Evelyn, melihat kekasihnya, Jack, tengah bercumbu dengan wanita lain, saat ia ingin menunjukkan gaun pengantin yang ia pakai. Namun, Evelyn mengabaikannya, karena ia begitu mencintai kekasihnya. Tapi, bukan berarti tidak muncul keraguan di hatinya.
Sampai, hari itu tiba, saat mereka berdiri di altar pernikahan dan siap mengucapkan janji suci, tiba-tiba tempat mereka di serang oleh orang yang dulu pernah menjadi target mereka. Dia adalah Jacob.
Dia datang untuk balas dendam atas apa yang sudah Jack lakukan padanya. Namun, Jacob justru mencari sosok berinisial L.V, sosok yang sudah mengalahkan nya beberapa tahun yang lalu.
Dan, di sinilah Evelyn menyadari, jika Jack tidak pernah mencintainya dan muncul dendam di hatinya.
Bijaklah dalam berkomentar.
Happy Reading 💜
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Sudah beberapa hari ini, Jacob belum juga pulang ke rumah tempat Evelyn berada. Bukan karena ia tidak mau, melainkan karena rasa bersalah masih begitu menyesakkan dadanya. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa ketika berhadapan dengan Evelyn nanti. Ia takut, kehadirannya hanya akan membuat wanita itu sedih atau bahkan marah.
Evelyn memang selalu berkata bahwa dirinya baik-baik saja, tapi Jacob tahu, ada sesuatu yang disembunyikannya. Ada amarah yang ditahan, ada luka yang belum pulih. Dan, kesadaran itu membuatnya semakin sulit untuk kembali menatap wajahnya.
Meski begitu, Jacob tetap memantau Evelyn melalui CCTV di rumah maupun laporan dari para pelayan. Seperti malam ini, ia kembali menelepon Deby untuk menanyakan keadaan Evelyn.
"Jadi, dia melakukan kegiatan seperti biasa?" tanya Jacob memastikan.
"Benar, tuan," jawab Deby.
"Lalu, apa dia tidak mengatakan sesuatu? Atau mungkin ... marah, menangis atau apapun itu?"
"Tidak, Tuan, Nyonya terlihat baik-baik saja."
"Oh, baiklah. Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku," ujarnya, lalu memutus sambungan telepon.
Ia menyandarkan punggung ke kursi dan menghela napas panjang, seolah mencoba melepaskan beban di dadanya, namun gagal. Pandangannya terarah pada jendela besar di ruangannya. Ia bangkit, melangkah perlahan mendekat, menatap deretan gedung tinggi di luar sana yang disinari gemerlap lampu malam.
Tangannya terangkat, menyentuh dadanya yang berdebar kencang. Ia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan, berharap rasa sesak itu mereda. Tapi, ketika bayangan wajah Evelyn melintas di pikirannya, napasnya justru terengah-engah.
"Evelyn," lirihnya. Dadanya semakin sesak. Ia mengepalkan tangan dengan rahang yang menegang, lalu mengumpat keras. "Sial!"
Jacob kembali memejamkan mata, berusaha menenangkan diri yang semakin kacau. Namun, dorongan untuk menemuinya kian kuat. Dengan gerakan cepat, ia meraih kunci mobil, lalu bergegas keluar dari ruangannya.
...****************...
"Apa kau tidak tahu sekarang jam berapa, hah? Kenapa kau suka sekali mengganggu waktu tidurku?" gerutu Erick dengan mata setengah terpejam, suaranya terdengar berat karena kantuk yang belum hilang.
Jacob sama sekali tidak menanggapi. Ia hanya duduk di sofa, memegang gelas kristal, lalu meneguk habis wine di gelasnya dalam satu gerakan. Ia menuangkan kembali wine ke gelasnya, meneguknya lagi, dan terus seperti itu.
Erick berdecak pelan, merasa sedikit kesal. "Ck, ya sudah kalau kau tidak mau bercerita, silakan habiskan semua koleksi wine ku. Aku akan mengirim tagihannya besok." Ia berdiri, hendak berbalik kembali ke kamarnya.
Namun, suara pecahan kaca membuatnya tersentak. Ia menoleh cepat, melihat pecahan botol wine mahalnya yang berserakan di lantai. Lalu, ia kembali duduk di sofa dengan mata yang terbuka lebar.
"Kenapa? Tidak jadi pergi, hm?" ujar Jacob datar.
Erick menelan ludah, lalu memaksa tersenyum. "Ti-tidak, ti-tiba-tiba aku juga ingin minum," ucapnya, buru-buru menuangkan wine ke gelasnya sendiri dan langsung meminumnya.
Jacob tersenyum miring sekilas, sebelum kembali menunduk muram.
Erick menangkap perubahan ekspresi itu. Ia meletakkan gelasnya, mencondongkan tubuh sedikit. "Ada apa sebenarnya, Jac?"
Jacob terdiam lama. Pandangannya jatuh pada gelas di tangannya. "Aku sudah melakukan kesalahan besar," gumamnya.
"K-kesalahan besar?"
Jacob mengangguk pelan. Ia menyandarkan punggungnya, menatap kosong ke langit-langit. “Aku memaksa Evelyn melakukan hal itu."
