Jingga Nayara tidak pernah membayangkan hidupnya akan hancur hanya karena satu malam. Malam ketika bosnya sendiri, Savero Pradipta dalam keadaan mabuk, memperkosanya. Demi menutup aib, pernikahan kilat pun dipaksakan. Tanpa pesta, tanpa restu hati, hanya akad dingin di rumah besar yang asing.
Bagi Jingga, Savero bukan suami, ia adalah luka. Bagi Savero, Jingga bukan istri, ia adalah konsekuensi dari khilaf yang tak bisa dihapus. Dua hati yang sama-sama terluka kini tinggal di bawah satu atap. Pertengkaran jadi keseharian, sinis dan kebencian jadi bahasa cinta mereka yang pahit.
Tapi takdir selalu punya cara mengejek. Di balik benci, ada ruang kosong yang diam-diam mulai terisi. Pertanyaannya, mungkinkah luka sebesar itu bisa berubah menjadi cinta? Atau justru akan menghancurkan mereka berdua selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mertua…
Seperti biasa, Jingga bangun lebih dulu dibanding Savero. Ia sudah terbiasa begitu, supaya tak perlu berlama-lama berpapasan dengan pria itu.
Baginya, kehidupan di rumah besar ini sesederhana dan sesempit tiga titik: sofa untuk tidur, kamar mandi untuk membersihkan diri, dan dapur sekadar untuk memasak mie instan. Hanya itu. Ia tidak pernah menjelajahi ruang-ruang lain; tidak pernah mencoba duduk di ruang keluarga, apalagi menyentuh piano mahal di sudut ruangan. Rasanya semua yang ada di rumah itu bukan miliknya, hanya pajangan berharga yang tak bisa disentuh.
Begitu pula soal mertua. Sejak hari pernikahan, ia tak pernah lagi bertemu dengan orang tua Savero. Kata para pelayan, Tuan Panca dan Nyonya Maria memang lebih sering tinggal di luar negeri, atau berpindah dari satu kota ke kota lain. Itu membuat Jingga merasa sedikit lega, setidaknya ia tak perlu menghadapi tatapan mereka.
Namun pagi itu berbeda. Saat ia melangkah hendak keluar rumah, mendadak langkahnya terhenti kaku. Di meja makan yang panjang, dua sosok elegan sudah duduk anggun: Tuan Panca dengan koran terbuka di tangannya, dan Nyonya Maria dengan secangkir teh beruap di hadapannya.
Jingga mematung. Pandangannya beradu singkat dengan keduanya. Jantungnya seakan melompat ke tenggorokan. Suasana membeku. Ia menunduk, lalu dengan kikuk membisikkan, “Permisi…” sambil mengangguk hormat, hendak melangkah cepat-cepat keluar.
“Sudah sarapan?” Suara Nyonya Maria memecah udara kaku itu.
Jingga tersentak, menoleh ke kiri dan kanan, mencari siapa tahu ada orang lain di ruangan itu. Tapi para pelayan berdiri kaku di sisi kanan dan kiri mertuanya. Tidak ada siapa pun selain dia yang mungkin dituju.
“…Saya?” tanyanya pelan, sambil menunjuk ke dada sendiri.
Nyonya Maria mengangguk.
Wajah Jingga merona. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Malu, bingung, dan kikuk bercampur jadi satu.
“Apa Nyonya Jingga tidak pernah sarapan di rumah?” Nyonya Maria mengalihkan tanya pada salah satu pelayan.
“Mbak Jingga… eh, maksud saya Nyonya Jingga memang tidak pernah sarapan di rumah, Nyonya.”
Nyonya Maria membelalak, lalu bergumam pelan, “Apa makanan di rumah ini tidak sesuai seleranya?” Ia kemudian menunduk setengah berbisik pada pelayan, “Apa kau tidak pernah menawarkan nasi uduk, bubur ayam, atau nasi goreng pada Nyonya Jingga? Mungkin dia tidak suka makan pastry begini di pagi hari.”
“Mama…” tegur Tuan Panca tanpa menurunkan korannya. “Jingganya disuruh duduk dulu.”
“Oh, benar juga. Sampai lupa,” ucap Nyonya Maria, menepuk pelipisnya. Ia menoleh ke Jingga dengan senyum lembut, “Jingga, duduklah. Di keluarga ini peraturannya harus sarapan dulu sebelum keluar rumah.”
Mata Jingga membesar. Duduk semeja dengan mereka? Ia menelan ludah. Savero saja tak pernah suka melihatnya, apalagi orang tuanya. Yang ada ia khawatir membuat mereka kehilangan selera makan.
“Saya… saya sarapan di kantor saja, Nyonya.”
Nyonya Maria menghela napas panjang. “Sarapan di rumah, itu peraturannya.”
Seorang pelayan memberi isyarat halus agar ia duduk. Langkah Jingga terasa berat, seolah kakinya diikat rantai. Ia bergerak perlahan menuju kursi, duduk kaku seakan menunggu hakim membacakan vonis. Jari-jarinya menggenggam rok kerjanya erat, wajahnya tak tahu harus ditaruh di mana, dan ia hanya bisa menunduk dalam-dalam.
Langkah kaki terdengar dari arah tangga. Pelayan yang berdiri di sisi meja menunduk hormat, memberi tanda kehadiran seseorang yang sangat dihormati.
Savero muncul, rapi dalam setelan jas biru tua dengan dasi yang terikat sempurna. Wajahnya segar, rambutnya tersisir licin, aura seorang direktur muda yang terbiasa mengatur segalanya dengan dingin. Ia sempat menunduk memberi salam singkat pada orang tuanya, namun gerakannya terhenti ketika matanya menangkap sosok yang tak pernah ia bayangkan akan duduk di meja itu.
