NovelToon NovelToon
Rindu Di Bawah Atap Yang Berbeda

Rindu Di Bawah Atap Yang Berbeda

Status: tamat
Genre:Cintapertama / Cinta Terlarang / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / Cinta Murni / Romansa / Tamat
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Sang_Imajinasi

Berawal dari sebuah gulir tak sengaja di layar ponsel, takdir mempertemukan dua jiwa dari dua dunia yang berbeda. Akbar, seorang pemuda Minang berusia 24 tahun dari Padang, menemukan ketenangan dalam hidupnya yang teratur hingga sebuah senyuman tulus dari foto Erencya, seorang siswi SMA keturunan Tionghoa-Buddha berusia 18 tahun dari Jambi, menghentikan dunianya.

Terpisahkan jarak ratusan kilometer, cinta mereka bersemi di dunia maya. Melalui pesan-pesan larut malam dan panggilan video yang hangat, mereka menemukan belahan jiwa. Sebuah cinta yang murni, polos, dan tak pernah mempersoalkan perbedaan keyakinan yang membentang di antara mereka. Bagi Akbar dan Erencya, cinta adalah bahasa universal yang mereka pahami dengan hati.

Namun, saat cinta itu mulai beranjak ke dunia nyata, mereka dihadapkan pada tembok tertinggi dan terkokoh: restu keluarga. Tradisi dan keyakinan yang telah mengakar kuat menjadi jurang pemisah yang menyakitkan. Keluarga Erencya memberikan sebuah pilihan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20

Malam tanggal 20 Desember seharusnya menjadi malam kedua yang penuh tawa dan kebahagiaan bagi Akbar dan Erencya. Seharusnya mereka sedang berjalan-jalan di sepanjang Sungai Batanghari, menikmati cahaya Jembatan Gentala Arasy, dan berbagi es krim di tengah keramaian pasar malam. Seharusnya.

Kenyataannya, malam itu adalah sebuah penjara sunyi bagi mereka berdua, di dua sudut kota yang berbeda.

Di kamar guesthouse-nya yang sederhana, Akbar merasakan setiap detik berlalu seperti satu jam. Setelah kembali dari rumah Lusi, ia mencoba melakukan sesuatu yang produktif. Ia membuka laptopnya, berniat melanjutkan skripsinya. Namun, barisan kalimat di layar terasa asing dan tidak berarti. Pikirannya tidak berada di sana. Pikirannya berada di sebuah rumah megah di seberang kota, bersama seorang gadis yang sedang menghadapi badai sendirian.

Ia terus-menerus memeriksa ponselnya. Tidak ada panggilan. Tidak ada pesan. Centang satu di pesan terakhirnya terasa seperti sebuah monumen kegagalan. Ia mencoba menelepon Erencya berulang kali, namun yang menjawab hanyalah suara operator yang dingin. Ia mencoba menghubungi melalui media sosial, namun akun Erencya tampak tidak aktif. Keheningan itu begitu total, begitu absolut, hingga terasa memekakkan telinga.

Rasa tidak berdaya adalah sebuah siksaan yang baru bagi Akbar. Selama ini, dalam setiap kesulitan hidupnya, ia selalu bisa melakukan sesuatu. Ia bisa bekerja lebih keras, belajar lebih giat, atau membantu ibunya lebih banyak. Tapi sekarang, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia terdampar di kota yang asing, tanpa alamat, tanpa nomor telepon keluarga, tanpa cara untuk menembus dinding yang tiba-tiba didirikan di sekeliling Erencya. Satu-satunya harapannya adalah Lusi, tapi ia bahkan tidak sempat bertukar nomor dengan gadis itu.

Malam itu, ia tidak tidur. Ia hanya duduk di tepi tempat tidur, menatap layar ponselnya yang gelap, sementara ribuan skenario buruk berputar di kepalanya. Apakah Erencya baik-baik saja? Apakah ia sedang menangis? Apakah orang tuanya marah besar? Apakah mereka akan memisahkannya selamanya? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantamnya tanpa henti, dan ia tidak punya satu pun jawaban.

Di saat yang sama, di dalam kamar tidurnya yang mewah, Erencya juga sedang terjaga. Kamarnya yang luas, yang biasanya terasa seperti surga pribadinya, kini terasa seperti sel penjara berlapis emas. Setelah dikirim ke kamarnya, ia hanya bisa mendengar gema pertengkaran dari ruang kerja papanya. Suara papanya yang meninggi, suara Bryan yang tegas, dan suara mamanya yang mencoba menengahi. Ia tidak bisa menangkap kata-katanya, tapi ia bisa merasakan amarah dan kekecewaan yang terpancar dari balik dinding.

