Virginia Fernandes mencintai Armando Mendoza dengan begitu tulus. Akan tetapi kesalah pahaman yang diciptakan Veronica, adik tirinya membuatnya justru dibenci oleh Armando.
Lima tahun pernikahan, Virginia selalu berusaha menjadi istri yang baik. Namum, semua tak terlihat oleh Armando. Armando selalu bersikap dingin dan memperlakukannya dengan buruk.
Satu insiden terjadi di hari ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Bukannya membawa Virginia ke rumah sakit, Armando justru membawa Vero yang pura-pura sakit.
Terlambat ditangani, Virginia kehilangan bayi yang tengah dikandungnya. Namun, Armando tetap tak peduli.
Cukup sudah. Kesabaran Virginia sudah berada di ambang batasnya. Ia memilih pergi, tak lagi ingin mengejar cinta Armando.
Armando baru merasa kehilangan setelah Virginia tak lagi berada di sisinya. Pria itu melakukan berbagai upaya agar Virginia kembali.
Apakah itu mungkin?
Apakah Virginia akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09. Kebohongan yang terungkap
Punggung Armando luruh pada sandaran kursi, begitu mendengar ucapan Sergio. Ingatannya menerawang ke masa silam.
Hari itu Ia benar-benar putus asa. Dokter baru saja memvonis bahwa dirinya tak kan lagi bisa melihat cahaya untuk seumur hidupnya. Ditambah lagi dengan kakinya yang lumpuh dan mengharuskan dirinya hidup dengan kursi roda.
Di kamar rumah sakit Armando duduk di lantai sedang bersandar pada tepian ranjang matanya tertutup perban, kakinya tak bisa digerakkan. Yang bisa ia lakukan hanya berteriak, meraung, tak pernah puas mengamuk. Membuang bantal, membanting apapun yang bisa diraih oleh tangannya. Merangkak menggunakan perut, meraba. Apapun yang tersentuh oleh tangannya tak kan selamat.
"Sayang, sudah hentikan! Jangan seperti ini! Tidak apa-apa. Walaupun kamu sekarang tidak bisa melihat, maka aku yang akan menjadi mata untukmu. Jika kamu tidak bisa berjalan aku yang akan menjadi kaki untukmu." Virginia yang baru saja kembali dari ruang dokter, bergegas menghampiri dan memeluknya.
“Pergi kamu dari sini! Pergi! Aku tidak butuh kamu, aku tidak butuh dikasihani!”
Dengan kasar Armando menghempaskan tubuh wanita itu hingga terjengkang.
Armando kembali menyeret kakinya mengamuk. Mencari apa pun yang bisa ia jadikan pelampiasan.
"Sayang sudah jangan seperti ini!” Tak putus asa Virginia kembali berusaha untuk memeluk pria itu meskipun lagi-lagi Armando menghempaskannya.
Bukan Virginia jika dia langsung menyerah. Dia memeluk pria itu semakin erat. “Sudah Sayang, sudah jangan menghancurkan apapun lagi. Aku akan menemanimu, semuanya akan baik-baik saja. Kamu akan sembuh aku percaya itu.”
Armando yang telah kehabisan tenaga hanya bisa diam dan menangis. Membiarkan dirinya berada dalam pelukan Virginia hingga tertidur karena resa nyaman.
*
“Apa kamu sudah ingat sekarang?” Sergio bertanya tepat di depan matanya.
“Omong kosong apa yang sedang kau bicarakan?” Armando tersenyum sinis. "Waktu itu waktu aku tidak bisa Apapun yang menemaniku jelas-jelas adalah Veronica."
Veronica tersenyum bahagia mendengar pembelaan Armando.
Sergio memalingkan wajah rasanya lelah bicara dengan orang yang mata dan hatinya telah tercuci. Kini pria itu hanya bisa tertawa meremehkan. “Tidak aku sangka pada saat itu kamu bukan hanya buta tapi juga tuli.”
“Kenapa kamu selalu bilang kalau Virginia yang berada di sampingku?” Armando berteriak marah. “Saat itu, jelas-jelas kamu dan Cecilia mengatakan yang ada di sampingku adalah Veronica?”
Sergio menegakkan badannya tak lagi bertumpu di sisi meja. Menghela nafas dalam. Memang, saat itu mereka mengatakan bahwa yang ada di sana adalah Veronica.
Sergio menyimpan kedua tangan di saku mantel. Menatap lelah ke arah wajah Armando. “Kamu tahu kenapa? Saat itu kakak Virginia lah yang minta kami berpura-pura. Saat itu Kak Virgi bilang...."
...
