'Kegagalan adalah sukses yang tertunda.'
'Kegagalan bisa jadi pelajaran dan cambuk untuk terus maju menuju sukses.'
Dan masih banyak kalimat motivasi ditujukan kepada seseorang yang gagal, agar bisa bertahan dan terus berjuang.
Apakah kalimat motivasi itu berlaku dalam dunia asmara?
Nathania gagal menuju pertunangan setelah setahun pacaran serius penuh cinta. Dan Raymond gagal mempertahankan mahligai rumah tangga setelah tiga tahun menikah.
Mereka membuktikan, gagal bukan berarti akhir dari kisah. Melainkan kesempatan untuk melakukan sesuatu yang baru, lebih bernilai. Lahir dari karakter kuat, mandiri dan berani, setelah alami kegagalan.
Ikuti kisahnya di Novel ini: "Ketika Hati Menyatu"
Karya ini didedikasikan untuk yang selalu mendukungku berkarya. Tetaplah sehat dan bahagia di mana pun berada. ❤️ U. 🤗
Selamat Membaca
❤️🙏🏻💚
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sopaatta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. KHM
...~•Happy Reading•~...
Setelah rumah kembali sepi, Nathania menggandeng tangan kakaknya. "Ayo, Kak. Kita duduk di paviliun." Nike mengangguk sembari menepuk pelan tangan adiknya. "Ayo..."
Mereka berjalan bersisian di jalan batu penghubung. "Huuuuu.... Akhirnya bisa duduk di sini lagi." Nathania menghembuskan nafas perlahan lalu duduk di samping kakaknya.
Nike jadi tersenyum melihat cara adiknya duduk bersandar sambil menjulurkan kedua kaki ke depan. "Nanti bisa duduk sepuasnya di sini." Nike ikut menyandarkan punggung menikmati, aneka jenis tanaman di pot yang terawat rapi dan dan halaman depan teras. "Iya, Kak."
Nike makin tersenyum melihat adiknya. "Kau yang bicara dulu, Dek."
"Iya, Kak." Ucap Nathania disertai anggukan. "Begini, Kak. Ini bukan mau mengungkit masa lalu. Hanya rasa penasaran saja setelah kumpul dengan teman-teman kakak. Mungkin tadi aku keceplosan ngomong karena senang bertemu dengan Mas Didit."
"Mas Didit? Kau ngomong apa padanya?" Nike jadi duduk tegak dan serius.
"Aku kira Mas Didit yang akan jadi kakak iparku."
"Begitu? Ada orang lain yang dengar?"
"Sepertinya, ngga, Kak. Maaf, tadi ketelepasan ngomong begitu saja. Karena dulu, aku kira Kak Nike pacaran sama Mas Didit." Nathania menjelaskan sambil mengatup tangan, minta maaf.
Nike menarik nafas panjang. "Kadang ada teman seperti saudara. Sebagai saudara, pasti ingin saudaranya bahagia. Kalau bisa saling pahami, betapa indahnya persaudaraan. Suatu waktu kau akan mengerti." Jawaban Nike berteka teki.
"Oh, iya. Jangan disinggung di depan Mas Frans. Yaa, menjaga stabilitas hati saja." Nike menggerakan kedua tangan sejajar ke samping sambil tersenyum tipis.
"Iya, Kak. Tadi pas ketemu Mas Didit baru ingat. Oh, iya, Kak. Mas Frans ngga datang ke sini?" Nathania bertanya, karena ingin lebih dekat calon kakak iparnya sebelum menikah. Dia hanya bertemu satu kali saat kakaknya datang ke Jakarta untuk perkenalkan dan bilang mau menikah.
"Ngga, Dek. Ini minggu tenang. Jadi hanya bertemu dengan WO dan teman-teman untuk memastikan." Nike menjelaskan, mengapa dia dan Frans hanya berkomunikasi lewat telpon.
"Oh, iya, Kak. Yang ini mengenai pendamping kakak. Apa Om Felix sudah setuju mau dampingi kakak pada hari H?" Nathania jadi serius, sebab ada nama saudara jauh Papanya di dena acara.
Nathania bertanya demikian, karena tahu hubungan keluarga Om nya kurang baik dengan mereka semasa orang tuanya masih hidup. Dia khawatir, terjadi sesuatu pada hari bahagia kakaknya.
"Sudah, Dek. Aku yang pergi minta tolong dan Om Felix setuju, walau Tante seperti biasa. Ada apa?" Tanya Nike, karena Nathania tiba-riba menanyakan tentang Om mereka.
"Tanya aja, Kak. Tadi lihat nama Om Felix di daftar sebagai pendamping kakak. Jadi ingat hubungan keluarga kita. Syukur kalau Om Felix sudah bersedia." Nathania merasa lega, sebab sepanjang meeting dengan WO, hal itu mengganjal hatinya.
"Kakak pikirkan itu juga. Tapi kau ngga bisa sendiri jadi pendamping. Saudara terdekat kita di sini, hanya keluarga Om Felix. Jadi aku beranikan diri minta tolong." Nike menjelaskan karena mengerti maksud adiknya.
