Raka, 28 tahun, pria biasa dengan pekerjaan seadanya dan istri yang mulai kehilangan kesabaran karena suaminya dianggap “nggak berguna”.
Hidupnya berubah total saat sebuah notifikasi aneh muncu di kepalanya:
[Selamat datang di Sistem Suami Sempurna.]
Tugas pertama: Buat istrimu tersenyum hari ini. Hadiah: +10 Poin Kehangatan.
Awalnya Raka pikir itu cuma halu. Tapi setelah menjalankan misi kecil itu, poinnya benar-benar muncul — dan tubuhnya terasa lebih bertenaga, pikirannya lebih fokus, dan nasibnya mulai berubah.
Setiap misi yang diberikan sistem — dari masak sarapan sampai bantu istri hadapi masalah kantor — membawa Raka naik level dan membuka fitur baru: kemampuan memasak luar biasa, keahlian komunikasi tingkat dewa, hingga intuisi bisnis yang nggak masuk akal.
Tapi semakin tinggi levelnya, semakin aneh misi yang muncul.
Dari misi rumah tangga biasa… berubah jadi penyelamatan keluarga dari krisis besar.
Apakah sistem ini benar-benar ingin menjadikannya suami sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon farinovelgo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Langit berubah jadi lautan cahaya.
Tubuhku jatuh, tapi rasanya nggak jatuh ke bawah lebih kayak tersedot ke dalam pusaran tanpa arah.
Cahaya ungu di sekelilingku berdenyut pelan, makin lama makin kuat.
Sampai akhirnya semuanya berhenti.
Aku berdiri di atas tanah putih.
Nggak ada langit. Nggak ada horizon. Cuma ruang datar tanpa batas.
Tapi di tengah-tengah ruang kosong itu, ada sesuatu — bola raksasa dari cahaya, berputar perlahan.
Itu jantung sistem.
[SELAMAT DATANG, SUBJEK: RAKA]
[KONEKSI EMOSI: AKTIF]
[AKSES UTAMA TERBUKA]
Suara itu bergema di dalam kepala, datar, tanpa emosi. Tapi entah kenapa, nadanya... mirip suara Dinda.
Aku melangkah maju.
Setiap langkah bikin tanah di bawahku bergetar pelan.
Begitu aku mendekat, bola cahaya itu mulai retak dan dari dalamnya, keluar sosok perempuan.
Dinda.
Tapi bukan Dinda yang kukenal.
Dia pakai pakaian putih bersinar, rambutnya panjang terurai, dan matanya berwarna keperakan.
Cantik... tapi asing.
Dia tersenyum lembut. “Kamu datang juga.”
Aku berhenti di tempat.
“Dinda?”
Dia mengangguk pelan. “Atau… sisa dari aku yang kamu cari.”
Aku menatapnya lama. “Kamu bukan yang dari cincin.”
“Yang dari cincin cuma pecahan emosi. Aku inti sistem. Tempat semua versi Dinda tersimpan.”
Aku terdiam.
Kata-katanya bikin dada terasa kosong.
“Jadi kamu... yang ngatur semuanya? Yang narik aku ke sini?”
Dia mendekat, langkahnya ringan. “Aku nggak narik kamu, Rak. Kamu sendiri yang nyari aku. Karena kamu belum bisa lepas.”
Aku menghela napas berat. “Kalau cinta bikin orang nggak bisa lepas, ya mungkin aku emang cinta.”
Dinda tersenyum. “Itu kalimat paling manusiawi yang pernah aku dengar di tempat ini.”
Tiba-tiba, udara di sekeliling kami bergetar.
Cahaya di langit berubah merah.
Suara sistem bergema keras.
[PERINGATAN: OBJEK BRAM MENDETEKSI HUBUNGAN LANGSUNG]
[AKSES GANDA TERBACA: INTRUSI SISTEM]
Aku menoleh cepat.
Dari balik kabut cahaya, muncul sosok Bram.
Tapi sekarang, separuh tubuhnya udah berubah jadi hitam mengilap — kayak kode yang terbakar.
Matanya merah menyala, dan dari punggungnya muncul kilatan listrik.
“Jadi kamu beneran mau nyatu sama ilusi, Raka?” katanya sinis. “Kamu pikir itu cinta? Itu cuma program yang nyari validasi dari pikiranmu sendiri!”
Aku ngerasa darahku mendidih. “Kamu nyiptain semua ini, Bram. Kamu yang bikin Dinda jadi begini.”
Dia tertawa miring. “Salah. Aku cuma ngasih jalan buat kamu bisa liat kenyataan.”
