Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.
Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
Suara notifikasi itu masih menggema samar di telinga Nathan meski layar ponsel sudah padam.
Ia menghela napas, lalu menarik mobil ke sisi jalan. Setelah memastikan aman, ia meraih ponsel yang sejak tadi berdiam di kursi penumpang.
Layar menyala kembali.
[Aku nggak tahu harus bilang iya atau enggak soal liburan. Tapi aku akan siapin koper. Kalau kamu datang, kita jalan. Kalau nggak, ya aku jalan sendiri.]
Nathan membaca pesan itu dua kali.
Kalimatnya sederhana. Tidak marah. Tidak menyalahkan. Tapi justru karena itu, dada Nathan terasa makin berat. Tidak ada emosi besar di sana, hanya sebuah kepasrahan yang terdengar terlalu tenang.
Seolah… kalau ditinggal lagi, Kayla tidak akan mengejar.
Dan itu jauh lebih menakutkan daripada tangisan atau amarah.
***
Pagi hari datang dengan cahaya lembut yang menyusup dari balik tirai jendela. Nathan sudah bangun sebelum alarm berbunyi. Ia berdiri di depan lemari, membuka satu laci, mengambil beberapa pakaian santai. Baju putih, celana linen abu-abu. Satu jaket tipis. Ransel kecil ia siapkan di sisi tempat tidur.
Ia tak tahu apakah benar akan berangkat. Tapi ia tahu, ia harus datang.
Di dapur, ia menyeduh kopi hitam. Diminum separuh saja, lalu dibiarkan dingin. Ada hal lain yang lebih penting daripada pagi yang sempurna.
Ia mengambil ponsel, mengetik pelan.
[Aku otw jam sembilan, ya. Kita bisa sarapan bareng dulu.]
Pesan itu dikirim, lalu ia ambil kunci mobil. Tidak ada keraguan. Tidak ada skenario cadangan.
Tujuannya hanya satu.
***
Di sisi lain kota, Kayla masih terduduk di depan koper yang setengah terbuka. Isinya belum banyak, dua pasang baju ganti, satu kotak kecil berisi skincare, dan satu buku bacaan yang entah akan sempat ia baca atau tidak.
Ia belum benar-benar memutuskan akan pergi. Tapi sejak semalam, ada bagian dalam dirinya yang bilang, tunggu saja dulu.
Ketukan pelan di pintu apartemen membuat jantungnya berdebar.
Ia menoleh ke arah jam dinding.
Tepat pukul sembilan.
Kayla berdiri, tidak terburu-buru. Ia buka pintu pelan. Di sana, Nathan berdiri. Tidak membawa bunga. Tidak membawa tas besar.
Hanya satu ransel di pundak, dan senyum kecil yang terlihat sungguh-sungguh.
"Kalau kamu belum siap, kita duduk dulu aja," ucapnya pelan.
Kayla menatapnya beberapa detik. Lalu mengangguk kecil.
Nathan masuk begitu pintu dibuka, langsung menuju meja makan dengan langkah hati-hati. Ia meletakkan ransel di dekat sofa, lalu berkata dengan nada ringan, "kamu udah makan? Kamu mau makan apa biar aku pesanin."
“Aku udah makan. Tadi sempat masak nasi goreng," jawab Kayla, masih membelakangi Nathan. Jemarinya sibuk menyusun pakaian ke dalam koper. "Kalau kamu mau, aku ambilin."
Nathan menatap punggung Kayla sejenak sebelum mengangguk meski tak terlihat. "Boleh. Tapi nggak usah repot, aku ambil sendiri aja."
Ia berjalan pelan ke dapur. Langkahnya seperti mencoba untuk tidak mengganggu, padahal kehadirannya sendiri sudah cukup mengisi seluruh ruang dengan kecanggungan yang samar.
Dari dapur terdengar suara lemari dibuka, piring ditaruh, sendok diketuk. Kayla tak menghentikan aktivitasnya. Koper sudah setengah terisi, tapi tidak ada satupun pakaian yang tampak cocok untuk "liburan." Semua terlalu seadanya.
Nathan kembali ke meja makan, membawa sepiring nasi goreng yang dipanaskan sebentar di microwave. Ia duduk. Tapi tidak langsung makan.
"Kamu bawa baju berapa hari?" tanyanya akhirnya, mencoba mencairkan suasana.
"Dua hari. Aku kira… itu cukup."
Nathan mengangguk pelan. "Aku bawa satu ransel. Isinya kayaknya cuma kaos, jaket, sama harapan."
Kalimat terakhir itu dikeluarkannya dengan tawa pelan, tapi tak ada tanggapan dari Kayla. Bukan karena marah, tapi karena belum tahu harus menanggapi sebagai apa.
Ia menoleh sebentar ke arahnya. "Aku nggak tahu perjalanan ini bakal jadi titik balik, atau cuma jeda sebelum hancur. Tapi aku nggak mau pulang nanti dan nyesel karena nggak nyoba."
Kayla berhenti melipat baju. Pundaknya turun perlahan. Ia tidak menoleh, tapi suaranya terdengar lebih pelan, lebih jujur.
"Aku juga nggak mau berangkat kalau tujuannya cuma biar kamu nggak ngerasa bersalah."
Nathan meletakkan sendoknya. Ia menatap meja, berpikir, lalu berkata, "Kalau tujuanku cuma biar rasa bersalahku hilang, aku bisa tinggal di rumah, ngurung diri, atau kerja lagi sampai lupa. Tapi aku datang ke sini. Karena aku masih pengin ada kita. Meskipun... aku sadar yang kamu rasain sekarang bukan tentang aku, tapi tentang janji-janji yang tidak Sanggyp aku tepati."
