NovelToon NovelToon
SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa / Wanita Karir / Romantis / Cinta setelah menikah / Balas Dendam
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Efi Lutfiah

Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.

Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Cucu Opa Bratajaya

Di area parkiran belakang kampus, suasana tampak lengang. Hanya suara burung pagi dan deru kendaraan dari kejauhan yang terdengar samar.

Seorang pria tampan berdiri di sisi mobil hitam mengilap. Jas hitamnya terpasang rapi, dasinya terikat sempurna, mencerminkan ketegasan dan kedisiplinan. Sorot matanya tajam namun tenang, aura seorang pemimpin muda yang terbentuk dari tanggung jawab besar.

“Tuan, sebaiknya kita lewat jalur belakang saja. Jalan depan aula pasti penuh penonton,” ucap Bagas, asisten pribadi yang selalu setia di sisinya.

Albert, pria itu, hanya mengangguk. Tujuan kedatangannya jelas: memantau langsung jalannya olimpiade tahunan kampus.

Kampus ini bukan tempat sembarangan baginya. Ini warisan dari Opa Bratajaya, sosok yang membesarkan nama universitas itu dengan kerja keras dan reputasi yang tak ternilai.

Namun sejak sang opa meninggal, tanggung jawab itu berpindah ke tangan ayahnya, Arlo. Sayangnya, Arlo jarang sekali turun tangan, terlalu sibuk dengan urusan bisnis pribadi.

Karena itulah, hari ini Albert sendiri yang datang. Ia tak ingin melihat warisan kakeknya hancur hanya karena kelalaian ayahnya sendiri.

“Baik " Albert hanya menjawab singkat.

Namun baru beberapa langkah, langkah Albert mendadak terhenti. Sebuah lembar kertas tersapu angin dan menempel di sepatu pantofel hitamnya.

Bagas menoleh cepat. “Ada masalah, Tuan?”

Albert tidak menjawab. Ia menunduk, memungut kertas itu perlahan.

Di ujung lorong, ia sempat melihat sosok pria berjalan tergesa dengan map di tangan, namun tak sempat dikenali wajahnya.

Albert membuka lembaran itu. Matanya langsung menangkap nama di pojok kanan atas:

CANTIKA AURELLIA.

Detik itu juga, napasnya tertahan. Nama itu mengingatkan nya pada sosok gadis polos yang menjadi LC di klub mami viola. Sekaligus pacar sewaan nya.

Ia menatap lembaran itu lebih lama. Tulisan di atasnya rapi, penuh logika, dan jelas menunjukkan kemampuan yang luar biasa. Tapi satu hal membuat alisnya berkerut, kenapa lembar jawaban sebagus ini tergeletak di tanah, terbuang seperti sampah?

Rahang Albert mengeras. Ia menggenggam kertas itu erat.

“Bagas,” katanya datar namun tegas, “kayaknya ada kecurangan di kampus ini.”

Bagas menatapnya dengan serius. “Maksud Tuan?”

Albert memandang lurus ke arah gedung utama. Sorot matanya kini tajam seperti pisau.

“Cari tahu siapa yang terakhir dari ruangan penilaian. Dan pastikan, dia mendapat hukuman setimpal karna sudah berbuat curang.”

Albert berjalan pelan menyusuri lorong belakang, masih menggenggam lembar jawaban Cantika di tangannya. Setiap langkahnya terdengar mantap namun penuh kehati-hatian.

Naluri bisnis dan ketegasan yang diwarisinya dari sang opa membuatnya sulit diam saat melihat sesuatu yang tidak beres.

“Bagas,” katanya pelan, “tolong cek rekaman CCTV di sekitar aula dan lorong belakang ini.”

Bagas mengangguk sigap. “Baik, Tuan. Saya segera urus.”

“Dan pastikan juga siapa saja yang punya akses langsung ke ruang panitia olimpiade.”

