Aisyah yang mendampingi Ammar dari nol dan membantu ekonominya, malah wanita lain yang dia nikahi.
Aisyah yang enam tahun membantu Ammar sampai berpangkat dicampakkan saat calon mertuanya menginginkan menantu yang bergelar. Kecewa, karena Ammar tak membelanya justru menerima perjodohan itu, Aisyah memutuskan pergi ke kota lain.
Aisyah akhirnya diterima bekerja pada suatu perusahaan. Sebulan bekerja, dia baru tahu ternyata hamil anaknya Ammar.
CEO tempatnya bekerja menjadi simpatik dan penuh perhatian karena kasihan melihat dia hamil tanpa ada keluarga. Mereka menjadi dekat.
Beberapa waktu kemudian, tanpa sengaja Aisyah kembali bertemu dengan Ammar. Pria itu terkejut melihat wajah anaknya Aisyah yang begitu mirip dengannya.
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah Ammar akan mencari tahu siapa ayah dari anak Aisyah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Sarapan Pagi yang Istimewa
Pagi ini, sinar matahari mulai memasuki celah-celah tirai jendela kamar Alby dan Aisyah, menciptakan pola cahaya yang indah di lantai kayu. Alby sudah bangun lebih awal, lebih awal dari biasanya, bahkan sebelum suara burung-burung berkicau ramah. Dengan langkah pelan, dia meninggalkan tempat tidur dan menuju ke dapur.
Alby membuka kulkas, mengeluarkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk sarapan. "Hari ini aku mau buat sesuatu yang istimewa," gumamnya pada diri sendiri sambil tersenyum. "Aku ingin buat kejutan di hari pertama Aisyah menjadi istriku."
Berbekal roti tawar, telur, dan sayur-sayuran yang ada di kulkas, Alby mulai mengolah bahan-bahan itu. Dia memutuskan untuk membuat roti bakar dengan telur orak-arik dan sayuran, serta segelas susu hamil untuk Aisyah yang tengah mengandung. Da tahu Aisyah sangat menyukai susu hangat dengan rasa vanilla.
Setelah mempersiapkan semua, Alby memutuskan untuk menyalakan kompor. Aroma mentega yang meleleh di atas wajan menambah suasana hangat di pagi itu. Dia menyusun roti tawar di atas wajan. Roti-roti itu segera berubah menjadi emas kecokelatan yang menggoda selera.
Berbekal bakat memasak yang diajarkan ibunya, Alby menambahkan sedikit garam dan merica ke dalam telur yang sudah dipecahnya. Dia mengaduknya perlahan-lahan hingga telur tercampur sempurna, lalu menambahkannya ke dalam wajan. Tak lama kemudian, wajan itu menghiasi dapur dengan aroma harum telur yang dimasak.
Sambil memotong sayuran segar seperti tomat, bayam, dan bawang bombay, Alby merasa semangatnya semakin menggebu. Dia membayangkan betapa senangnya Aisyah saat melihat semua yang sudah disiapkan untuknya. Setiap sayuran yang dipotongnya adalah harapan dan cinta yang ia tanam untuk masa depan keluarga kecil mereka.
"Semoga Aisyah suka dengan apa yang aku buat," gumam Alby dengan dirinya sendiri.
Setelah semua masakan siap, Alby memindahkan roti bakar ke piring besar yang sudah dia siapkan. Telur orak-arik dan sayuran juga tak lupa ditata dengan rapi. Dia berusaha menjadikan hidangannya semenarik mungkin, meskipun dia tahu Aisyah tidak akan terlalu memperhatikan tampilan. Yang terpenting adalah rasa dan ketulusan yang ada di dalamnya.
Sudah setengah jam berlalu, Alby berjalan menuju lemari es, mengeluarkan susu segar yang sudah ia siapkan sebelumnya. Ia menuangkan susu ke dalam gelas, menambahkan sedikit gula dan sedikit aroma vanilla. "Susu hangat ini pasti jadi favorit Aisyah," pikirnya. Setelah itu, ia menuangkan susu ke dalam panci kecil dan memanaskannya di atas kompor.
Ketika susu mulai beruap, Alby teringat saat pertama kali mereka bertemu. Wajah Aisyah yang ceria dan tawanya yang menghangatkan hatinya. Sejak saat itu, momen bersamanya selalu terasa spesial. Sekarang, mereka telah resmi menjadi suami istri.
Akhirnya, Alby sukses mempersiapkan sarapan. Dia merasa sangat puas dengan hasil kerjanya. Sebuah pemandangan indah tersaji di atas meja makan. Roti bakar yang menggiurkan, telur orak-arik plus sayur segar, dan segelas susu hangat siap mewarnai pagi mereka yang cerah.
Setelah semua siap dihidangkan, Alby berjalan ke arah kamar. Dia mengetuk pintu pelan. "Aisyah, Sayang ... sarapan sudah siap. Ayo bangun, Sayang!" Suara Alby begitu lembut, berharap dapat membangunkan Aisyah.
Melihat istrinya belum juga bangun, Alby lalu naik ke ranjang. Dia ikut berbaring dengan posisi miring.
Alby lalu mengecup dahi pipi dan hidung Aisyah secara bergantian, lalu bibirnya di kecup dengan lembut. Akhirnya sang istri membuka matanya.
Aisyah terkejut menyadari wajah mereka begitu dekatnya. Dia lalu menutup wajahnya.
"Kenapa di tutup, Sayang?" tanya Alby.
