NovelToon NovelToon
Ibu Susu Bayi Sang Duda

Ibu Susu Bayi Sang Duda

Status: tamat
Genre:Duda / Janda / Selingkuh / Ibu Pengganti / Menikah Karena Anak / Ibu susu / Tamat
Popularitas:876k
Nilai: 4.9
Nama Author: Aisyah Alfatih

Hari yang seharusnya menjadi momen terindah bagi Hanum berubah menjadi mimpi buruk. Tepat menjelang persalinan, ia memergoki perselingkuhan suaminya. Pertengkaran berujung tragedi, bayinya tak terselamatkan, dan Hanum diceraikan dengan kejam. Dalam luka yang dalam, Hanum diminta menjadi ibu susu bagi bayi seorang duda, Abraham Biantara yaitu pria matang yang baru kehilangan istri saat melahirkan. Dua jiwa yang sama-sama terluka dipertemukan oleh takdir dan tangis seorang bayi. Bahkan, keduanya dipaksa menikah demi seorang bayi.

Mampukah Hanum menemukan kembali arti hidup dan cinta di balik peran barunya sebagai ibu susu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

34. Hanum or Alma

“Sudah! Sudah! Kita mundur saja!” seru salah seorang dari mereka, menyeret rekannya yang sudah hampir tak mampu berdiri. Satu per satu, mereka melangkah mundur, lalu berlari meninggalkan tempat itu, menghilang di antara kerumunan warga yang sejak tadi hanya menonton.

Julio masih berdiri dengan napas berat, tubuhnya tegak melindungi wanita yang ada di belakangnya. Matanya terus mengawasi arah para preman pergi, memastikan mereka benar-benar tidak kembali.

“Tenang, mereka sudah kabur,” ujarnya singkat, menoleh pada wanita yang masih gemetar.

Wanita itu mendongak pelan. Rambut panjangnya yang berantakan menutupi sebagian wajahnya, matanya basah, tubuhnya goyah seolah hampir rubuh kapan saja. Julio menahan lengannya, lalu dengan hati-hati menuntunnya mendekat ke arah mobil hitam yang terparkir beberapa meter dari mereka.

Mobil itu berdiri angkuh di tengah hiruk pikuk gang kumuh, begitu kontras dengan suasana sekitar. Dan di samping mobil, Abraham berdiri dengan tubuh tegap, wajahnya tenang namun mata tajamnya menyimpan badai.

Julio membawa wanita itu mendekat.

“Tuan, ini dia,” katanya pelan.

Wanita itu akhirnya berdiri di depan Abraham. Nafasnya tidak beraturan, wajahnya pucat pasi, namun justru itulah yang membuat siluetnya semakin mirip dengan Alma, istri yang tujuh bulan lalu Abraham kuburkan dengan tangannya sendiri. Untuk sesaat, dunia seolah berhenti berputar.

Pandangan Abraham menelusuri wajah wanita itu, dari garis rahang, hidung, hingga mata yang bergetar menahan air mata. Jantungnya berdetak keras, perasaan campur aduk menyergap, rindu, takut, marah, sekaligus harapan samar yang hampir mematahkannya.

Namun, di detik berikutnya, mata Abraham jatuh pada satu detail kecil yang selama ini hanya dimiliki oleh Alma. Sebuah tanda lahir samar di belakang telinga kiri istrinya, yang sudah tujuh bulan terkubur bersama jasadnya. Dan wanita di hadapannya ini tidak memilikinya.

Abraham terhenyak, seperti tersadar dari mimpi panjang yang menyesatkan, ia mundur setapak. Tatapannya berubah dari penuh gejolak, menjadi dingin, kosong, lalu menusuk. Wanita itu, menyadari perubahan ekspresi Abraham, buru-buru melangkah lebih dekat. Dia menunduk sedikit, suara lembutnya bergetar namun sengaja dipermanis.

“Terima kasih … kalau bukan karena Anda, saya mungkin sudah mati dipukuli tadi. Saya sungguh berutang budi…”

Nada bicaranya sengaja dibuat merayu, seolah ingin menarik simpati. Namun Abraham hanya menatap datar. Tanpa berkata sepatah pun, pria itu berbalik. Tangannya membuka pintu mobil, lalu melangkah masuk.

Wanita itu tercekat, matanya melebar. “Tunggu!” panggilnya, namun Abraham tak menoleh. Hanya dentuman pintu mobil yang tertutup rapat terdengar, lalu mesin meraung, membawa mobil itu perlahan menjauh dari gang.

Julio sempat menatap sekilas wanita itu, wajahnya penuh tanya, namun sebagai bawahan ia tahu harus mengikuti tuannya. Dia pun cepat-cepat masuk ke mobil, meninggalkan wanita itu berdiri kaku di tengah kerumunan.