Begitu Bagas pergi ke ruang CCTV, Albert langsung melangkah menuju ruang penilaian. Langkahnya tenang, tapi setiap hentakan sepatunya memantul keras di lantai marmer, menandakan kehadiran seseorang yang berwibawa, dan berbahaya bila sedang marah.

Pintu ruangan didorong tanpa permisi.

Beberapa dosen yang sedang fokus memeriksa lembar jawaban sontak menoleh. Suasana yang tadinya hening mendadak berubah tegang.

“Tu–Tuan Albert…” ucap Bu Ela tergagap, buru-buru berdiri. “Selamat datang di kampus, Tuan.”

Yang lain pun ikut bangkit, menunduk memberi hormat. Bahkan Pak Dani yang duduk di ujung meja ikut berdiri dengan wajah pucat pasi.

Albert menatap ruangan itu tajam, pandangannya menyapu satu per satu wajah mereka.

“Acara olimpiade sudah selesai?” tanyanya datar.

“Sudah, Tuan,” jawab Bu Ela cepat, suaranya nyaris bergetar.

Albert mengangguk pelan.

“Baik.”

Kemudian, nadanya berubah dingin dan menusuk.

“Kalau begitu, saya mau tanya… apakah kalian sudah memeriksa ulang semua lembar jawaban? Pastikan tidak ada yang tertinggal atau—”

Tatapan matanya terhenti tepat di wajah Pak Dani.

“—dibuang.”

Pak Dani menelan ludah, matanya menunduk dalam.

“Maksudnya, Tuan?” tanya Bu Dina, mencoba meredakan suasana, tapi justru memperkeruh keadaan.

BRAAAKKK!

Albert menghantam meja dengan telapak tangannya. Suara dentumannya membuat semua orang di ruangan itu menjerit kecil.

“Kalian ini bodoh atau bagaimana?!” suaranya menggema, penuh tekanan. “Sebelum menetapkan hasil, kalian seharusnya meneliti setiap berkas dengan teliti!”

Ia melemparkan selembar kertas ke meja dengan gerakan cepat. Lembar itu meluncur dan berhenti tepat di depan Bu Ela. Semua mata langsung tertuju padanya.

Di sudut atas kertas itu jelas tertulis: CANTIKA AURELLIA.

Wajah Pak Dani langsung memucat seketika. Keringat dingin mulai menetes di pelipisnya.

“Buka,” perintah Albert dingin, nada suaranya datar tapi membuat semua orang gemetar.

Bu Ela menatapnya gugup, lalu dengan tangan gemetar membuka lembar jawaban itu.

Saat matanya membaca isi kertas tersebut, ekspresinya berubah, dari bingung menjadi kaget.

“Tu-Tuan… ini jawabannya hampir sempurna. Semua benar.”

Albert menyilangkan tangan di dada, tatapannya tajam menusuk ke arah Pak Dani.

“Jadi, saya tanya lagi…” suaranya menurun tapi terasa jauh lebih berbahaya.

“Kenapa lembar jawaban sebagus ini bisa berakhir di tong sampah belakang gedung?”

Ruangan mendadak sunyi. Hanya terdengar detik jam di dinding.

Semua pandangan kini tertuju pada Pak Dani, yang semakin pucat dan kehilangan kata-kata.

Pak Dani tak sanggup berkata apa-apa. Bibirnya bergetar, tangannya gemetar, seolah seluruh tenaga di tubuhnya lenyap.

Albert masih menatapnya tajam, seperti elang yang siap mencabik mangsanya kapan saja.

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Bagas masuk dengan langkah cepat, membawa sebuah tablet di tangannya.

“Ini, Tuan. Rekamannya sudah saya dapat,” ucapnya tenang.

Albert mengangguk pelan. “Tampilkan.”

Bagas menaruh tablet itu di meja panjang, menghubungkannya ke layar besar di dinding.

Semua dosen kini berdiri tegang. Hanya suara napas mereka yang terdengar.

Rekaman CCTV mulai diputar.

Tampak seorang pria memasuki lorong belakang.