Jingga.
Perempuan itu sudah rapi dengan blouse putih sederhana dan rok pensil hitam, rambutnya dikuncir rendah seadanya. Namun ada gurat gugup di wajahnya, tangannya gemetar samar saat merapikan lipatan roknya.
Savero berdiri terpaku beberapa detik, menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. Kaget, iya. Senang? Entah, tapi ada kilatan lain yang belum pernah muncul sebelumnya.
“Kamu…” suaranya lirih, hampir tidak terdengar.
Jingga mendongak, langsung menunduk lagi, pipinya merona. “Saya… hanya kebetulan…” suaranya tercekat.
“Jangan hanya berdiri, Nak.” Tuan Panca berdehem, memecah kekakuan. “Duduk.”
Savero menarik kursinya, duduk di samping Jingga. Para pelayan serempak mendekat, menaruh hidangan sarapan di atas meja. Tidak ada bubur ayam atau mie instan seperti yang biasa Jingga makan untuk sarapan di rumah kumuhnya, melainkan sajian yang membuatnya makin kikuk: roti panggang lembut dengan selai fresh hand made, salad segar, potongan buah tropis yang ditata cantik, dan omelet yang dilipat sempurna dengan taburan herbs.
Jingga menunduk. Jangankan menyentuh, menatap piring itu saja sudah membuatnya salah tingkah.
“Kenapa diam saja?” suara Savero terdengar datar, tapi anehnya, ia sudah menyodorkan piring roti ke arah Jingga. “Makan.”
Jingga terperangah, matanya melebar. Tangannya refleks menolak. “Tidak… saya bisa ambil sendiri.”
“Ambil apa?” Savero malah mengambil sendok, menyendok potongan buah, lalu mendorong piring kecil itu ke depan Jingga. “Makan buah dulu.”
Keheningan menelan ruang makan itu. Para pelayan saling melirik, Nyonya Maria menutup mulut dengan jemarinya, dan Tuan Panca menurunkan korannya sedikit, menatap anaknya penuh tanda tanya.
Tidak ada yang pernah melihat Savero seperti ini. Bahkan pada orang tuanya sendiri pun pria itu jarang menunjukkan perhatian, apalagi pada seorang istri dengan status nikah paksa itu.
Jingga tertawa kecil, getir. “Saya bisa sendiri, Pak…” ucapnya pelan, hampir seperti permohonan agar ia tidak diperlakukan berbeda di hadapan semua orang.
Namun tidak ada satu pun yang menanggapi kata-kata Jingga. Semua mata justru tertuju pada Savero… lelaki itu, yang selama ini dingin, tiba-tiba saja terlihat sedikit… perhatian.
Nyonya Maria bersandar ke kursinya, menyipitkan mata dengan senyum geli. “Aduh, sepertinya akan ada badai besar hari ini,” gumamnya sambil melirik suaminya. “Soalnya sepertinya es kutub mulai mencair.”
Para pelayan yang berdiri di sisi ruangan menunduk, jelas-jelas menahan senyum. Pemandangan seperti ini terlalu langka untuk dilewatkan.
Savero langsung berdehem, wajahnya menegang, berusaha menutupi rasa salah tingkah yang merambati dirinya.
Sementara Jingga hanya semakin kikuk. Ia tak mengerti maksud ucapan mertuanya, tak punya tenaga untuk menebak. Yang ada di kepalanya hanya satu: bagaimana caranya segera keluar dari meja makan itu tanpa terlihat tidak sopan.
Jingga menghela napas dalam-dalam, jarinya meremas ujung rok kerjanya di bawah meja. Perutnya rasanya mual karena canggung. Ia melirik jam di dinding, sialnya masih terlalu pagi untuk alasan “telat ke kantor”, tapi apa pun rasanya lebih baik daripada terus duduk di situ.
“Permisi, saya… saya harus segera berangkat, Pak, Bu.” Suaranya terdengar kaku, tapi tetap lembut. Ia bangkit dari kursi perlahan, menimbulkan suara seret yang membuat seisi ruangan kembali menoleh padanya.
Dengan gugup, Jingga menunduk, lalu… hampir refleks, mengulurkan tangannya untuk menyalami Nyonya Maria. Setelah itu, dengan penuh rasa hormat, ia menunduk lebih dalam dan mencium punggung tangan mertuanya. Gerakan yang sama ia lakukan pada Tuan Panca, meski jantungnya berdegup kencang.
Sejenak suasana hening.
Nyonya Maria sampai terbelalak, lalu menoleh cepat pada suaminya. “Ya ampun…” gumamnya lirih, hampir tak percaya.
Tuan Panca hanya mengangguk pelan, matanya mengikuti punggung Jingga yang bergegas keluar ruangan. “Sopan sekali dia,” komentarnya, nada suaranya sarat ketulusan.
Nyonya Maria masih menatap ke arah pintu yang sudah kembali tertutup, matanya berkilat menyiratkan kekaguman. “Jarang sekali Mama melihat anak muda masih begitu hormat. Bahkan…,” ia menoleh pada Savero yang baru saja meneguk kopinya, “anak kita sendiri pun sudah lama tidak melakukannya.”
Savero hanya terdiam. Gelas kopinya ia letakkan kembali dengan hati-hati. Pelayan-pelayan di sisi ruangan menunduk, tapi bibir mereka jelas bergerak menahan geli
(Bersambung)...
langsung mp sama Jingga...
biar Kevin gak ngejar-ngejar Jingga
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya