Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Membela
Tamparan Kevia mendarat telak di pipi Riri. Suaranya menggema di koridor, membuat kerumunan yang mulai terbentuk terperangah.
“Kau…” desis Riri dengan suara tercekat, matanya membelalak. Tangan kirinya terangkat, memegang pipi yang kini memerah. Napasnya tersengal karena amarah. Tamparan Kevia jelas meninggalkan bekas lima jari.
Kevia menatap lurus, penuh api. Suaranya bergetar, tapi tegas.
“Ayahku bekerja setiap hari membangun usaha ibumu tanpa pernah digaji sepeser pun. Jadi wajar kalau ibumu membiayai cuci darah ibuku. Kalau kami tinggal dan makan di rumahmu, itu juga paksaan dari ibumu! Bahkan… menyuruh orang menanggalkan pakaian ibuku hanya agar ayahku tunduk.”
Kerumunan mulai bergemuruh, sebagian menutup mulut tak percaya.
"Astaga..apa itu benar?"
"Kejam sekali."
Riri mendengus kasar. “Itu karena kalian miskin. Kere! Jangankan rumah, biaya berobat pun tak mampu. Sekarang cuma karena pakai baju branded, jadi sombong. Dasar perempuan murahan! Malu-maluin sekali, kampus sekelas ini nerima wanita penghibur sepertimu!”
“Jangan bicara sembarangan kalau tak punya bukti!” balas Kevia keras, emosinya memuncak. “Atas dasar apa kau menuduhku jadi wanita penghibur?”
Riri menyeringai, lalu perlahan mengangkat ponselnya. Jemarinya lincah menari di layar. “Bukti? Kau mau bukti?”
Beberapa detik kemudian..
Ting! Ting! Ting!
Notifikasi beruntun mulai terdengar dari ponsel mahasiswa di sekitar mereka. Satu per satu wajah berubah, beberapa menahan senyum sinis, sebagian lain melotot terkejut.
Riri mengangkat dagunya tinggi. “Aku baru saja mengirim foto itu ke grup angkatan. Seluruh mahasiswa satu angkatan akan tahu siapa sebenarnya kau.”
Detik itu juga, tatapan mahasiswa di koridor menancap ke arah Kevia, membuat gadis itu seolah terjebak dalam lingkaran api.
Koridor mendadak riuh. Bisikan-bisikan menusuk telinga Kevia dari segala arah, seperti ratusan jarum yang ditusukkan bersamaan.
“Gila… seksi banget.”
“Pakai baju gitu bukannya buat menggoda pria?”
“Jadi beneran dia wanita penghibur?”
“Menjijikkan. Awas jangan dekat-dekat sama dia. Siapa tahu bawa penyakit gara-gara gonta-ganti pasangan.”
“Percuma cantik dan pintar kalau akhlaknya nol.”
“Pantesan, dulu masuk kampus pakai baju murahan, sekarang branded semua.”
Cemoohan itu menusuk langsung ke dada Kevia. Napasnya sesak, jemarinya gemetar saat meraih ponsel. Notifikasi memenuhi layar. Dan di sana matanya membesar. Foto dirinya.
Dirinya dengan pakaian mini yang tak pernah ia pilih. Tubuhnya terbingkai gaun ketat yang menjadikan dirinya seolah komoditas murahan. Foto yang dulu diambil secara paksa, saat Rima dan Riri menjebaknya untuk ‘dijual’ pada seorang produser bejat.
“Tidak…” bisiknya, matanya memanas.
Ia mendongak, menatap Riri yang kini berdiri angkuh bagai pemenang di tengah arena.
“Kau memfitnah aku!” suara Kevia bergetar namun lantang. “Hapus foto itu sekarang juga!”
Riri menyeringai, bibirnya terangkat miring. “Memfitnah? Bukankah gambar lebih jujur daripada kata-kata? Semua orang bisa lihat, Kevia. Sungguh… aku kecewa. Selama ini kau sok suci, sok pintar, sok terhormat. Ternyata—” ia menekankan suaranya, “—kau menjual tubuhmu demi uang!”
“Diam!” Kevia membentak, sorot matanya berkilat. “Kau tahu persis itu bukan pilihanku. Aku dipaksa! Kau ada di sana, Riri! Kau dan ibumu yang menyeretku, memaksaku mengenakan pakaian itu demi nafsu seorang produser kotor! Agar kau bisa jadi artis. Jangan pura-pura buta hanya demi cuci tangan!”
Mahasiswa di sekitar mereka saling pandang. Riuh berbisik, sebagian ragu, sebagian terhasut.
Riri tertawa dingin, menutupi rasa panik yang sekelebat muncul di wajahnya. “Alasan klise. Semua gadis murahan pasti bilang ‘dipaksa’. Kau kira siapa yang percaya? Lagian mana buktinya kalau aku yang maksa kamu pakai baju kayak gitu?”
“Aku tidak peduli siapa yang percaya atau tidak.” Kevia maju setapak, menatap tajam lurus ke mata lawannya. “Yang jelas, aku tidak akan biarkan kau merusak hidupku dengan kebohonganmu.”
Suasana koridor mendidih. Suara bisik-bisik tak lagi sekadar lirih, tapi seperti bara yang menyambar ke arah Kevia.
"Apa benar Riri dan ibunya yang memaksa?"
"Siapa yang benar diantara mereka?"
"Kalau beneran menjual diri, menjijikan sekali."
Riri maju selangkah, senyumannya licik. “Kalau kau memang tak menjual diri, dari mana semua pakaian branded ini, hah?” Suaranya nyaring, menusuk udara. “Kau tak bekerja. Ayahmu hanya buruh serabutan. Uang ibuku yang dicuri ayahmu jelas tak cukup untuk cuci darah dua kali sebulan, apalagi beli pakaian mewah.”
Ia mengangkat dagu, menatap Kevia penuh penghinaan. “Siapa yang bakal percaya kalau kau bukan wanita murahan?”
Kevia menggenggam erat ponselnya, bibirnya bergetar. Namun matanya menyala. “Aku menolong seseorang. Dan dia yang memberikan semua ini padaku.”
“Hah!” Riri meledak tertawa, suaranya melengking. “Menolong orang sampai dikasih barang-barang branded? Hei semua!” Ia menoleh ke kanan kiri. “Apa kalian percaya dengan alasan ini?”
Bisik-bisik mahasiswa makin gaduh.
“Benar juga, nggak masuk akal.”
“Ponselnya baru, laptopnya juga. Semua branded.”
“Harganya bisa puluhan, bahkan ratusan juta.”
“Mana mungkin cuma karena ‘menolong’?”
Sebuah suara perempuan terdengar lantang, tajam. “Jelas bohong.”
“Aku tidak bohong!” sergah Kevia, nadanya bergetar tapi tegas.
Namun Riri melipat tangan di dada, senyum sinis mengembang. “Halah, siapa yang percaya?”
Suasana menegang. Tatapan puluhan mahasiswa kini menusuk Kevia seperti pisau.
Tiba-tiba—
Tap! Tap! Tap!
Suara langkah sepatu berat menggema di lantai, menghentikan riuh kerumunan.
“Aku yang berikan semua itu.”
Kerumunan spontan terdiam.
Kevia menoleh. "Ke-- Kevin..."
Kevin muncul dari celah mahasiswa, tubuhnya tegak, sorot matanya tajam seperti bilah pedang. Rahangnya mengeras, ekspresi dingin tak terbaca. Ia menatap sekilas layar ponsel seorang mahasiswa yang masih menampilkan foto Kevia.
Dengan suara rendah, penuh ancaman, ia berkata, “Siapa pun yang menyebarkan foto itu… akan berurusan langsung denganku.”
Hening. Hanya terdengar deru napas orang-orang yang menahan tegang.
Riri menyipitkan mata, namun senyumnya melebar penuh ejekan. “Oh, ternyata kau juga di sini.” Ia tertawa tipis. “Dulu kelihatan acuh tak acuh, ternyata peduli banget sama gadis miskin ini. Jadi kau yang beliin semua barang mewah itu, ya? Aku gak percaya.”
Kevin menoleh padanya, tatapan tajamnya menusuk seperti panah. “Lalu dengan apa supaya kau percaya?”
Riri melipat tangan di dada, suaranya dingin, penuh racun. “Mudah. Kita tes saja… keperawanannya.”
Bisik-bisik langsung pecah, sebagian terkejut, sebagian lain menahan tawa kotor.