Paginya, suasana di rumah terasa seperti medan perang setelah gencatan senjata. Hening, tegang, dan penuh dengan hal-hal yang tak terucapkan. Saat sarapan, tidak ada lagi kekacauan ceria. Hanya ada denting sendok dan garpu di atas piring. Kakak-kakaknya menatapnya dengan campuran antara kasihan dan celaan. Papanya dan Bryan bahkan tidak menatapnya sama sekali. Hanya mamanya yang memberinya senyum sedih saat mereka berpapasan. Isolasi ini, di tengah keluarganya sendiri, terasa lebih menyakitkan daripada hukuman fisik mana pun.

Ponselnya benar-benar disita. Laptopnya juga telah diambil dari kamarnya oleh Bryan tadi malam dengan alasan "untuk fokus belajar". Ia benar-benar terputus dari dunia luar, dan yang terpenting, dari Akbar.

Pikiran tentang Akbar yang sendirian di guesthouse-nya terus menghantuinya. Pria itu datang jauh-jauh dari Padang, berjuang begitu keras hanya untuknya. Dan beginikah cara ia menyambutnya? Dengan drama keluarga dan keheningan yang menyiksa? Rasa bersalah menggerogotinya, lebih sakit daripada rasa takutnya sendiri. Ia harus menghubungi Akbar. Ia harus memberitahunya apa yang terjadi.

Kesempatannya datang siang itu. Sebagian besar keluarganya pergi keluar untuk urusan masing-masing. Hanya ia dan Clara yang tinggal di rumah. Ia menemukan adiknya itu sedang bermain game di kamarnya. Dengan hati berdebar, Erencya masuk dan menutup pintu.

"Clar," panggilnya pelan.

Clara melepas headphone-nya, menatap kakaknya dengan waspada. "Apa, Ci?"

"Tolong," bisik Erencya, suaranya bergetar. "Pinjamkan Cici ponselmu. Sebentar saja. Lima menit. Cici mohon."

Clara tampak ragu. "Nanti kalau ketahuan Koko Bryan, aku bisa dimarahi."

"Nggak akan," Erencya menggenggam tangan adiknya. "Cuma untuk kirim satu pesan penting. Setelah itu langsung Cici hapus. Kasihan Kak Akbar, Clar. Dia sendirian di sini, nggak tahu apa-apa. Dia pasti khawatir sekali. Ini semua salah Cici, tapi dia ikut menanggung akibatnya. Tolonglah..."

Melihat air mata yang mulai menggenang di mata kakaknya, pertahanan Clara luluh. Rasa kesalnya karena menjadi pembawa berita buruk kemarin kini berganti menjadi rasa simpati. "Ya sudah," katanya sambil menyerahkan ponselnya. "Tapi cepat, ya. Aku jaga di depan pintu."

Dengan tangan gemetar, Erencya mengambil ponsel itu. Ia membuka aplikasi pesan, mengetikkan nomor Akbar yang sudah ia hapal di luar kepala. Jantungnya berdebar kencang, takut ketahuan. Kata-kata apa yang harus ia tulis? Ia tidak punya banyak waktu.

Ia mengetik dengan cepat, setiap kata terasa seperti sebuah sayatan di hatinya.

Kak, ini aku, Erencya. Aku pakai HP adikku. Aku ketahuan. HP disita. Semua jadi kacau. Jangan hubungi aku. Mereka tahu semuanya. Demi keselamatan Kakak, pulanglah ke Padang. Aku baik-baik saja. Maaf.

Singkat, padat, dan menghancurkan. Kata 'pulanglah' adalah kata yang paling sulit ia ketik. Itu adalah sebuah pengusiran, sebuah tanda menyerah. Tapi saat ini, yang bisa ia pikirkan hanyalah keselamatan Akbar. Ia tidak ingin pria itu terlibat lebih jauh dalam kekacauan keluarganya. Setelah menekan kirim, ia segera menghapus jejak pesan dan riwayat panggilan, lalu mengembalikan ponsel itu pada Clara dengan ucapan terima kasih yang lirih.

Di guesthouse-nya, Akbar yang sedang mondar-mandir di kamarnya seperti singa dalam kandang, terlonjak saat ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal. Dengan napas tertahan, ia membukanya.

Saat membaca pesan itu, dunia Akbar seakan berhenti berputar. Setiap kata adalah sebuah konfirmasi dari ketakutan terburuknya. Ketahuan. HP disita. Mereka tahu semuanya. Hatinya terasa lega sekaligus hancur. Lega karena Erencya baik-baik saja dan ia akhirnya tahu apa yang terjadi. Hancur karena semua yang ia takutkan telah menjadi kenyataan.

Lalu ia membaca kalimat terakhirnya. Demi keselamatan Kakak, pulanglah ke Padang. Maaf.

Akbar membaca kalimat itu berulang-ulang. Pulang. Gadis itu, di tengah-tengah hukumannya, masih memikirkan keselamatannya dan memintanya untuk pulang. Untuk lari.

Amarah dan rasa frustrasi yang sedari tadi ia tahan kini membuncah, namun bukan ditujukan pada Erencya atau keluarganya, melainkan pada situasi itu sendiri. Ia menatap pantulan dirinya di cermin yang kusam di dinding kamar. Wajahnya tampak lelah dan kalah.

