Mati tertabrak truk? Klise.
Tapi bangun di dunia penuh sihir, monster, dan wanita cantik berbahaya?
Shen Hao tidak menyangka, nasib sialnya baru dimulai.
Sebagai pria modern yang tengil dan sarkastik, ia terjebak di dunia fantasi tanpa tahu cara bertahan hidup. Tapi setelah menyelamatkan seorang gadis misterius, hidupnya berubah total—karena gadis itu ternyata adik dari Heavenly Demon, wanita paling ditakuti sekaligus pemimpin sekte iblis surgawi!
Dan lebih gila lagi, dalam sebuah turnamen besar, Heavenly Demon itu menatapnya dan berkata di depan semua orang:
“Kau… akan menjadi orang di sisiku.”
Kini Shen Hao, pria biasa yang bahkan belum bisa mengontrol Qi, harus menjalani hidup sebagai suami dari wanita paling kuat, dingin, tapi diam-diam genit dan berbahaya.
Antara cinta, kekacauan, dan tawa konyol—kisah absurd sang suami Heavenly Demon pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZhoRaX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH 7
Shen Hao berjalan menembus pepohonan rimbun, masih mengelap peluh di wajahnya setelah lolos dari beruang spiritual tadi.
Ia baru saja ingin meneguk air dari botol bambunya ketika suara ledakan keras mengguncang udara.
BOOM!
Tanah di bawah kakinya bergetar, dan kawanan burung di pepohonan sekitarnya beterbangan panik.
Shen Hao mendongak refleks — dan matanya membulat lebar.
Di langit, di atas lembah yang terbuka lebar, dua kelompok orang saling berhadapan di udara.
Beberapa melayang di atas awan tipis, tubuh mereka diselimuti cahaya spiritual berwarna-warni.
Ada yang dikelilingi api merah menyala, ada yang berselimut angin tajam, ada pula yang memegang kipas petir yang menyambar-nyambar di langit seperti naga.
“Aku… aku tidak salah lihat, kan?” Shen Hao mengusap matanya.
“Mereka… terbang?! Dan—itu petir?! Astaga, ini bukan film fantasi, kan?!”
Ledakan lain mengguncang langit.
Cahaya spiritual meledak seperti kembang api, memantulkan warna keemasan di pepohonan.
Shen Hao terpaksa menunduk, menutup matanya karena cahaya yang menyilaukan.
Ketika ia menoleh lagi, salah satu sosok berjatuhan dari langit — menghantam tanah beberapa puluh meter darinya.
Suara dentuman keras membuat tanah bergetar.
Shen Hao spontan meloncat mundur, sembunyi di balik batu besar.
“Kuharap mereka tidak sadar aku nonton gratis di bawah sini…” pikirnya gugup.
Dari tempatnya bersembunyi, ia bisa melihat jelas dua lambang berbeda di jubah para petarung itu.
Satu berwarna biru muda dengan pola bunga teratai, satu lagi merah dengan simbol naga melingkar.
Mereka berteriak, melantunkan jurus, dan melepaskan serangan spiritual yang menggetarkan udara.
Sekali ayunan pedang saja bisa membelah tanah, menghancurkan pepohonan di lereng bukit.
Shen Hao hanya bisa melongo.
“Ini beneran dunia gila… Orang-orang di sini bisa terbang, bisa bakar hutan, bisa bikin badai—dan aku? Aku baru bisa nyalain pedang tanpa mati!”
Suara dentuman berikutnya lebih dekat.
Satu proyektil spiritual menghantam tanah di dekatnya dan menimbulkan ledakan kecil.
Shen Hao terpelanting, wajahnya penuh debu.
“Hey! Aku cuma penonton! Jangan bawa-bawa aku!” serunya panik sambil merangkak ke balik pohon.
Namun dari balik asap, salah satu dari mereka — seorang pria muda berambut perak, berpakaian robek dengan luka di bahu — terhuyung ke arahnya.
Tatapan mereka berdua sempat bertemu sekejap.
Shen Hao ingin lari, tapi pria itu mengangkat tangannya lemah.
“Ka… kau, tolong… berikan ini ke seseorang dari Sekte Azure Lotus…” katanya dengan suara serak, lalu melemparkan sebuah batu giok kecil ke arah Shen Hao.
Sebelum Shen Hao sempat menjawab, cahaya merah dari langit menghantam pria itu—dan tubuhnya lenyap jadi abu.
Shen Hao terdiam beberapa detik, tak sanggup bicara.
Batu giok itu kini tergeletak di tanah, bergetar pelan seperti menyimpan energi.
Ia menatapnya, lalu menatap langit, di mana dua sekte masih saling menghancurkan.
