Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Pagi menyapa lebih cepat dari yang Riana kira. Sinar mentari menembus celah tirai, menari lembut di wajahnya, memaksa kelopak matanya terbuka. Begitu pandangannya fokus ke sekeliling ruangan ia menyadari jika kini sedang berada di rumah dokter Alif, Riana terbelalak kecil melihat jam dinding, pukul delapan lewat sedikit.
“Astaga, Riana…” desisnya panik, lalu segera bangkit dan turun dari ranjang. Langkahnya tergesa keluar dari kamar, masih dengan rambut yang acak-acakan dan wajah yang belum sepenuhnya sadar.
Ia sudah bersiap menghadapi tatapan heran Alif karena bangun kesiangan, tapi dugaan itu langsung buyar. Begitu melewati ruang tamu, matanya membulat lebar. Di dapur sana, berdiri sosok lelaki yang jarang sekali ia lihat dalam wujud seperti itu, Alif.
Kemeja hitamnya digulung sampai siku, apron abu-abu melingkar di pinggang, dan di depannya… dapur yang tampak sedikit berantakan. Wajah Alif serius, alisnya sedikit berkerut, sementara tangannya sibuk mengaduk sesuatu di wajan. Asap tipis mengepul, aroma bawang yang digoreng menyeruak memenuhi ruangan.
Riana berdiri terpaku di ambang pintu, antara kagum dan geli.
“Dia… masak?” gumamnya tak percaya.
Belum sempat menahan senyum, suara berat Alif terdengar tanpa menoleh.
“Kalau sudah bangun, sekalian tolong ambilkan garam di rak atas.”
Riana terlonjak kecil. “Kamu tahu aku di sini?”
Alif hanya mengangkat alis, masih fokus pada masakannya. “Suara langkah kamu berisik, susah buat pura-pura nggak dengar.”
Riana mendengus pelan, lalu melangkah mendekat, menatap punggung Alif yang tegap. “Aku kira kamu nggak bisa masak.”
“Siapa bilang nggak bisa?” jawabnya santai. “Cuma jarang pamer aja.”
“Pamer?” Riana tertawa kecil. “Kalau caramu ngaduk kayak gitu, aku sih lebih takut makanannya gosong daripada enak.”
Alif menoleh setengah, matanya menatap Riana dengan ekspresi datar tapi bibirnya menahan senyum tipis. “Kalau gosong, ya kamu yang tanggung jawab cuci wajannya.”
Riana mendengus lagi, tapi pipinya merona tanpa alasan. Lagi dan lagi bersama Alif dirinya seperti menemukan hal baru, tapi Riana cukup sadar diri ia harus segera mengakhiri rasa nyaman yang kini ia rasakan.
***
Di rumah sakit, pagi itu kepala Septian terasa benar-benar berat. Sejak pukul enam tadi, Rahayu datang sambil mengantarkan Lira yang demam. Karena Liliana masih tertidur lelap, mau tak mau Septian harus mengurus semuanya sendiri. Anak kecil itu pun sejak tadi tidak berhenti menangis, membuat suasana kamar rawat terasa semakin kacau.
“Belum juga diam?” keluh Rahayu begitu kembali ke ruangan sambil membawa kantong plastik berisi sarapan. “Tian, kamu harus tegas. Bangunkan Liliana, masa anaknya nangis begini ibunya tidur kayak kebo, nggak dengar sama sekali?”
Septian menoleh sekilas, wajahnya lelah. “Sejak semalam Lili nggak bisa tidur, Bu. Kepalanya sakit terus. Dokter juga kasih obat penenang, jadi wajar kalau dia nggak bangun-bangun. Kalau aku paksa, bukannya sembuh malah tambah parah.”
Ia berusaha menenangkan Lira di gendongannya, mengusap lembut punggung kecil itu, tapi tangisnya justru makin keras.
Rahayu mendesah panjang. “Tapi anaknya sudah nangis dari tadi, kasihan, Tian. Biar Ibu saja yang bangunin dia.”
“Jangan, Bu!” seru Septian cepat, membuat Rahayu tertegun sesaat.
Tatapan wanita paruh baya itu menajam. “Kamu ini, bodoh sekali, Tian. Ini bukan anakmu, kenapa kamu sampai segitunya? Lihat mata pandamu itu, penuh cemas, seperti kamu benar-benar pengen jadi ayahnya.”