"Aku malu," jawab Aisyah dengan suara yang masih serak karena baru bangun tidur.
"Kenapa malu? Kamu sangat cantik."
Wajah Aisyah memerah mendengar pujian suaminya. Ternyata pria itu sangat bisa membuat dirinya melayang dengan segala pujiannya.
"Bangunlah! Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu," ucap Alby.
"Aku mandi dulu," balas Aisyah.
"Jangan lama-lama. Takut keburu dingin. Aku tunggu kamu di meja makan," ucap Alby. Sebelum pergi dia mengecup pipi istrinya.
Setelah mandi dan pakaian rapi, Aisyah keluar dari kamar. Ketika Aisyah melangkah ke dapur, dia terkejut melihat meja yang sudah dipenuhi makanan. Dia pikir hanya akan ada satu sarapan dan pastinya dibeli. Tapi, ini semua tampak dibuat sendiri.
"Mas, apa kamu yang masak semua ini?" tanya Aisyah.
Alby tersenyum lebar, "Iya, aku ingin kamu mendapatkan sarapan terbaik pagi ini. Semoga kamu suka."
Aisyah memandang sarapan itu dengan penuh rasa syukur. Roti bakar warna kecokelatan, telur orak-arik dan sayuran segar terlihat menggugah selera. "Mas ... kenapa jadi kamu yang masak buatku, seharusnya aku yang masak untukmu."
“Tak masalah, Aisyah. Aku hanya ingin membuat kamu bahagia dan terjaga kesehatannya. Apalagi sekarang kamu sedang mengandung si kecil,” jawab Alby dengan nada ceria.
Mata Aisyah berbinar penuh rasa cinta dan kebahagiaan. Dia tak menyangka jika bisa mendapatkan pria yang jauh lebih baik dari Ammar. Senyumnya merekah, membuat Alby merasakan betapa berharga momen ini. Kisah cinta mereka yang dimulai dengan lambat kini semakin menghangat, membawa mereka ke dalam sebuah rumah yang penuh cinta.
“Makasih ya, Mas. Aku tak tau harus berkata apa lagi. Yang pasti aku bahagia dengan kejutan di pagi pertama aku menjadi istrimu,” balas Aisyah, duduk di kursi dan mulai melahap sarapan yang disiapkan suaminya.
Saat suapan pertama masuk ke mulutnya, Aisyah mengedarkan matanya, “Hmm ... ini enak banget, Mas! Roti bakarnya crispy, telurnya juga pas banget! Kamu memang jagonya!”
Alby tersenyum bangga, “Akhirnya, aku bisa jadi suami yang baik untukmu. Dan ini baru awal, masih banyak yang ingin aku lakukan untuk kita.”
Mereka melanjutkan sarapan yang sarat cinta itu dengan obrolan hangat. Aisyah menceritakan harapannya akan kehamilan ini, bagaimana ia membayangkan si kecil akan tumbuh sehat dan kuat. Alby mendengarkan dengan seksama, sesekali mencuri pandang ke wajah istri tercintanya yang terlihat bersinar.
Saat perut mereka mulai kenyang, Aisyah menenggak segelas susu hangat, merasakan kehangatan yang menyelimutinya. Alby menatap Aisyah dengan penuh cinta. “Aku akan selalu ada di sini untuk kamu dan si kecil. Setiap hari akan jadi lebih baik, percayalah!”
Aisyah terharu, “Aku percaya. Dan aku bahagia memiliki kamu di sampingku.”
Dengan ciuman lembut di pipi Aisyah, Alby merasa dunia mereka sempurna. Momen sederhana di dapur pagi itu adalah kenangan yang akan selalu melekat dalam hati mereka.
Begitu sarapan selesai, Aisyah ingin membereskan meja dari piring-piring kotor. Namun, Alby melarang, “Biarkan aku yang mengurusnya kali ini. Kamu istirahat saja, Sayang.”
"Mas, kalau semua kamu yang kerjakan, aku gimana?" tanya Aisyah.
"Kamu istirahat saja. Hari ini semua pekerjaan rumah aku yang lakukan. Sayang, untuk saat ini aku tak memakai jasa pembantu. Aku masih ingin menghabiskan waktu berdua saja denganmu, apa kamu keberatan?" tanya Alby.
'Tak apa, Mas. Kita hanya berdua. Masih belum membutuhkan bantuan," jawab Aisyah.
Alby lalu meminta Aisyah duduk di sofa ruang keluarga. Awalnya dia tak mau, tapi suaminya memaksa. Dia lalu meninggalkan pria itu di dapur sendiri.
Sementara itu, di rumah lain, tampak Ammar yang telah rapi dengan pakaian dinasnya. Dia tak melihat istrinya, biasanya wanita itu masih bergulung dengan selimut.
Ammar keluar kamar menuju dapur. Dia tak juga melihat keberadaan sang istri. Dia lalu bertanya dengan bibi, "Bi, Bu Mia kemana?"
"Bu Mia pergi olahraga, Pak," jawab Bibi.
"Oh, gitu ya." Ammar lalu menarik kursi untuk tempat duduknya. Dia tampak menarik napas berat. "Entah sampai kapan aku bisa bertahan dalam rumah tangga begini. Aku juga ingin memiliki keluarga yang bahagia," gumam Ammar dalam hatinya.
Jadi tetap sabar Alby jngn terpancing dan jadi ikutan emosi , yang calm By semua nya akan baik baik saja