JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!
Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.
Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.
Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.
Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13. BERKUNJUNG
Hari-hari setelah malam penuh kengerian itu berjalan seperti mimpi samar bagi Sadewa. Rasa dingin yang dahulu menghantui setiap kali ia memejamkan mata mulai berangsur pergi, meski bayangan makhluk-makhluk menyeramkan itu masih sesekali muncul di benaknya. Namun, berbeda dengan sebelumnya, kali ini ia merasa memiliki pegangan, Arsel dan Tama. Dua sosok asing yang datang begitu tiba-tiba, namun dengan cara yang tak bisa dijelaskan, membawa cahaya ke dalam hidupnya yang sempat nyaris digulung gelap.
Libur semester menjadi anugerah kecil di tengah pergolakan batin yang ia alami. Ujian akhir yang menegangkan telah selesai dua nyaris sebulan lalu, sebelum semua kejadian luar biasa itu menghantam dirinya. Kini, tanpa beban akademik yang menuntut, ia memiliki ruang bernapas untuk menata ulang kehidupannya. Ia menghabiskan beberapa hari di rumah, lebih banyak berdiam diri di kamar, membaca buku, menulis catatan harian, dan sesekali termenung menatap keluar jendela.
Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Seperti sebuah mata yang baru saja terbuka, ia mulai menyadari getar-getar halus yang mengisi ruang di sekitarnya. Angin yang berembus tak lagi sekadar udara bergerak, melainkan membawa desau bisik yang samar. Bayangan di sudut ruangan kadang tampak lebih pekat dari seharusnya, seakan menyimpan rahasia. Awalnya hal itu membuatnya gelisah, namun perlahan ia teringat kata-kata Arsel:
"Kau tak boleh takut, Wa. Ingat, kau manusia. Makhluk paling sempurna yang diciptakan Tuhan. Hanya Dia yang layak ditakuti."
Kalimat itu menjadi mantra kecil baginya. Setiap kali rasa dingin menyergap, ia mengulanginya dalam hati, hingga keberaniannya tumbuh setapak demi setapak.
Dan pagi itu, setelah seminggu penuh berdiam diri, Sadewa akhirnya menjejakkan langkah keluar rumah. Ada sesuatu yang menuntunnya, semacam janji yang ia simpan. Arsel pernah berkata, "Datanglah kapan kau siap, Dewa. Ada hal-hal yang harus kau pelajari. Kau tak bisa menghindar selamanya."
Dengan hati berdebar, ia pun berangkat.
Jalanan kota tampak biasa saja, seperti tak pernah tahu badai yang pernah menimpa dirinya. Anak-anak sekolah berlarian dengan seragam putih abu-abu, ibu-ibu menenteng belanjaan, dan motor-motor berdesakan di persimpangan lampu merah. Namun bagi Sadewa, segala hal itu kini terasa janggal. Ia seperti orang asing yang berjalan di antara dua dunia, satu dunia nyata yang kasat mata, dan dunia lain yang perlahan merayap menyingkapkan tabirnya.
Perjalanan akhirnya membawanya ke sebuah kawasan perumahan elit. Jalan masuknya dihiasi pepohonan flamboyan yang tumbuh rimbun, sementara di kanan-kirinya berdiri rumah-rumah besar dengan pagar tinggi. Sadewa sempat ragu, bahkan sempat berpikir apakah ia salah alamat. Namun, pesan singkat dari Tama yang dikirim semalam jelas menyebutkan alamat ini.
Dan benar saja, tak lama kemudian, matanya terpaku pada sebuah rumah yang begitu mewah. Rumah itu berdiri megah dengan arsitektur modern bercampur klasik. Pilar-pilar tinggi menjulang di bagian depan, dindingnya berlapis marmer putih berkilau, dan halaman luasnya dihiasi rerumputan hijau yang tertata rapi seperti permadani. Beberapa pohon palem tinggi berdiri di sisi kanan dan kiri, menciptakan kesan elegan yang membuat siapa pun yang melihat pasti mengira rumah itu milik seorang pengusaha kaya raya, pejabat tinggi, atau bahkan seorang bangsawan zaman modern.
Sadewa menelan ludah. Meski ia sendiri berasal dari keluarga berada dan rumahnya bisa dibilang cukup besar, pemandangan di hadapannya membuatnya merasa kecil. Rumahnya bagaikan rumah biasa jika dibandingkan dengan kemegahan istana modern ini.
"Gila," ucap Dewa pelan, nyaris tak percaya.