"Kalau begitu, aku ada usul, Kak. Bagaimana kalau Om Felix dan Tante yang jadi pendamping kakak pada hari H? Biar aku bantu di bagian yang lain." Nathania menyampaikan yang terlintas di pikirannya dan berharap disetujui.
Nathania sudah lihat busana yang akan dikenakan oleh keluarga pengantin. Dia akan terlihat sangat menyolok kalau mengenakan kain dan kebaya yang diperuntukan buat orang tua pengantin.
Apa lagi dia terus berdiri berdampingan dengan kakaknya. Mereka akan terlihat seperti matahari kembar di pelaminan. Padahal dia mau, hanya kakaknya yang jadi pusat perhatian pada hari pernikahannya.
Nike melihat Nathania dengan serius. Dia tidak menyangka adiknya bisa berpikir demikian. "Kalau kau berpikir begitu, besok kita ke rumah Om Felix untuk bicarakan dengan Om dan Tante." Nike setuju. Dia berpikir, Nathania mengusulkan itu, agar istri Om Felix tidak membuat masalah atau menampilkan wajah tidak menyenangkan pada acara pernikahannya.
"Iya, Kak. Semoga Tante setuju dampingi Om Felix. Jadi tidak punya kesempatan berkomentar yang bisa memancing emosi keluarga calon mertua kakak." Nathania jadi ingat sifat istri Om Felix yang kalau berbicara tidak pernah disaring. Tidak berpikir, apakah yang dikatakan diterima atau bisa menyinggung perasaan orang lain.
"Iya, semoga mereka bersedia. Tapi karna waktunya sudah sangat mepet, kau tetap siap-siap.... Mm, ada lagi yang mau dibicarakan?" Tanya Nike, sebelum membicarakan rencananya.
"Ada, Kak. Kamar kakak bisa dihiasi mulai besok? Biar aku bantu dan kita tidur di paviliun ini." Usul Nathania, agar dekorasi kamar pengantin bisa dicicil.
"Oh, gak usah, Dek. Kamarku ngga didekor. Kita semua nginap di hotel tempat acara. Aku dapat diskon..." Bisik Nike sambil tersenyum.
"Oh, gituuu. Ok Kak. Nanti aku bantu yang lain." Nathania tidak mendesak lagi, karena dia hanya mau cari kesibukan untuk melupakan rutinitas saat bekerja di kantor.
"Em, tidak ada lagi yang mau dibahas?" Tanya Nike lebih lanjut.
"Sudah, Kak. Cuma itu yang kepikiran. Kak Nike mau bicara apa?" Nathania jadi ingat yang dikatakan kakaknya, sejak dia masih di Jakarta.
"Sebelum bicara rencanaku, kakak jadi ingat saat kau bicara soal Om Felix. Kau ngga ingatin soal Andy. Apa dia bisa datang untuk hadiri acara pernikahan kami? Sekalian kau ada pendamping, kalau Tante bersedia." Nike hampir menepuk dahi karena lupa membicarakan kehadiran Andy di hari pernikahannya. Dia tahu Nathania sudah berpacaran dengan pria bernama Andy, walau belum kenal dan bertemu.
Nathania langsung diam membeku. Dia tidak menyangka kakaknya masih ingat yang pernah dia ceritakan, kalau sudah punya pacar bernama Andy dan juga profesinya. Sehingga mau mengundang dan sekalian bisa berkenalan dengan kakaknya.
Nike meneruskan lagi, tanpa melihat perubahan wajah dan sikap Nathania. "Kalau perlu undangan, nanti aku minta dari Mas Frans. Karna undangan masih ada di keluarganya." Nike berkata demikian, karena mengira Nathania butuh undangan untuk mengundang Andy. Dan undangan pernikahan diurus oleh Frans dan keluarganya.
"Bukan seperti itu, Kak. Kami sudah pu tus...." Ucap Nathania pelan dan terputus-putus sambil melihat lurus ke depan setelah menarik nafas panjang.
Sontak Nike menengok ke arahnya. "Kapan, Dek?" Tanya Nike serius, sebab dia mulai mengerti kondisi adiknya berhubungan dengan putus cinta.
"Ke ma rin, Kak..." Ucap Nathania makin pelan.
Nike mengangkat kursi lalu duduk di depan Nathania. "Kau tidak mau berbagi denganku? Aku sudah bilang, jangan simpan sendiri. Apa artinya kebahagiaanku, kalau kau menyimpan kesedihan sendiri?"
Melihat mata Nathania mulai tergenang dan hampir tumpah, Nike memegang tangannya. "Mengapa kalian bisa putus?" Nike bertanya demikian, sebab melihat kesedihan adiknya sangat tebal.
Nike berpikir, Andy yang memutuskan hubungan. Sehingga dia terus memegang tangan adiknya yang mulai dingin dan sedang berusaha tidak menangis.
...~_~...
...~▪︎○♡○▪︎~...