"Pulang?" bisiknya pada bayangannya sendiri. Tangannya terkepal erat di sisinya.

Ia teringat perjuangannya selama dua bulan terakhir. Malam-malam tanpa tidur, tubuh yang pegal, dan setiap lembar uang yang ia kumpulkan dengan susah payah. Ia teringat senyum Erencya saat mereka pertama kali bertemu, kehangatan tangan gadis itu dalam genggamannya, dan ciuman pertama mereka di bawah tatapan bisu candi.

"Bagaimana aku bisa pulang sekarang?" tanyanya lagi, kali ini dengan suara yang lebih keras, dipenuhi oleh sebuah tekad yang baru. "Bagaimana aku bisa meninggalkanmu menghadapi badai ini sendirian di sini?"

Tidak. Ia tidak akan lari. Ia datang ke Jambi bukan untuk menyerah saat rintangan pertama datang. Ia datang untuk Erencya. Dan ia tidak akan pergi tanpanya, atau setidaknya, tanpa berjuang untuknya. Pesan Erencya yang seharusnya menjadi akhir dari perjalanan ini, justru telah menyalakan api baru di dalam dirinya. Api perlawanan.

1
👣Sandaria🦋
sepertinya aku hanya bisa membaca dalam diam, Thor. kehabisan kata-kata😭
👣Sandaria🦋
masa iya kisah cinta anak SMA bisa bikin aku baper begini, Kak? konyol banget rasanya bagi aku yg udah emak-emak ini. tapi iya kenyataannya kisah cinta Akbar-Erencya memang bikin aku sebaper itu. hiks hiks hwaaaa...😭😭😭😆
👣Sandaria🦋
jadi ini beneran kisah nyata, Kak? kalaupun nanti berakhir sedih. keknya ini kisah cinta paling epik yg pernah kubaca. padahal baru awalnya lho😀
Sang_Imajinasi: hihi, gpp kok nangis, aku aja baca nangis 😭😆
total 1 replies
👣Sandaria🦋
waduh. kata2 Akbar sungguh menyentuh hatiku, Kak. boleh nangis gak nih?!?😭😅
👣Sandaria🦋
kentara sekali ini Akbar yg pegang kendali, Kak. mungkin itu enaknya punya hubungan dengan bocil😅
👣Sandaria🦋
anak SMA punya cowok anak kuliahan pasti senang banget dia, Kak. bisa dibanggakan pada temannya. tapi bagi cowok yg anak kuliahan punya cewek SMA pasti sering diledek temannya. biasanya begitu. malah dikatain pedofill🤦😂
Sang_Imajinasi: tapi muka anak kuliahan baby face kok 🤣🤣🤣
total 1 replies
👣Sandaria🦋
iya. siapa tahu sebentar lagi Akbar jadi seorang CEO. kek di nopel-nopel🤦😂
Sang_Imajinasi: hahaha ga sampai ceo2 an 🤣🤣
total 1 replies
👣Sandaria🦋
wah. sholeh juga Akbar. tebakanku kalau mereka berjodoh. si cewek yg login🤔🤣
Sang_Imajinasi: iya cewek nya yang login, udh belajar juga sebagian 🤣
total 1 replies
👣Sandaria🦋
dunia maya penuh tipu-tipu. hati menginjak otak mah lumayan. yg parahnya yg enggak kebagian otak itu, Thor😂
Sang_Imajinasi: Hahahaha 🤣
total 3 replies
👣Sandaria🦋
aduh! ini lagi. 18 tahun baru kelas 1 SMA, Thor? berapa tahun itu tinggal kelasnya?😭😭😭 atau authornya masuk SD umur 8 th kali..?🤔
👣Sandaria🦋
nama gurun banget ya?😆
👣Sandaria🦋
24 tahun baru nyusun skripsi, Thor? model-model mahasiswa sering nitip absen ini nampaknya🤔😆
Sang_Imajinasi: 🤣🤣🤣🤣🤣
total 1 replies
👣Sandaria🦋
aku dulu juga pernah mengalami hal konyol serupa, Thor. terpaku melihat profil aktor-aktor Korea. rasa-rasa bisa kumiliki😭😂
👣Sandaria🦋
mampir, Kak. menarik kayaknya nih. cinta menabrak aturan. Muslim Minang - Budha Tionghoa. kita lihat bagaimana cara authornya menyelesaikan perkara ini. dan seberapa cantik manuvernya. berat lho ini. gas, Kak!😅
Fendri
wah hp yang disita dibalikin ayahnya, jadi bakal hubungin akbar donk
Fendri
kalau dihayati cerita nya jadi sedih juga berasa diposisi mereka 🤭
Sang_Imajinasi: jangan sampai 🤣🤣
total 1 replies
Fendri
lanjut lagi thor jadi penasaran wkkw
Sang_Imajinasi
ON-GOING
Fendri
lanjut thor baguss
Fendri
awal dari segalanya ini
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!