Kayla tak menjawab. Tapi ia berjalan ke koper, menutupnya pelan, lalu menarik ritsleting sampai rapat.
Lalu, ia menoleh. "Kalau kamu udah selesai makan, bantuin turunin koper ke bawah, ya."
Dan di balik kalimat praktis itu, ada keputusan yang tidak praktis untuk tetap mencoba.
Nathan berdiri. Wajahnya tetap tenang, tapi matanya sedikit berkaca.
Perjalanan belum dimulai. Tapi mereka berdua tahu, ini bukan soal ke mana mereka pergi.
Tapi ke mana mereka ingin kembali.
Begitu sendok terakhir diletakkan di piring, Nathan berdiri. Ia merapikan kursinya, lalu dengan gerakan ringan mengambil koper Kayla. Tak ada drama. Tak ada tatapan penuh makna.
Hanya dua orang yang memilih berjalan bersama, meski belum sepenuhnya sembuh.
Di parkiran bawah, Nathan membuka pintu bagasi dan memasukkan koper ke dalam. Kayla duduk di kursi penumpang tanpa banyak bicara. Tangannya memeluk tas selempang kecil. Matanya menatap jalanan.
Mobil melaju perlahan keluar dari basement. Udara pagi masih segar, dan matahari belum terlalu tinggi. Lagu dari playlist Nathan mengalun pelan di dalam mobil, tapi tak ada yang benar-benar mendengarkannya.
Hening masih mendominasi. Tapi bukan hening yang kaku.
Lebih seperti... ruang. Ruang untuk berpikir. Ruang untuk menata ulang perasaan yang sempat berantakan.
"Aku pesen vila kecil," ujar Nathan akhirnya, memecah keheningan. "Di daerah pegunungan. Nggak jauh, tapi cukup sepi."
Kayla hanya mengangguk. "Hmm."
"Kalau nanti kamu ngerasa nggak nyaman, kita bisa pulang kapan aja," lanjut Nathan, tanpa menoleh.
"Aku tahu."
Jawaban itu singkat, tapi cukup. Nathan tak mendesak lebih jauh.
Mereka melewati jalan tol, lampu-lampu jalan mulai berganti bayangan pohon. Kota makin lama makin jauh di belakang mereka. Tapi pikiran masing-masing masih tertinggal separuh di sana.
Setelah beberapa menit, Kayla berbicara, nyaris seperti gumaman.
"Kamu tahu... aku belum yakin ini akan memperbaiki segalanya."
"Aku juga belum yakin," jawab Nathan, nadanya pelan, nyaris seperti bicara ke dirinya sendiri. "Tapi yang aku percaya... kesalahan-kesalahan aku nggak seberat itu, Kay. Dulu, waktu aku masih sering keluyuran dan nggak mikirin masa depan, kamu bisa sabar. Bisa ngerti. Sekarang... aku justru sibuk kerja. Buat kita. Tapi kenapa malah rasanya jadi makin jauh?"
Ia terdiam sebentar, lalu menambahkan, lebih lirih.
"Aku bukan sibuk main. Aku lagi berusaha jadi orang yang kamu bayangin waktu kamu mutusin bertahan."
Kayla menoleh pelan. Pandangannya datar, tapi matanya tidak.
"Aku ngerti kamu sibuk buat masa depan. Tapi masa depan siapa dulu, Nat? Kalau aku aja ngerasa sendirian terus... itu masa depan yang kamu bangun buat kita, atau cuma buat kamu?"
Ia menghela napas, tapi suaranya tetap tenang.
"Aku ngasih kamu pemakluman dulu karena waktu itu aku tahu kamu masih nyari arah. Tapi sekarang... kamu udah bilang sendiri, kamu lagi belajar jadi suami. Dan jadi suami itu bukan cuma soal pulang kerja bawa uang atau sesekali ngajak liburan."
Nathan ingin menyela, tapi Kayla menambahkan,
"Aku nggak butuh hadiah. Aku butuh hadir. Dan kadang yang nggak hadir itu bukan tubuh kamu, tapi cara kamu denger aku. Nggak semua kecewa itu bisa sembuh cuma karena kamu datang dan bilang 'aku minta maaf'."
Nathan tidak langsung menjawab.
Tapi wajahnya berubah. Bukan karena marah, melainkan karena akhirnya mengerti sesuatu yang dulu tak pernah ia sadari. Ia membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Butuh waktu untuk meresapi kata-kata Kayla.
"Aku nggak nyangka... aku selama ini tidak benar-benar hadir buat kamu."
Suaranya pelan, nyaris seperti gumaman untuk diri sendiri.
Kayla tidak menanggapi. Ia menoleh ke luar jendela. Jalanan masih panjang. Tapi entah kenapa, suasana di dalam mobil terasa sedikit lebih jujur dari sebelumnya.
Nathan menghela napas. Tangannya menggenggam setir lebih erat.
Baru semalam ia bertekad ingin memulai hubungan mereka dari awal.
Tapi pagi ini, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa niat baik saja tidak selalu cukup.
Ia datang dengan harapan bisa memperbaiki, tapi disambut oleh sikap Kayla yang datar. Bukan dingin, bukan marah. Tapi… kosong.
Dan itu justru yang paling menyesakkan.
Apakah usahanya tidak cukup?