Bastian yang baru keluar dari ruang meeting.

“Masih di kantor jam segini?” suara berat Bastian membuat langkah Riri otomatis berhenti.

Riri menoleh dan tersenyum kecil. “Iya, Om… eh, Pak Bastian. Tadi ada revisi dari atasan divisi. Jadi baru kelar sekarang.”

Bastian mengangguk pelan. “Bagus. Kamu cepat belajar. Jarang anak baru bisa adaptasi secepat itu.”

“Kalau Om yang ngomong gitu, rasanya kayak dapet nilai A plus,” sahut Riri dengan nada menggoda ringan.

Bastian mengerutkan kening. “Riri…”

“Apa?” Riri menaikkan alisnya, masih tersenyum jahil. “Aku kan cuma jujur. Om tuh… bikin siapa pun pengen dapat pujian dari Om lagi.”

1
Grindelwald1
Wah, mantap!
Galuh Dwi Fatimah: terimakasih!!
total 1 replies
Niki Fujoshi
Capek tapi puas baca cerita ini, thor! Terima kasih sudah membuatku senang.
Galuh Dwi Fatimah: Terimakasih kak, semoga harimu selalu menyenangkan
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!