Riri mengangkat dagu tinggi, suaranya lantang menembus riuh bisik-bisik.
“Kalau gadis miskin ini masih perawan, aku nggak akan bilang dia wanita penghibur lagi.”
Koridor mendadak berubah mencekam. Seolah dinding-dinding menyempit, menjerat Kevia di tengah kerumunan. Gadis itu berdiri kaku, napasnya tercekat, darahnya berdesir dingin. Tangannya terkepal erat di sisi tubuh, berusaha menahan guncangan.
Namun dalam benaknya, kilasan malam kelam itu menyeruak—malam ketika ia dipaksa memakai gaun seksi, ketika kesuciannya direnggut dalam transaksi kotor. Bayangan itu menghantam dadanya, membuat perih yang seolah tak berdarah.
Sementara Kevin, di sisinya, mengepalkan tangan hingga buku-bukunya memutih. Urat rahangnya menonjol, matanya menyala bagai bara yang siap membakar.
Dengan suara rendah tapi bergetar menahan amarah, ia menatap lurus ke arah Riri.
“Atas dasar apa kau menuntut Kevia melakukan hal menjijikkan itu?”
Riri tertawa pelan, senyum meremehkan terkembang di wajahnya. “Kenapa? Kau takut?” Tatapannya penuh tantangan. “Kalau dia memang masih suci, kenapa harus gentar?”
Bisikan mahasiswa tiba-tiba pecah menjadi seruan-suara tajam, seperti pisau yang dilemparkan bertubi-tubi.
“Benar tuh, kalau masih perawan harusnya berani buktikan!”
“Kalau nolak, berarti beneran udah rusak!”
“Paling dia udah entah tidur sama berapa pria.”
“Menjijikkan!”
Suara-suara itu menohok Kevia dari segala arah. Dadanya sesak, matanya panas, namun ia menggigit bibirnya sekuat tenaga agar air mata tidak jatuh.
Hingga—
“Cukup!”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
ayo semangat kejar cintamu sebelum ia diambil orang lain ntar nyesel Lo...
walaupun kamu belum tau wajahnya tapi kamu kan tau ketulusan cintanya itu benar2 nyata,
dia rela memberikan apapun yang ia miliki kalau kamu mau menikah dengannya,tunggu apalagi kevia...
selama kamu bersama ia terasa nyaman dan terlindungi itu sudah cukup.
semangat lanjut kak Nana sehat selalu 🤲
Takut kehilangan - salah kamu sendiri selalu bicara tidak mengenakkan Sinting. Sinting cinta sama kamu - sepertinya kamupun sudah ada rasa terhadap Sinting. Kamu masih bocah jadi belum bisa berfikir jernih - marah-marah mulu bawaanmu.
knapa kamu gk rela kehilangan pria misterius karena dia sebenarnya yoga orang yang selama ini kamu sukai
kalau cinta yang bilang aja cinta jangan kamu bohongi dirimu sendiri.
Menyuruh Kevia keluar dari Kafe dengan mengirimi foto intim Kevia bersamanya - bikin emosi saja nih orang 😁.
Akhirnya Kevia masuk ke mobil Sinting - terjadi pembicaraan yang bikin Kevia marah. Benar nih Kevia tidak mau menikah sama Sinting - ntar kecewa lho kalau sudah melihat wajahnya.
Kevia menolak menikah - disuruh keluar dari mobil.
Apa benar Sinting mulai hari ini tidak akan menghubungi atau menemui Kevia lagi. Bagaiman Kevia ??? Menyesal tidak ? Hatimu sakit ya...sepertinya kamu sudah ada rasa sama Sinting - nyatanya kamu tidak rela kehilangan dia kan ??
biarkan Yoga menjauhi Kevia dulu biar Kevia sadar bahwa Pria misterius itulah yang selalu melindunginya dan menginginkannya dengan sepenuh hati,,dengan tulus
klo sekarang jadi serba salah kan...
sabar aja dulu,Selami hati mu.ntar juga ayank mu balik lagi kok Via...
setelah itu jangan sering marah marah lagi ya,hati dan tubuh mu butuh dia.
sekarang udah bisa pesan...
hidup seperti roda,dulu dibawah, sekarang diatas...🥰🥰🥰🥰