Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.
Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.
Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.
Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5 - E.E. Cummings
Vee
Dua bulan berkuliah disini, aku makin yakin jika Ashenwood University adalah impianku. Walaupun belum bisa bertemu Thomas Hunt, mempelajari semua hal tentang dunia film adalah hal yang sangat aku nantikan. Pusing memikirkan essay di kelas Sejarah perfilman, Mengedit script di kelas scripwriting, hingga kelas yang paling ku suka, Praktik Penyutradaraan. Bukan karena Tyler mengajar di kelas itu, tapi suasana kelasnya yang berbeda. Setiap minggu kami diberikan tugas, untuk mengarahkan actor, blocking, hingga editing. Dan minggu ini, Professor Hill memberikan tugas untuk membuat film pendek dengan durasi maksimal 10 menit, yang akan menjadi tugas akhir semester. Kami membuat kelompok lintas jurusan. Di kelompokku ada Liam dan Derek dari jurusan akting, Penelope dari photography. Dan Penelope meminta bantuan temannya dari jurusan Scriptwriting bernama Adrian Cole untuk membuat naskah bersama-sama.
“Aku punya beberapa naskah yang bisa langsung kalian gunakan” Adrian memulai dengan percaya diri, menyodorkan beberapa naskah, Penelope dan aku membaca 1 naskah bersama-sama
“Kita tidak bisa memilih naskah yang terlalu rumit untuk 10 menit time frame” Penelope bilang “Pilih yang simple namun berkesan diantara naskah-naskah ini”
“Bukankah disitu pentingnya, Pen?” Derek mencibir “Kita jangan mencari naskah yang mudah, tapi pilih yang paling rumit untuk membuat Professor Hill terkesan. Bagaimana menurutmu, anak pindahan?”
Aku benci sekali panggilan itu. Tapi sejak awal, dia bersikeras memanggilku dengan sebutan anak pindahan, dan bukan Victoria, apalagi Vee. “Terlalu ambisius juga tidak baik jika eksekusinya tidak matang, kita baca dulu beberapa naskah ini baru memutuskan” ujarku ketus. Liam menatapku khawatir
Ada 4 naskah disini, tapi yang cocok dengan situasi saat ini, hanya ada 1. Fallout. Bercerita tentang persahabatan dua orang pria yang harus berakhir saat kedua pria mencintai 1 orang yang sama. Fokus utama naskah ini ada di kedua sahabat, sehingga bisa digunakan untuk Liam dan Derek. Aku bisa menjadi pemeran wanita, yang hanya muncul beberapa menit saja.
“Menurutku ini yang terbaik” Ujarku menyodorkan naskah itu ke tengah meja. Derek dan Liam membacanya bersamaan, Liam mengangguk. “Setuju, ini yang terbaik”
Namun, tentu saja Derek Vaughn harus jadi orang menyebalkan dulu “Semua naskahnya buruk. Jadi terserah kau saja, anak pindahan”
Aku mengabaikannya “Baik, jadi setuju ya dengan Fallout. Terima kasih banyak Adrian untuk naskahnya, akan kami sertakan di credit title nanti” Ujarku kepada Adrian, yang entah kenapa terlihat salah tingkah saat berbicara denganku
“No problem, senang bisa membantu” Jawabnya cepat, lalu bergegas pergi meninggalkan kami untuk berdiskusi lebih lanjut terkait teknis.
Diskusi kami berlangsung hingga satu jam, membahas blocking, kamera, jenis edit yang akan digunakan, akan sedramatis apa. Jiwa perfeksionis Liam sangat membantu kami saat ini, hingga akhirnya diskusi selesai.
“Terima kasih atas masukannya. Kita akan mulai syuting di hari minggu ini ya” Ujarku, lalu menatap tajam Derek “Dan sekali lagi kau memanggil aku dengan sebutan anak pindahan, aku tidak segan menggantikanmu dengan mahasiswa akting lainnya, jadi silahkan mencari rekan kelompok lain jika kau masih ingin lolos kelas ini.”
Derek kaget sejenak karena perubahan suaraku, namun berusaha tetap tenang “Siap, bu sutradara” lalu beranjak dari kursinya.
Liam meremas pundakku pelan “Jangan dipikirkan, dia memang selalu menyebalkan. Bayangkan bagaimana rasanya satu kelas dengannya selama 4 tahun ini.”
“Baru beberapa bulan sekelas dengannya saja sudah membuatku pusing. Akan kutuntut dia jika membuatku naik darah lagi” Ujarku sambil memijat kening.
Aku membereskan buku, dan semua orang beranjak pergi. Kemudian, ada seseorang yang duduk di kursi kosong di sebelahku.
“Vee…..Victoria” Ujarnya. Aku melihat dengan jelas, ternyata Adrian Cole.
“Oh hai Adrian. Terima kasih ya sudah membantu kami. Ada apa? Apa yang bisa ku bantu?”
Ia menatap ke lorong perpustakaan sebentar, lalu melihat ke arahku “Aku punya 2 tiket untuk pertunjukkan Wicked di Ashenwood Musical.” Ia berhenti sejenak, seperti menarik nafas panjang sebelum melanjutkan “Mau kah pergi kesana bersamaku? Seperti…kencan?”