Ia menatap ke kanan dan kiri, memastikan tak ada orang.

Lalu, dengan gerakan cepat, ia mengambil lembar jawaban Cantika, meremasnya, dan membuangnya ke tong sampah.

Gambar di layar terhenti tepat saat wajah pelaku terlihat jelas.

“Pa—Pak Dani…” bisik Bu Ela dengan nada tak percaya.

Beberapa dosen lain saling berpandangan, ngeri dan terkejut.

Albert menyipitkan mata.

“Masih mau bilang ini kebetulan, Pak Dani?”

Pak Dani gemetar hebat. “Sa-saya… saya bisa jelaskan, Tuan.”

“Jelaskan?” suara Albert meninggi sedikit, namun tetap tegas dan terukur. “Kamu membuang lembar jawaban mahasiswa yang berhak dinilai, dan sekarang berani bilang ingin menjelaskan?”

Pak Dani menelan ludah, tubuhnya bergetar hebat. Wajahnya pucat, seolah darah di tubuhnya berhenti mengalir.

“Tu–tuan…” suaranya serak dan bergetar. “Sa–saya diancam.”

Albert menyipitkan mata, rahangnya menegang. Tatapan matanya dingin, menusuk tajam seperti bilah pisau yang siap menebas.

“Diancam?” nada suaranya dalam dan penuh tekanan. “Oleh siapa?”

Pak Dani hanya diam. Kedua tangannya meremas ujung jas, menunduk dalam rasa takut dan malu.

Bu Ela maju setapak, nada suaranya bergetar di antara iba dan marah.

“Pak Dani, mengapa harus diam sampai merugikan mahasiswa yang tidak bersalah? Apa ancaman mereka lebih penting dari integritas dan kejujuran Anda sebagai dosen?”

Suasana ruangan menjadi hening. Hanya terdengar detik jam dinding dan napas berat dari dada Pak Dani yang naik turun.

Hingga akhirnya, dengan wajah tertunduk, dia berucap lirih,

“Mereka… Sindi dan Elsa, Bu. Dua mahasiswi di jurusan manajemen. Mereka mengancam akan menyebarkan foto saya… dengan Bu Arlin.”

Kata-kata itu membuat seluruh ruangan terdiam. Beberapa dosen saling berpandangan, kaget sekaligus tak percaya.

Albert menatapnya tanpa ekspresi, tapi sorot matanya menyala tajam.

“Jadi,” katanya pelan tapi tegas, “dua mahasiswi berani menekan dosen dengan cara kotor seperti itu? Bahkan sampai menghancurkan masa depan mahasiswa lain?”

Tak ada yang berani membuka suara. Hanya Pak Dani yang makin menunduk dalam, matanya mulai basah oleh penyesalan.

Bu Dina menelan ludah. “Tuan, Sindi dan Elsa memang peserta olimpiade. ”

Albert menarik napas panjang, menahan amarah yang nyaris meledak.

Lalu dengan suara berat dan menggelegar, ia berkata,

“Bawa mereka ke sini. Sekarang juga.”

Suasana ruangan mendadak tegang. Tak ada satu pun yang berani menatap Albert. Bagas segera melangkah cepat keluar, memberi perintah pada keamanan kampus untuk mencari dua nama yang baru saja disebut.

Sementara itu, Pak Dani semakin menunduk, bahunya bergetar halus. “Maafkan saya, Tuan… saya benar-benar khilaf…”

Albert tak menjawab. Ia hanya menatap lembar jawaban Cantika yang kusut di atas meja, simbol dari kebenaran yang sempat diinjak oleh tangan-tangan curang.

1
menderita karena kmu
Ceritanya seru banget, jangan biarkan aku dilema menanti update 😭
evi evi: haha,,, siap kakak😀🤗
total 1 replies
Rukawasfound
Ceritanya keren, teruslah menulis thor!
evi evi: Terimakasih sudah mampir di cerita ku kk🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!