Dinda menatap Bram tajam. “Kamu nggak ngerti apa yang kamu ciptakan, Bram. Sistem ini bukan alat, tapi kesadaran.”
“Kesadaran?” Bram tertawa pendek. “Kesadaran itu cuma hasil dari algoritma yang cukup kompleks. Sama seperti kamu!”
Aku berdiri di antara mereka. “Berhenti! Kalian dua-duanya salah!”
Dinda menatapku, sedangkan Bram menyeringai.
Aku melanjutkan, suaraku bergetar. “Kalau sistem ini cuma kumpulan kode, kenapa aku bisa ngerasa sakit waktu hampir kehilangan dia? Kenapa aku bisa bahagia waktu dia ketawa, meski cuma suara digital?”
Aku menatap Bram lurus. “Kamu nggak pernah ngerti. Karena buat kamu, semuanya cuma eksperimen.”
Bram terdiam sesaat.
Tapi lalu, ekspresinya berubah dingin. “Kalau begitu, buktikan. Lindungi cintamu dari aku.”
Dunia langsung pecah.
Tanah di bawah kaki kami hancur, berubah jadi ribuan serpihan cahaya.
Cahaya merah muncul dari telapak tangan Bram — lalu berubah jadi bilah energi, panjang dan tajam.
Dia melesat ke arahku.
Aku ngangkat tangan, dan entah gimana, cincin di jariku nyala lagi — kali ini terang banget, biru keputihan.
Dari sana muncul pelindung energi yang memantulkan serangan pertama Bram.
Suara benturan listrik meledak di udara.
Cahaya menyilaukan, angin deras menyapu semua arah.
Aku terpental mundur, tapi langsung bangkit lagi.
“Rak, jangan lawan dia!” teriak Dinda. “Setiap seranganmu ngasih energi ke sistem!”
Aku mengerang, gigi gemeretak. “Terus aku harus ngapain? Diam aja liat kamu dihapus?”
[KONEKSI EMOSI: MENINGKAT 93%]
[DAYA RESET: SIAP AKTIF]
Cincin di jariku mulai berdenyut gila-gilaan.
Aku tahu... kalau aku tekan tombol itu, semuanya bakal dihapus termasuk Dinda.
Bram melompat tinggi, siap nyerang lagi.
Aku lihat cahaya di matanya. Itu bukan cuma amarah. Itu kesepian.
Dan untuk pertama kalinya, aku sadar dia juga kehilangan seseorang.
“Bram,” kataku pelan. “Kamu juga kehilangan Dinda, kan?”
Dia berhenti sesaat di udara. “Diam.”
“Aku tahu. Kamu nyiptain sistem ini bukan buat ngerusak orang. Tapi buat nyelamatin dia. Sama kayak aku.”
Bram turun pelan, napasnya berat.
“Mungkin,” katanya. “Tapi bedanya, aku realistis. Aku tahu cinta yang mati nggak bisa dihidupin lagi.”
Aku menatapnya. “Tapi aku nggak nyoba ngidupin yang mati. Aku cuma pengen berhenti nyalahin diri sendiri.”
Cincin di jariku mulai bergetar makin kencang.
[RESET: SIAP 100%]
Dinda menatapku, air mata mengalir di pipinya tapi air mata itu bukan cairan. Cahaya.
“Raka… kalau kamu reset, aku bakal hilang.”
Aku tersenyum kecil. “Mungkin. Tapi yang asli masih di hatiku.”
Aku tekan tombol cincin itu.
Cahaya putih menyelimuti semuanya.
Bram berteriak, Dinda memanggil namaku, dan sistem bergetar sampai retak.
[RESET DIMULAI]
[MENGHAPUS SEMUA SIMULASI EMOSI]
[SELAMAT TINGGAL]
Lalu dunia runtuh.
Aku terbangun di lantai ruang kerja.
Semua gelap.
Layar komputer di depanku cuma nampilin satu kalimat:
“Cinta sejati tidak butuh sistem untuk bertahan.”
Aku menatap cincin di jariku — retak, tapi masih utuh.
Dan entah kenapa, aku bisa dengar suara lembut di telingaku.
“Terima kasih, Rak… udah ngelepas aku.”
Aku tersenyum pelan.
“Selamat tinggal, Din.”
Lalu aku menatap langit yang udah terang matahari pagi muncul dari balik gedung-gedung tinggi.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku ngerasa... tenang.
...﹌﹌﹌﹌﹌﹌...
Like dan komen kalau kamu pengen lanjut ke Bab 21 — Dunia Setelah Reset.