"Setiap kali Armando mendengar suaraku, dia akan langsung marah dan tidak mau diobati.” Virginia menatap Cecilia sendu. “Tapi suatu kali dia mengira aku adalah Veronica, jadi dia menurut sama dokter dan mau menjalani pengobatan. Cecilia, Aku ingin dia dapat perawatan terbaik. Jadi, tolong bantu aku berpura-pura. Biarkan saja dia menganggap yang menemaninya adalah Veronica. Tolong aku!” Virginia menggenggam tangan Cecilia penuh permohonan.
"Kakakku sudah memperlakukanmu seperti ini, kenapa kamu masih saja baik padanya? Apa dia pernah menyelamatkan mu? Aku benar-benar kesal padamu, kakak ipar!” Cecilia menghempaskan tangan Virginia yang menggenggamnya.
Virginia menatap ke arah Cecilia dengan mata berkaca-kaca. “Dia memang pernah menyelamatkan aku,” ucapnya.
"Baiklah, anggap saja yang kau katakan ini adalah benar. Tapi jika itu dianggap sebagai hutang, hutangmu padanya sudah lunas. Sudah bertahun-tahun dia tidak tahu bersyukur dengan keberuntungannya, kakak ipar. Dan apa kau tahu, meski apa pun yang akan kakak ipar korbankan, dia tak akan berterima kasih.” Cecilia berteriak marah. Virginia ini sebenarnya tulus atau bodoh. Dia yang adiknya saja merasa kesal.
“Aku tidak butuh dia berterima kasih padaku. Aku hanya ingin dia bisa sembuh, dan kembali menjadi orang hebat yang disegani. Bukankah seharusnya begitu?” Virginia meletakkan telapak tangannya pada kaca bening yang ada di pintu ruang rawat Armando. Menatap pria di dalam sana yang baru saja tertidur lelap karena pengaruh obat.
Hari berikutnya
Armando masih hanya bisa berbaring di atas tempat tidur dengan pandangan kosong. Sesuai permintaan Virginia, Sergio dan Cecilia menemani di sana. Virginia datang untuk membantunya minum obat, tetapi yang dipanggil oleh Armando adalah Veronica.
Dengan menghapus setitik air mata, Virginia menatap ke arah Cecilia dan berharap Cecilia mengatakan bahwa dirinya adalah Veronica.
Cecilia mendengus kesal, tapi Virginia memberikan isyarat dengan gelengan kepala.
Virginia melayani Armando dengan diam. Tak bersuara sedikitpun.
“Veronica, ini pasti kamu kan?” Armando mengambil tangan Virginia dan menggenggamnya.
Virginia memberikan isyarat kepada Cecilia dengan mengangguk. Meminta Cecilia untuk menjawab. Karena jika dia yang bicara maka Armando akan mengenali bahwa itu adalah dirinya, dan Armando akan menolak untuk minum obat.
"Veronica? Kenapa kamu hanya diam saja? Apakah karena sekarang aku buta dan lumpuh, lalu kamu tidak mau denganku lagi?” Armando bertanya sedih.
“Mana mungkin Veronica tidak mencintaimu?” Sergio yang berbicara dengan memalingkan wajah. Ia merasa kesal dengan Armando.
“Dia hanya terlalu sedih memikirkan kondisimu. Berhari-hari menangis karenamu, sehingga Ia terkena radang tenggorokan. Dia tidak bisa bicara,” lanjut Sergio.
“Iya Kak. Apa yang diucapkan oleh Sergio adalah benar. Beberapa hari ini yang merawatmu adalah Vir…”
Sergio menarik tangan Cecilia dan memelototi istrinya.
“Veronica. Maksudku yang merawatmu adalah Veronica, wanita yang selalu kamu rindukan. Dan Veronica saat ini ada di depanmu."
Selesai bicara, Cecilia berkali-kali meninju udara di hadapan Armando. Lalu menendang kaki Sergio sebagai pelampiasan rasa kesal. Ia benar-benar marah kalau saja boleh, ia ingin benar-benar meninju Armando dengan sangat keras. Sayangnya Ia hanya bisa meninju udara. Jika bukan karena permintaan Virginia dia tidak sudi menyebut nama Veronica. Sergio memeluknya agar wanita itu tenang dan melanjutkan sandiwara mereka.
"Veronica sedang mengambil obat untukmu buka mulut agar kamu cepat sembuh." Cecilia berseru ketus.
Armando pun menurut membuka mulutnya dan obat itu habis.
...
Armando terhenyak mendengar semua yang diucapkan oleh Sergio lalu menatap ke arah Veronica dengan raut tak percaya.
Veronica menggelengkan kepala, memasang raut bersalah dan air mata peri jahat. “Maaf, aku tidak bermaksud menipumu.” Air matanya mengalir deras.
Jawaban sudah jelas. Armando bukannya sadar,malah semakin geram pada Sergio. “Lalu, kenapa setelah aku sembuh tidak ada seorangpun yang memberitahuku?” Armando berdiri dari duduknya menatap tajam ke arah Sergio.