Sebenarnya Adrian lumayan tampan, tapi sikap gugupnya setiap dekat denganku ini lumayan mengusikku. Namun karena dia sudah membantu tugas kami, tidak baik rasanya menolak ajakannya yang begitu tulus “Baiklah, kapan?”
Ia terlihat berbinar dengan jawabanku “Akan ku beritahu detailnya ya, Vee. See you” Ujarnya sambil melangkah pergi
Di lorong belakang tempat Adrian baru saja duduk, aku melihatnya. Tyler Hill. Menatapku dengan ekspresi dingin yang tidak bisa ku artikan. Aku melangkah pergi sambil melewatinya sambil menyapa “Professor Hill” lalu keluar perpustakaan.
Jantungku berdebar kencang. Entah kenapa, selalu begitu setiap melihatnya. Tapi, ini tidak boleh terjadi. Aku mengembalikan fokus ke Musical Theather dan Adrian, tapi entah kenapa. Tatapan dingin itu rasanya begitu menghantuiku.
\~\~\~
Tyler
Aku menelusuri lorong perpustakaan dengan langkah tenang. Alasanku sederhana, mencari referensi tambahan untuk kelas Introduction to Film Study. Tapi, sejujurnya, itu hanya alasan yang kuucapkan pada diri sendiri. Karena pada akhirnya, langkahku selalu berakhir di lorong puisi. Selalu.
Jika Thomas Hunt memiliki passion di dunia film, maka milikku adalah puisi. Bagiku, puisi adalah kumpulan kata yang dirangkai indah, menjadi sesuatu yang memiliki makna lebih dalam daripada sekadar kalimat. Tapi mimpi itu sudah lama kubuang, terkubur bersama keputusan untuk memilih film, bukan puisi.
Jemariku menyusuri deretan buku antologi tua. Kulihat sampul-sampul berdebu, warna-warnanya pudar dimakan waktu. Aku menarik salah satunya dan membukanya perlahan, membaca beberapa bait favoritku. Lalu mataku terpaku pada satu kalimat:
“Sekilas pandangmu yang lembut, mampu membuka diriku dengan mudah
walaupun telah kututup dengan erat seperti jemari ini…”
— E.E. Cummings (terjemahan Bahasa Indonesia)
Aku membaca kalimat itu berulang kali, seperti terhipnotis. Kata-kata itu terasa hidup, menyusup pelan ke dalam pikiranku, dan di sana, bayangan seorang wanita muncul. Rambut hitam, mata hazel, dan senyum yang entah kenapa terasa terlalu hangat untuk dunia ini.
Vee.
Kenapa aku bisa mengendalikan begitu banyak hal... kecuali pikiranku tentangnya?
Dia pernah memintaku memanggilnya Vee. Aku tidak mengerti kenapa ia membenci nama Victoria. Padahal nama itu indah. Mungkin karena nama itu terasa asing baginya, atau karena ada sesuatu di balik wajah cerianya yang berusaha ia sembunyikan. Rahasia, mungkin.
Dan anehnya, aku merasa seolah-olah harus bertanggung jawab atas rahasia itu, entah apa pun bentuknya.
Seolah semesta mendengarkan pikiranku, pandanganku tiba-tiba menangkap sosoknya. Di ujung lorong perpustakaan, di ruang diskusi kecil, ia duduk bersama seorang pria—Adrian Cole, jika aku tidak salah mengenalinya. Mereka terlihat berbincang, lalu Adrian mengeluarkan 2 lembar tiket dari tasnya.
Aku menatap mereka sejenak. Itu bukan urusanku. Ia bebas berbicara dengan siapa pun yang ia mau.
Tidak lama, Adrian beranjak, lalu Vee menyusul beberapa detik kemudian, meraih tas, lalu menoleh—seolah ditarik oleh sesuatu yang sama tak terlihatnya dengan yang menarikku ke lorong puisi.
“Prof Hill,” sapa Vee pelan. Senyumnya tipis, sopan, aman.
“Sinclair,” balasku
Ia melangkah melewatiku. Hanya satu detik, aroma kertas, sabun, dan sesuatu yang hangat menyentuh tepi ingatanku. Aku menahan diri untuk tidak menoleh. Dosen yang baik tidak menoleh. Dosen yang baik menjaga jarak.
Ada kalanya aku membenci pekerjaan ini—asisten Thomas Hunt. Di saat seperti ini, aku malah terjebak menjadi dosen pengganti.
Aku berdiri sendirian di antara rak-rak setinggi bahu. Deret puisi masih terbuka, menatapku seperti pertanyaan yang tak ingin kujawab.
Kenapa rasanya dada ini mengencang melihat dua tiket itu?
Cemburu? Konyol. Tak pantas. Tidak etis.
Aku menutup buku Cummings perlahan dan menarik napas panjang. Aku ini pengajar penyutradaraan—aku tahu kapan harus berteriak “cut”.
“Cukup, Tyler,” bisikku pada bayangan di kaca.
Aku merapikan buku ke tempatnya, memaksa langkahku menjauh dari lorong puisi. Saat pintu perpustakaan tertutup di belakangku, malam menelan sisa-sisa egoku yang berusaha tampak tegas.
Bukan urusanku, ulangku.
Namun, gema kata-kata itu terdengar paling nyaring justru ketika tak ada yang mempercayainya, termasuk aku.
\~\~\~