Ia berdiri cukup lama di depan gerbang besi hitam yang menjulang, berornamen lengkung-lengkung indah bak karya seni. Gerbang itu tampak kokoh, dan tentu saja, tidak memberi kesan 'rumah kos' sama sekali. Justru sebaliknya, siapa pun pasti akan mengira ini rumah pribadi keluarga kaya raya.
Belum sempat ia mengumpulkan keberanian untuk menekan bel, sebuah suara terdengar dari sisi gerbang.
"Sadewa?"
Sadewa menoleh cepat. Dari arah samping gerbang, muncul sosok yang sudah tak asing lagi baginya, Tama. Lelaki itu tersenyum lebar, mengenakan kaus hitam polos dan celana training, tampak lebih santai dibanding pertemuan terakhir mereka yang begitu menegangkan.
"Kamu nyasar ke mana aja? Udah lama nunggu di sini?" Tama terkekeh sambil melangkah mendekat. Ia lalu merogoh kunci dari saku celananya dan membuka pintu kecil di sisi gerbang.
Sadewa menggeleng pelan, masih tak bisa menyembunyikan keterpukauannya. "Ini ... rumah siapa?"
Tama menaikkan alis, lalu terkekeh lagi. "Rumah aku sama Arsel."
Mata Sadewa membelalak. "Apa?"
"Kenapa kaget gitu?" Tama tersenyum lebar melihat reaksi Sadewa.
"Rumah kalian segede gini?" tanya Sadewa yang nyaris kehabisan kata-kata.
Belum sempat Tama menjawab, dari arah dalam halaman terdengar suara lain. "Eh, udah datang juga, Wa?"
Itu suara Arsel. Ia berjalan santai dari arah teras rumah, mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga siku, membuatnya tampak rapi sekaligus santai. Rambut hitamnya berantakan namun entah bagaimana justru menambah karisma wajahnya yang tegas.
Sadewa semakin bingung. "Tunggu. Aku pikir ... kalian ngekos? Tapi ini rumah gede banget. Mana ada kosan kayak begini?"
Arsel dan Tama saling pandang sebentar, lalu keduanya tertawa hampir bersamaan.
"Ya emang kita ngekos di sini," jawab Arsel ringan. "Tapi kan nggak ada aturan kalau kosan harus jelek."
Sadewa hampir ternganga. "Ngekos? Di rumah segede istana gini?!"
"Yap," Tama menepuk pundaknya sambil tersenyum penuh arti. "Nggak kelihatan, kan?"
Sadewa hanya bisa mengangguk pelan, masih berusaha mencerna kenyataan di depannya. Ia benar-benar tak pernah menyangka rumah sebesar dan semewah ini ternyata adalah ... sebuah kos-kosan.
Arsel lalu memberi isyarat dengan tangannya. "Ayo masuk. Jangan bengong di luar terus. Ada banyak hal yang harus kita omongin."
Sadewa melangkah masuk melewati gerbang. Begitu menapakkan kaki di halaman, ia merasakan aura berbeda. Ada ketenangan aneh yang mengalir, seakan rumah itu menyimpan energi damai. Namun di balik ketenangan itu, Sadewa juga merasakan sesuatu yang lain; getaran halus, samar, seperti bisikan yang tidak terdengar jelas. Ia merinding tanpa sebab, namun entah kenapa, bukan perasaan takut yang muncul, melainkan rasa penasaran.
Tama menepuk bahunya lagi. "Santai aja, Wa. Kamu aman di sini."
Sadewa menoleh ke arahnya, mencoba tersenyum tipis. "Aku ngerasa ada yang beda sama rumah ini. Kayak ada yang ngawasin."
"Bagus," sahut Arsel cepat, seolah memang menunggu ucapan itu keluar. "Berarti kamu sepeka itu padahal udah disembunyikan dengan baik."
"Apa yang disembunyiin?" tanya Dewa heran.
"Penjaga rumah," jawab Arsel dengan senyum lebar.
Sadewa terdiam. Ia baru menyadari, inilah awal dari sesuatu yang lebih besar. Rumah megah ini bukan sekadar tempat tinggal atau kos-kosan. Ini akan menjadi ruang pembelajaran, pintu gerbang menuju dunia yang selama ini hanya ia intip dari balik tabir ketakutan.
Dan di situlah, perjalanan barunya dimulai.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
ternyata bener kn jadi tumbal
kenapa si dewa ini
apa ayahnya Dewa???