Asap knalpot mengepul, mobil hitam itu lenyap ditelan jalan raya. Wanita itu yang disebut Raline masih terpaku di tempat. Nafasnya tercekat, tubuhnya gemetar, bukan lagi karena takut pada para preman, melainkan karena tatapan terakhir Abraham yang terasa begitu menusuk dan mengabaikan.

Hening hanya berlangsung beberapa detik sebelum langkah sepatu hak terdengar mendekat. Dari balik kerumunan, seorang wanita anggun dengan rambut tergerai rapi dan senyum penuh percaya diri muncul.

“Kerja bagus,” ucapnya datar, namun ada nada puas di balik suaranya.

Raline menoleh, matanya melebar.

“Bu … Rania.”

Wanita elegan yang selama ini dekat dengan Abraham, sosok yang diam-diam ingin merebut posisinya di hati pria itu. Dia melangkah mendekat, menepuk pelan bahu Raline seperti seorang bos yang sedang menilai hasil kerja bawahannya.

Tak lama, dari arah belakang, tiga preman yang tadi kabur kembali muncul. Namun kali ini wajah mereka tidak lagi garang melainkan penuh kepatuhan. Mereka mendekat dengan kepala menunduk, seakan hanya menunggu perintah.

Raline terpaku, matanya melebar saat menyadari sesuatu.

“Jadi … mereka … semua ini...”

“Ya,” potong Rania cepat, senyum puas mengembang di wajahnya. “Semua ini sudah ku atur. Preman-preman itu hanya bagian dari skenario. Mereka membuatmu terlihat lemah, menderita, terpojok … sehingga ketika Abraham datang, dia akan mengira sedang menyelamatkan seseorang yang sangat mirip istrinya. Peranmu sempurna, kau sudah menimbulkan keraguan di pikirannya. Aku sudah membayar kontrakan mu pada mereka selama tiga tahun,"

Raline terdiam, tubuhnya bergetar. “Tapi … dia … dia tidak percaya. Aku lihat sendiri dari tatapannya. Dia tahu aku bukan istrinya.”

Rania terkekeh, suara tawanya dingin. “Ah, itu wajar. Abraham memang pintar, penuh perhitungan. Tapi kau jangan khawatir. Ini baru langkah awal. Operasi plastik yang kau jalani sudah cukup membuatmu terlihat nyaris identik dengan Alma. Butuh waktu, butuh momentum, dan aku tahu kelemahan Abraham, yaitu emosinya. Lihat saja, semakin lama dia akan goyah.”

Raline menunduk. “Operasi itu … tidak mudah, dan rasa sakitnya masih...”

Rania menyodorkan sebuah amplop tebal, penuh dengan uang tunai. “Anggap saja ini bayaran atas rasa sakitmu. Kau lakukan apa yang ku perintahkan, maka hidupmu akan jauh lebih baik dari sekarang. Kau hanya perlu terus memainkan peranmu sebagai Alma. Biarkan Abraham semakin bingung. Biarkan dia bertanya-tanya apakah istrinya benar-benar mati atau tidak.”

Tangan Raline bergetar saat menerima amplop itu. Matanya berkaca-kaca. Dia ingin menolak, ingin berteriak bahwa semua ini salah, tapi lidahnya kelu. Uang di tangannya terasa begitu berat, seberat beban yang kini dipaksakan ke pundaknya.

Rania melangkah maju, mendekatkan wajahnya ke telinga Raline. Suaranya lirih namun penuh racun.

“Abraham pria kuat, tapi pada akhirnya … dia pria juga. Dan pria mudah sekali dibodohi ketika hatinya sudah terikat oleh bayangan cinta masa lalu. Ingat itu, Raline, kau hanya perlu menjadi bayangan itu.”

Senyum Rania melebar, tatapannya penuh keyakinan.

“Percayalah, Abraham akan kita kendalikan. Ia bahkan tidak akan menyadari bahwa seluruh permainan ini dikendalikan olehku.”

Malam semakin jatuh, angin berhembus pelan, membawa aroma debu dan rahasia yang baru saja terungkap. Di balik bayangan, Raline menggenggam erat amplop di tangannya. Hatinya berperang antara rasa bersalah, rasa takut, dan rasa ingin bertahan hidup.

Sementara itu, Rania melangkah menjauh dengan percaya diri, diikuti ketiga preman yang kini bersikap patuh bak anjing penjaga. Senyum liciknya tertinggal di udara, tanda jelas bahwa permainan baru saja dimulai.

