Update setiap hari!
Leon Vargas, jenderal perang berusia 25 tahun, berdiri di medan tempur dengan tangan berlumur darah dan tatapan tanpa ampun. Lima belas tahun ia bertarung demi negara, hingga ingatan kelam tentang keluarganya yang dihancurkan kembali terkuak. Kini, ia pulang bukan untuk bernostalgia—melainkan untuk menuntut, merebut, dan menghancurkan siapa pun yang pernah merampas kejayaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18 Wibawa seorang jenderal
Semua orang membeku. Mulut-mulut terbuka, napas tercekat. Para polisi yang tadi mengokang senjata kini gemetar, sebagian tak percaya dengan apa yang mereka saksikan.
June sendiri hanya bisa menggigit jarinya, tak menyangka situasi akan berubah drastis dari rencananya.
Gerald berdiri tegak di atas tubuh Victor yang meringkuk kesakitan, tangannya masih mengepal, wajahnya gelap menahan emosi.
"Siapa yang memberimu keberanian untuk berlaku seenaknya?!" Suara Gerald menggelegar, dingin bagaikan palu besi menghantam dada setiap orang.
BRUKH!
Tendangan keras Gerald mendarat di perut Victor yang masih terkapar. Tubuh sang Kepala Kepolisian terangkat dari lantai sebelum jatuh menghantam ubin dengan suara dentuman.
“ARGHHHH!!” jeritan Victor menggelegar, bercampur suara batuk dan darah segar.
Gerald tidak berhenti. Ia menarik kerah seragam Victor yang penuh bercak darah, mengangkatnya dengan satu tangan seolah tubuh itu hanyalah boneka tak berdaya.
BUGHHH!!
Tinju Gerald kembali menghantam wajah Victor, membuat gigi-giginya hancur berhamburan.
DUMMM!
Victor terhempas lagi, kepalanya hampir menghantam dinding jika tidak terhenti oleh lantai marmer. Darah mengalir deras, tubuhnya menggeliat lemah.
Seluruh pasukan membeku. Tak seorang pun berani mengangkat senjata. Semua tahu—jika mereka ikut campur, maka hidup mereka akan hancur seperti kapten mereka.
Garka melirik Leon dengan wajah pucat. “A-apa yang sebenarnya terjadi, Leon? Kenapa seorang Komandan legendaris menghajar Kapten polisi kota seperti sampah…?”
Namun Leon tetap berdiri diam. Tatapannya dingin, datar, seakan tak peduli dengan drama yang sedang berlangsung. Ia sama sekali tidak menjawab.
Gerald, dengan napas berat, menatap Victor yang kini tergeletak penuh darah. "Cuih, menjijikan," ucapnya sambil meludah. Ia kemudian melangkah menghampiri Leon.
Dan—hal yang tak pernah dibayangkan siapapun terjadi.
Gerald menundukkan badannya sedikit, lalu berkata dengan suara dalam, penuh penyesalan: “Mohon maaf sedalam-dalamnya… atas semua kekacauan ini.”
Semua orang terperanjat. Mulut-mulut terbuka, para pasukan saling pandang, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.
Komandan Gerald Volbrecht… meminta maaf pada seorang pemuda asing yang tak dikenal siapa pun?
N’Kosi, yang sudah terbiasa dengan kerasnya medan perang, bahkan sampai terdiam kaku. Garka menelan ludah, bulu kuduknya meremang.
Leon tidak menjawab. Ia hanya menatap Gerald, tatapannya tajam, menusuk langsung ke jantung sang Komandan.
Gerald menegang, keringat dingin mulai menetes di pelipisnya. Tatapan itu membuat tubuhnya serasa membeku. 'Aku baru ingat... dia… dia sedang menyembunyikan identitasnya. Aku tidak boleh membuka mulut sembarangan kalau tidak ingin mati!'
Gerald memalingkan wajah, berdeham keras, lalu menghadap semua orang. Dengan suara lantang ia berkata: “Anak muda ini adalah…”
Hening. Semua menunggu.
Gerald menggertakkan giginya, lalu dengan terpaksa mengucapkan: “…calon menantuku!”
“APA?!!”
Suara keterkejutan menggema. Para perwira, pasukan polisi, bahkan N’Kosi dan Garka sama-sama tercengang.
Gerald merasakan punggungnya dingin oleh tatapan Leon, keringat mengalir deras di dahinya. Dalam hati ia berdoa lirih: 'Maafkan saya, Jenderal… Saya tidak tahu alasan apa lagi yang bisa saya gunakan…'
Dengan cepat ia mengalihkan perhatian. Pandangannya jatuh pada Victor yang masih terkapar. Suaranya kembali menggelegar, penuh otoritas.
“Victor telah melanggar kode etik sebagai perwira! Ia menerima suap untuk menjalankan operasi ini. Malam ini juga, ia diturunkan jabatannya!”
“APA?!! Ughaarkh!!” Victor mencoba berteriak, namun hanya darah yang keluar dari mulutnya.
June, yang sejak tadi menyaksikan, akhirnya berdecak kesal. “Tsk. Benar-benar kacau…” gumamnya.
Ia mulai melangkah mundur, tapi Gerald langsung menuding tajam ke arahnya.