"Pokoknya ya Tian, kalau kamu mau sama Lili, Ibu gak mau dibebani sama anak ini. Dan lagi Ibu sudah tua, kalau Lili benar-benar pengen masuk jadi menantu keluarga Prawira dia harus seperti Riana," ujar Rahayu.
"Bu, Ibu ngomong apa? Aku dan Riana belum bercerai," ucap Septian.
Rahayu menatap putranya dengan kesal. “Kamu gimana sih, Tian? Jangan bilang kamu masih nganggep belum bercerai sama Riana.”
Septian diam, menatap lantai, sementara tangannya masih menggoyang pelan tubuh Lira di gendongan agar berhenti menangis.
“Ibu udah dengar semuanya,” lanjut Rahayu dengan nada tinggi. “Kamu sendiri yang jatuhin talak, kan? Terus Riana juga udah ajukan gugatan ke pengadilan agama. Sekarang tinggal nunggu sidang dan keputusan hakim. Apa kamu nggak sadar, itu artinya pernikahan kalian udah di ujung tanduk?”
Septian mengembuskan napas berat. “Bu, secara hukum kami belum sah bercerai. Belum ada putusan hakim, belum ada akta cerai. Jadi tolong jangan ngomong seolah semua udah selesai.”
Rahayu mendengus, matanya tajam. “Secara hukum mungkin belum, tapi secara hati? Apa kamu masih nggak lihat? Perempuan itu udah nggak mau balik lagi sama kamu! Sudah cukup jelas, Tian. Kadang kamu terlalu keras kepala buat ngakuin yang udah tidak bisa diselamatkan.”
Kalimat itu menancap dalam. Septian terdiam, hanya terdengar suara napas Lira di dadanya. Rahangnya menegang, tapi matanya terlihat sayu.
“Bu,” ujarnya pelan tapi tegas, “kalau pun semua sudah selesai, biar aku sendiri yang menutupnya dengan benar. Aku nggak mau salah langkah lagi.”
Rahayu menatap anaknya lama, lalu menghela napas. “Kamu ini memang terlalu banyak pikir, Tian. Nanti-nanti terus, sampai akhirnya semuanya benar-benar hilang.”
“Aku yakin Riana hanya marah sesaat padaku,” ucap Septian pelan tapi yakin. “Dia cuma cemburu karena aku lebih peduli pada kakaknya. Kali ini aku akan buat Riana semakin cemburu dengan desas-desus kalau aku akan menikahi Liliana. Aku yakin, dia akan kembali dengan sendirinya nanti.”
Septian menatap tajam ke arah jendela, sejak semalam Riana tidak bisa dihubungi dan semua akunnya telah di blokir, ia sudah memikirkan segala cara, dan cara ini yang dianggapnya paling ampuh untuk membuat Riana kembali padanya.
Sementara itu, di ranjang Liliana yang sebenarnya sudah terbangun memilih berpura-pura tidur. Namun setiap kata yang keluar dari mulut Septian tadi menancap jelas di telinganya. Rahangnya menegang, jemarinya mengepal kuat di balik selimut.
Dalam hatinya ia berbisik penuh tekad, 'Septian, aku sudah melakukan segalanya. Kalau kamu menunda perceraianmu, aku yang akan mempercepatnya. Dan pernikahan pura-pura itu... akan aku jadikan nyata.'
Dari bab2 lalu aku dah pen su'udzon soalnya terlalu baik n terlalu deket dengan Riana
Sinta suka dok Alif kah?
Dan menganggap Riana saingan? 🤔🤔🤔
tk bisa kembali 🤣🤣🤣🤣.
kecuali di mantan Istri nikah dulu
Tapi mang salahnya Riana.. jadi perempuan kelewat naif jadinya mengarah ke bodo
Gampang banget di manipulasi
Ngga punya pertahanan diri.. huft!
Satu sisi kasian.. satu sisi lagi gumuss..
Bersyukur sekarang ketemu Alif yang bener cinta dan tulus
Cobaa ketemunya kayak Septik tank lagi.. wis runyam..
Ngga bakal ada hepi endingnya.. nelongso truss 🤦🏻♀️