Suasana di dalam mobil itu terasa begitu hening. Hanya suara mesin yang meraung lembut dan lalu lintas sore yang sesekali memecah keheningan. Abraham duduk di kursi belakang, tubuh tegapnya bersandar, namun rahangnya mengeras menahan amarah yang mendidih. Kedua tangannya terkepal di atas lutut, jemarinya tampak menekan dengan kuat seakan ingin meluapkan sesuatu yang tak bisa diucapkan begitu saja.

Julio yang duduk di kursi kemudi beberapa kali melirik lewat kaca spion. Dia bisa merasakan hawa dingin yang memancar dari pria yang sudah lama ia jadikan panutan itu. Wajah Abraham tidak berubah banyak, tetap tenang dan kaku, tapi matanya, mata itu menyimpan bara api yang membakar dalam diam.

Akhirnya, Abraham membuka suara.

“Dia bukan Alma.”

Nada suaranya dalam, tegas, dan begitu dingin. Julio tidak menjawab, dia tahu bosnya bukan sedang meminta tanggapan.

“Alma punya tanda lahir kecil di belakang telinganya,” lanjut Abraham, menoleh sedikit ke arah jendela, menatap jalanan yang berkelebat.

“Wanita itu tidak punya. Jadi jelas, ada seseorang yang sedang mempermainkan aku. Seseorang sengaja membuat wanita itu terlihat mirip dengan Alma ... hanya untuk menguji seberapa jauh aku akan goyah.”

Julio menarik napas panjang, kemudian berkata hati-hati, “Saya kira Tuan sudah menduga permainan ini dari awal…”

Abraham menoleh, menatap Julio lewat pantulan kaca spion. “Tepat, aku memang sudah mencium bau busuk sejak awal. Tapi aku harus memastikan siapa dalang di balik semua ini. Dan sekarang aku sudah tahu, Julio.” Suasana kembali hening sejenak.

Abraham menunduk sebentar, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Pandangannya kembali tajam, penuh keputusan.

“Mulai malam ini, aku tidak ingin ada satu pun kerja sama yang mengikat kita dengan perusahaan yang berhubungan dengan Rania. Aku tidak peduli seberapa besar keuntungan yang ditawarkan. Aku tidak ingin Biantara Group tercemar oleh permainan kotornya.”

Julio langsung menegakkan tubuhnya.

“Baik, Tuan. Saya akan segera menindaklanjutinya.”

[Ibu, tolong pindahkan Kevin ke kamar ibu. Aku ingin berbicara empat mata dengan Hanum malam ini, tak ingin ada yang mengganggu kami hingga besok pagi,] Abraham mengirim pesan itu pada Siska. Setelah membacanya, Siska tak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya.

1
sherly
menarik
sherly
astaga terbuat dr apalah dirimu galih...
sherly
kemarin Lilis dan Rania eh sekarang galih aneh banget sih kalian pada gamon deh.. padahal Hanum yg tersakiti
sherly
bukannya di kantor Abraham, dijamuan juga kamu dah ketemu Ama Rania ..?
sherly
Rania yg ternyata fans fanatik Alma... dimana mana nyebut Alma dan Alma...
sherly
jgn bilang anak Alma bukan anak bian
sherly
lagian bodoh kali Abraham ini masa hanya sebut nama alm Alma dianya dah kayak org sakit
sherly
Rania hanya mengusikmu dengan menyebut nama Alma, harusnya kamu tak bereaksi dan terusik, biar dia tau kalo nama itu sudah kamu simpan jauh disatu ruangan khusus...
sherly
si Julio ini masa ngk liat sih...
sherly
bukannya Alma meninggal?
sherly
kirain terungkap kalo yg desain itu Hanum ternyata dah selesai jamuannya....
sherly
hahahha dah dipuji malah tiba2 gugup
sherly
ini baru sikap yg bener Hanum... hadapi para ulet gatel itu dengan cantik
sherly
ngomong apa sih si ulet bulu, hrsnya yg ngomong gitu si Hanum secara kamu tu pelakor...
sherly
gatel banget sih Rania nih,mau digaruk pakai golok ngk?
sherly
hahahahha kesalahpahaman yg membawa berkah
sherly
aneh banget sih kamu Abraham, ngk ada foto keluarga yg baru, ngk ada pengumuman bagaimana org kantormu tau kamu dah punya istri.... linglung nih org
sherly
kenapa sih harus menunduk melulu hanummm jgn lemah gitu donk...
sherly
makanya kalo nikah tu di pestain biar tau si Hanum tu istrimu
sherly
terlalu lemah kamu Hanum, si Lilis tu pelakor hrsnya kamu lebih garang .. aduh ampun deh Hanum bahkan bersuara pun kamu tak sanggup untuk membela diri
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!