“TUAN JUNE D’ARVENNE! Anda dicurigai terlibat dalam tindak suap dan perdagangan manusia. Anda akan ikut bersama kami ke kantor polisi untuk diperiksa.”
Beberapa polisi yang tadinya bingung langsung bergerak, mendekat ke arah June. Mereka memborgol tangannya dengan rantai baja.
June tidak memberontak. Senyum licik tipis terukir di wajahnya. Tatapannya, dingin, penuh kebencian, terarah pada Leon.
“Jangan kira… ini sudah berakhir.” suaranya pelan namun menusuk, sebelum akhirnya dibawa keluar oleh para polisi.
Lorong gedung kini dipenuhi langkah berat tim medis. Garka, N’Kosi, dan keluarganya dibawa dengan tandu, tubuh mereka penuh perban darurat. Para perawat dan petugas medis sibuk memberikan suntikan serta menekan luka mereka.
Di sisi lain, para polisi yang tersisa dengan cekatan menangkap anak buah June. Bukti kejahatan yang menjeratnya—dokumen transaksi, daftar nama korban, bahkan catatan rahasia perdagangan manusia—disita sebagai barang bukti. Tidak ada celah bagi June untuk lolos.
Satu per satu, keributan mereda. Ruangan besar itu perlahan menjadi sunyi.
Kini hanya tersisa dua orang. Leon, berdiri tegap dengan tatapan datar. Dan Gerald, yang menelan ludah gugup.
BRAKK!
Tanpa peringatan, Gerald menjatuhkan tubuhnya ke lantai dan berlutut di hadapan Leon. Kepala seorang Komandan legendaris itu merunduk rendah, seakan seluruh harga diri militernya dilucuti.
Aura bijaksana dan wibawanya lenyap. Yang tersisa hanyalah sosok seorang pria yang penuh rasa bersalah.
“Maafkan saya, Jenderal Alexander Kruger!” suara Gerald bergetar. “Saya terlambat datang. Saya tidak tahu jika Anda berada di kota ini… Federasi Militer menghubungi saya, memberi kabar tentang keberadaan Anda. Saya seharusnya bisa datang lebih cepat… saya seharusnya bisa mencegah semua kekacauan ini!”
Napas Gerald tersengal, namun ia terus bicara dengan penuh penyesalan.
“Saya menyesalkan tindakan Victor, dan saya bersumpah akan mengambil tindakan tegas padanya. Tidak ada satu pun perwira yang boleh mencoreng nama besar Anda, apalagi di hadapan orang-orang sipil.”
Leon masih terdiam. Tatapannya menusuk, namun tidak marah. Akhirnya ia menghela napas panjang, seakan menumpahkan semua kekesalan yang selama ini ia simpan.
“Bangkitlah, Gerald.” suaranya dalam namun tenang. “Aku bukan lagi seorang Jenderal perang. Tidak perlu bersikap seperti itu padaku.”
Gerald mengangkat wajahnya, matanya memerah. Ia menggeleng cepat.
“Tidak, Jenderal. Tidak bagi saya.” suaranya tegas, meski tubuhnya bergetar. “Bagaimanapun, di dalam hati saya, Anda tetaplah orang yang paling saya hormati. Anda bukan hanya seorang pemimpin… tapi juga penyelamat nyawa saya.”
Kenangan kelam menari di pelupuk mata Gerald.
“Dulu, saat saya masih kapten pasukan… saya memimpin tim dalam sebuah operasi rahasia. Kami dikepung, saya ditangkap dan disandera oleh musuh. Saat itu, saya sudah kehilangan harapan… sampai Anda datang.”
Wajah Gerald bergetar, suaranya serak.
“Anda sendirian menembus markas musuh, membantai mereka satu per satu. Dan akhirnya, Anda membebaskan saya. Sejak hari itu… saya bersumpah mengabdikan hidup saya untuk Anda, Jenderal Kruger.”
Leon menatap Gerald lama. Sorot matanya dalam, tapi tidak lagi menekan seperti sebelumnya.
“Aku tidak akan mempermasalahkan caramu memandangku, Gerald,” ucap Leon akhirnya.
Gerald mengangkat kepala perlahan, menatap pada sosok yang ia anggap panutannya.
“Federasi militer memberi kabar… bahwa Anda sudah pensiun. Berita itu tidak disebarluaskan demi mencegah perhatian negara lain. Mereka ingin menjaga nama besar Anda tetap menjadi legenda—tidak terikat oleh intrik politik.”
Leon mengangguk pelan. “Benar. Dan… aku juga sudah mendapatkan kembali ingatanku. Namaku sekarang adalah Leon Vargas. Jangan pernah panggil aku Alexander Kruger… kecuali dalam urusan militer.”
Gerald menunduk dalam, penuh hormat. “Baik, Jender—eh, Leon Vargas.” Ada nada canggung di suaranya, tapi ketulusan tergambar jelas.
Keduanya kemudian melangkah keluar dari aula yang kini sunyi. Langkah mereka berdampingan, meski jarak wibawa tetap terasa.
ayooo muncullah!!!
gmn malu'a klu tau angeline anak si komandan🤭😄
ternyata sang komandan telah mengenal leon
ah, leon akhir'a dpt sekutu