“…Tuan Bao… kalau lihat ini, pasti bilang: ‘lihat, Nak, dunia luar memang keras.’”
Ia menghembuskan napas panjang, lalu memungut batu giok itu dan memasukkannya ke kantungnya.
“Baiklah… aku bahkan belum sehari keluar dari desa, tapi kayaknya aku sudah nyemplung ke masalah besar lagi.”
Ia menoleh ke langit sekali lagi, lalu berjalan cepat menjauh dari lokasi pertempuran.
Namun saat melangkah, pikirannya berputar.
Wajah para kultivator yang bertarung, kekuatan yang mereka pancarkan, dan bagaimana mereka melayang di langit seperti dewa—semua itu terpatri dalam benaknya.
“Kalau aku bisa seperti mereka…”
Ia menggenggam pedangnya lebih erat.
“…mungkin aku juga bisa menemukan arti sebenarnya dari kekuatan yang Tuan Bao maksud.”
Shen Hao baru beberapa langkah menjauh dari lokasi pertempuran ketika suara siulan tajam menembus udara.
Ia spontan menoleh — dan wajahnya langsung memucat.
Dari balik kepulan asap, tiga orang berjubah merah melayang turun, mata mereka menyala seperti bara api.
Salah satu dari mereka menatap lurus ke arah Shen Hao.
“Orang luar… kau yang mengambil Batu Inti Giok itu, bukan?” suara pria itu dalam, bergema dengan aura spiritual menekan.
Shen Hao langsung panik.
“Apa?! Batu ini? Aku cuma nemu di tanah, sumpah! Aku bukan pencuri!”
Pria itu tak menjawab.
Tangan kirinya terangkat, dan lidah api merah muncul membentuk tombak.
“Oh sial, ini bukan waktu debat!” Shen Hao langsung berbalik dan lari sekencang mungkin.
Ledakan pertama menghantam tanah di belakangnya.
Tanah terangkat, pohon-pohon tumbang.
Serpihan batu beterbangan melewati wajahnya.
“Gila! Mereka serius mau ngebunuh aku?! Padahal aku bahkan belum buka jurus dasar ‘lari menyelamatkan diri’!”
Ia menggerutu sambil menunduk, berlari menembus semak-semak.
Tombak api berikutnya nyaris menghantam punggungnya.
Shen Hao menukik, berguling ke bawah akar pohon besar, napasnya tersengal.
Ia bisa mendengar suara langkah kaki dan desisan energi spiritual di belakangnya.
“Mereka… bisa terbang, dan aku cuma bisa lari! Ini tidak adil!”
Satu dari tiga kultivator merah melayang turun, menepuk tanah dengan kaki — menciptakan gelombang panas yang menyapu rerumputan hingga layu.
Shen Hao melompat ke sungai kecil, airnya memercik tinggi.
Suhu di sekitar begitu panas hingga uap mulai naik dari permukaan air.
Shen Hao menunduk di balik batu besar di pinggir sungai, menahan napas.
Ia bisa mendengar salah satu dari mereka berkata lantang:
“Jejak auranya menuju ke arah sungai! Pisahkan diri, jangan biarkan dia kabur!”
Shen Hao mendecak pelan.
“Hebat… sekarang mereka pakai mode ‘pencarian kelompok’. Aku seperti buronan internasional di dunia fantasi ini.”
Ia merunduk lebih dalam ke air, mengikuti arus pelan-pelan.
Tombak energi melintas di atasnya, menguapkan sebagian air sungai.
“Tuan Bao, kalau aku mati hari ini, aku sumpah aku akan menghantui di sekitar rumah itu…” pikirnya getir.
Beberapa menit berlalu.
Akhirnya, ketika suara kejaran mereda, Shen Hao muncul dari air dengan napas berat.
Rambutnya basah, tubuhnya menggigil, tapi batu giok masih aman di tangannya.
Ia menatap benda itu.
Cahaya biru lembut masih berdenyut di dalamnya, seolah menyala mengikuti detak jantungnya sendiri.
“Benda kecil ini yang buat aku hampir jadi beku, huh?” gumamnya lirih.
“Baiklah, mulai sekarang kau resmi jadi batu pembawa sial, tapi juga satu-satunya petunjukku di dunia gila ini.”
Langit mulai gelap — matahari terbenam di balik pegunungan.
Suara serangga malam bergema di antara pepohonan, menggantikan suara ledakan dari siang tadi.
Shen Hao berjalan pelan, masih waspada, lalu menemukan celah batu di kaki bukit untuk berlindung.
Ia duduk di sana, menggigil sedikit karena dingin, lalu mengeluarkan pedang pemberian Tuan Bao.
Ujungnya menatap redup di bawah cahaya bulan.