Menghela napas panjang. Lelah, Sergio benar-benar merasa lelah. Dia sudah berbicara sampai mulut berbusa, tapi Armando benar-benar bebal. Menatap Armando datar. “Itu karena kakak ipar bilang dia tidak ingin kamu merasa berhutang Budi.”
Armando berdecak sinis. “Tidak masuk akal. Ini sudah lama berlalu, sampai sekarang dia tidak mengungkapkannya. Kenapa sekarang tiba-tiba diumumkan? Apa mencari waktu yang tepat untuk keuntungan maksimal agar bisa menenangkan hatiku?”
“Armando, aku tidak menyangka kamu benar-benar sudah gila!" Sergio gagal mempertahankan kesabarannya. Dengan dua tangan ia mencengkram kerah Armando.
"Otakmu benar-benar tumpul. Veronica sendiri bahkan Sudah mengaku. Kamu masih mau membela diri apa? Apa kau pikir kau layak dikejar? Kalau aku jadi kakak ipar, aku sudah membuangmu sejak lama!” berteriak di depan wajah kakak iparnya, seraya menghempaskan kerah hingga tubuh Armando sedikit terdorong ke belakang. Terhuyung dan jatuh terduduk di kursinya.
Armando menatap ke arah Veronica. Sorot matanya menyiratkan kekecewaan. "Veronica, dulu saat aku bicara tentang kebutaanku, kenapa kamu bilang yang menemaniku selama itu adalah kamu?"
“Kak Armando, aku… “
Semoga segera bangun Virginia ....
. padahal dah dari bab kemarin yak
siapa kah gerangan pria yg di dalam mimpi itu,,,
bnrn gila tu orng.....
hiiyyy......mna kjam pula....tp ga pa2 lh,kn bls dndm sm mreka krna udh nyktin virginia.....
* Narasi yang Malas: "Cukup sudah. Kesabaran... ambang batasnya." Ini adalah narasi internal yang tidak diekspresikan dengan baik melalui aksi atau dialog. Pembaca tidak melihat proses "batas kesabaran" itu, hanya diberitahu bahwa itu terjadi.
* Keputusan Terlambat: Virginia bertahan lima tahun, kehilangan bayi, diperlakukan buruk, dan baru sekarang ia menyerah? Ini membuat karakternya terasa pasif dan lemah. Drama yang terlalu lama tanpa titik balik yang signifikan membuat cerita terasa berlarut-larut.
* Dramatic Irony Murahan: Vero yang "pura-pura sakit" adalah trik lama untuk memanipulasi. Ini terasa seperti adegan sinetron sore yang diproduksi terburu-buru.
* Kejadian Konyol: Di hari ulang tahun pernikahan, bukannya fokus pada istri, dia malah membawa orang lain ke rumah sakit karena "pura-pura sakit"? Ini bukan drama, ini kebodohan yang sulit dipercaya. Armando terlihat semakin menjengkelkan tanpa alasan yang kuat, dan plotnya terkesan dipaksakan hanya untuk menciptakan penderitaan bagi Virginia.Paragraf 4: "Terlambat ditangani, Virginia kehilangan bayi yang tengah dikandungnya. Namun, Armando tetap tak peduli."
* Tragedi yang Dieksploitasi: Kehilangan bayi adalah peristiwa yang sangat menyakitkan, namun di sini terasa seperti sekadar alat untuk menumpuk penderitaan Virginia dan membuat Armando semakin kejam. Ini kehilangan dampak emosionalnya karena tidak ada pengembangan yang layak. Pembaca tidak merasakan kesedihan; mereka hanya melihat satu lagi cobaan yang dilemparkan begitu saja.
* Kedangkalan Karakter: "Armando tetap tak peduli" – Kembali, ini adalah karakterisasi satu dimensi. Mengapa dia begitu kejam? Apa motivasinya? Jika tidak ada, dia hanyalah karikatur, bukan manusia.Paragraf 5: "
Paragraf 2: "Lima tahun pernikahan, Virginia selalu berusaha menjadi istri yang baik. Namun, semua tak terlihat oleh Armando. Armando selalu bersikap dingin dan memperlakukannya dengan buruk."
* Generalisasi Hambar: "Selalu berusaha menjadi istri yang baik" – Bagaimana caranya? Apa buktinya? Ini adalah deskripsi tanpa isi.
* Karakterisasi Satu Dimensi: Armando adalah gambaran paling klise dari suami antagonis: "dingin dan memperlakukannya dengan buruk." Tidak ada nuansa, tidak ada alasan. Ia hanya berfungsi sebagai alat untuk menyiksa Virginia, bukan sebagai karakter yang kompleks. Lima tahun dan tidak ada yang berubah? Plotnya mandek.