Erick sontak melebarkan mata, terkejut. "Tunggu dulu, maksudmu melakukan ... "
"Ya. Aku memenuhi undangan makan malam Joana. Tapi, dia mencampur sesuatu ke dalam minumanku," seru Jacob.
"Tunggu dulu! Kau terpengaruh obat? Sejak kapan kau tidak bisa mengenali sesuatu yang aneh di minuman mu, hah?"
Jacob menghela napas panjang. "Itulah kesalahanku, Rick. Aku tahu ada yang tidak beres, tapi, aku tetap meminumnya. Dan, ternyata Joana memberiku obat dengan dosis tinggi. Aku kehilangan kendali, Rick. Dan, sialnya Dean justru membawaku pulang ke tempat Evelyn." Jacob mengepalkan tangannya erat, sampai urat di lengannya menegang. Tatapannya tajam, namun penuh penyesalan.
Erick tersenyum, menuangkan Wine ke gelasnya. "Ya sudah, semua sudah terjadi. Tidak perlu di sesali. Lagipula, dia kekasih musuhmu, bukan? Entah sudah berapa kali dia ... "
"Aku yang pertama, Rick," lirih Jacob.
DEG!
Erick meletakkan kembali gelasnya di meja, terkejut mendengar pengakuan Jacob. Lalu, menghela nafas panjang dengan kepala menggeleng pelan. "Kau sudah bertindak terlalu jauh, Jac. Tapi, menurutku, kau harus bertanggungjawab."
"Aku juga berfikir begitu. Tapi, dia menganggap ku suaminya. Hah ... Entah kapan permainan rumah-rumahan ini akan berakhir." Jacob kembali menenggak Wine nya, bersamaan dengan Dean yang datang dengan langkah terburu-buru.
"Tuan!"
Jacob melirik sekilas. "Ada apa?"
"Saya berhasil mendapatkan apa yang anda inginkan, tuan." Dean membuka laptop. Jari-jarinya lincah bergerak di atas keyboard, lalu, ia meletakkan laptop tersebut meja depan Jacob. "Ini, tuan."
Jacob mencondongkan tubuhnya, melihat lebih dekat yang ada di layar laptopnya. Dia tertegun beberapa saat, tapi, suara notifikasi di ponsel membuyarkan lamunannya.
Dia merogoh saku jas, melihat Evelyn mengirim pesan ke nomor tidak di kenal. Dia membaca pesan tersebut dengan kedua mata yang membelalak sempurna.
"Sial!" Jacob segera bangkit, berlari dengan wajah yang panik.
Sementara di rumah, Evelyn membawa nampan berisi kue buatannya . Dia membaginya pada pelayan dan penjaga. Dan, beruntungnya tidak ada yang curiga. Mereka semua memakan kue buatannya itu dengan lahap.
Dan, tidak berapa lama, satu persatu penjaga tergeletak tidak sadarkan diri.
Evelyn menatap penjaga dalam diam. Lalu, tanpa membuang waktu, dia berlari ke kamar, mengganti pakaiannya dan menyelipkan belati di kakinya. Tidak lupa, ia membawa flashdisk miliknya.
"Malam ini, aku pastikan, kau akan mati, Jack," geram Evelyn.
Tanpa membuang waktu, ia berlari keluar, dimana Rose sudah menunggunya. Dia langsung masuk ke dalam mobil, menatap rumah Jacob sekilas sebelum pergi meninggalkan tempat itu.
"Apa kau yakin akan melakukannya malam ini, kak?" tanya Rose.
"Tentu saja, aku sangat yakin," ucapannya mantap.
"Lalu, bagaimana dengan Jacob?"
Evelyn terdiam beberapa saat, lalu memalingkan wajahnya keluar jendela. "Aku tidak peduli. Bagiku, hutangku padanya sudah impas."
Tidak berapa lama, mobil mereka berhenti tidak jauh dari rumah yang nampak sederhana. Evelyn menatap sekitar dengan tatapan tajam dan memasang baik-baik pendengarannya.
"Apa kau membawa barang yang aku minta?" tanya Evelyn.
"Semua ada di bagasi," jawab Rose.
Evelyn turun dari mobil, di susul Rose yang langsung berjalan ke arah belakang mobil. Ia membuka bagasi dan mengeluarkan tas besar.
"Semua ada di sini, kak," seru Rose.
Evelyn membuka tas tersebut yang berisi beberapa senjata. Dia mengambil dua pistol dan menyelipkan di belakang punggungnya. Tidak lupa berapa magazine ia masukkan ke dalam saku Jaketnya.
"Kak, apa kau yakin akan menyerang mereka seorang diri? Anggota Jack memang tidak sebanyak dulu, tapi tetap saja kau sendirian, kak," seru Rose khawatir.
"Tenang saja, aku akan baik-baik saja." Evelyn mengambil satu senjata otomatis dan menyimpan dua granat tanpa sepengatahuan Rose.
"Cari tempat yang aman. Aku tidak mau kau terluka," seru Evelyn.
"Tapi, kak ... " Ucapan Rose terhenti, menatap punggung Evelyn yang sudah menjauh. "Semoga kau selamat, Kak," lirihnya dengan senyum miring di bibirnya.
Akankah Evelyn memberi minuman pada Jacob seperti pada Deby 🤔