“Kalau terus begini, aku tidak akan bisa bertahan lama hanya dengan kabur…”
Ia memandangi batu giok itu lagi.
“…Tapi mungkin, benda ini… bisa jadi kuncinya.”
Shen Hao menarik napas dalam.
Ia belum tahu, tapi sejak batu giok itu tersimpan di tangannya, jalur spiritual di tubuhnya mulai bergetar pelan, bereaksi terhadap sesuatu di dalam batu itu.
Malam itu, langit di atas lembah begitu jernih.
Bintang-bintang bertaburan seperti percikan perak, dan kabut spiritual melayang pelan di antara pepohonan.
Shen Hao duduk bersandar di dinding batu, mengenakan jubah yang sudah setengah kering.
Api kecil menari di depannya, memantulkan cahaya hangat di wajah letihnya.
Ia menatap pedang pemberian Tuan Bao, lalu batu giok yang kini diletakkan di pangkuannya.
Cahaya biru samar dari batu itu seolah berdenyut lembut — seirama dengan napasnya sendiri.
“Dunia ini… benar-benar aneh,” gumamnya pelan.
“Orang-orang bisa terbang, petir dari jari, monster sebesar rumah, dan aku… masih gagal berkultivasi dengan batuk darah.”
Ia tersenyum kecut, menengadah ke langit.
“Kalau Tuan Bao lihat aku sekarang, pasti cuma geleng-geleng kepala. Katanya dunia luar luas dan indah—hah, indah dari mana? Semua yang kutemui malah mau membunuhku.”
Hening.
Suara serangga malam mengisi udara.
Setelah beberapa lama, Shen Hao memejamkan mata.
Ia teringat pada cara Tuan Bao dulu mengajarkan pernapasan dasar:
"Tarik energi spiritual dari alam perlahan, jangan paksa. Biarkan mengalir seperti air, bukan seperti api yang dipaksa menyala."
Ia mencoba menirukan.
Tarikan napas panjang… hembus…
Perlahan, ia mulai merasakan udara di sekitarnya sedikit berbeda.
Lebih berat. Lebih hangat.
Seolah-olah udara itu hidup.
Tapi kali ini, ada sesuatu yang lain.
Batu giok di pangkuannya mulai bergetar pelan.
Cahaya birunya menyebar, membentuk pola samar di tanah — seperti lingkaran formasi yang belum sempurna.
Shen Hao mengernyit, tapi tidak membuka matanya.
Ia hanya merasa hawa di sekitarnya makin kuat, seperti pusaran halus yang berputar di dalam tubuhnya.
“Ini… aneh. Tapi kenapa terasa… nyaman?”
Tiba-tiba, rasa panas mengalir dari telapak tangannya ke dada.
Dadanya berdenyut, jalur spiritual di tubuhnya mulai terbuka — dan saat itu juga, sesuatu klik di dalam dirinya.
Suara lembut bergema di pikirannya.
Suara yang entah berasal dari luar atau dari dalam:
“Resonansi terdeteksi… penyelarasan awal dimulai…”
Sekejap kemudian, nyeri tajam menyerang tubuhnya.
Shen Hao memekik, darah segar keluar dari mulutnya.
Namun kali ini, darah itu bukan merah biasa — bercahaya biru samar, seperti serpihan cahaya spiritual.
Tubuhnya menggigil, tapi ia tak bisa berhenti.
Energi spiritual itu terus mengalir, masuk dari udara dan terserap melalui batu giok.
Jalur meridiannya terbuka satu demi satu, bagaikan sungai kering yang tiba-tiba dialiri air deras.
“Ini bukan gagal… ini… berhasil?” pikirnya di sela-sela rasa sakit yang luar biasa.
Matanya terbuka — pupilnya berubah ungu terang.
Udara di sekitarnya bergetar, dedaunan di sekitar goa itu menari karena pusaran energi.
Tapi sesaat kemudian, semuanya mereda.
Cahaya dari batu giok perlahan padam, kembali ke warna hijau kebiruan biasa.
Tubuh Shen Hao roboh ke tanah, napasnya berat tapi wajahnya… tersenyum.
“Ha… ha… aku… tidak batuk darah karena gagal… tapi karena… berhasil?”
Ia tertawa pelan, lalu batuk lagi — tapi kali ini, batuknya terdengar seperti lega.
Ia menatap langit berbintang dengan mata setengah terpejam.
Cahaya lembut bulan jatuh di wajahnya, dan di dada kirinya tampak pola samar — lambang batu giok itu kini tertanam di kulitnya, berdenyut pelan seperti segel misterius.
“Dunia ini memang gila…”
Ia bergumam pelan sebelum matanya perlahan tertutup karena kelelahan.
“…tapi sepertinya… aku mulai terbiasa.”