Jhonatan Wijaya, seorang Kapten TNI yang dikenal kaku dan dingin, menyimpan rahasia tentang cinta pandangan pertamanya. Sembilan tahun lalu, ia bertemu dengan seorang gadis di sebuah acara Akmil dan langsung jatuh cinta, namun kehilangan jejaknya. Pencariannya selama bertahun-tahun sia-sia, dan ia pasrah.
Hidup Jhonatan kembali bergejolak saat ia bertemu kembali dengan gadis itu di rumah sahabatnya, Alvino Alfarisi, di sebuah batalyon di Jakarta. Gadis itu adalah Aresa, sepupu Alvino, seorang ahli telemetri dengan bayaran puluhan miliar yang kini ingin membangun bisnis kafe. Aresa, yang sama sekali tidak mengenal Jhonatan, terkejut dengan tatapan intensnya dan berusaha menghindar.
Jhonatan, yang telah menemukan takdirnya, tidak menyerah. Ia menggunakan dalih bisnis kafe untuk mendekati Aresa. Ketegangan memuncak saat mereka bertemu kembali. Aresa yang profesional dan dingin, berhadapan dengan Jhonatan yang tenang namun penuh dominasi. Dan kisah mereka berlanjut secara tak terduga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Aresa meletakkan ponselnya, menutup panggilan telepon dari Bapak dan Ibunya. Ia menarik napas lega, rasa bersalah karena berbohong bercampur dengan rasa sakit yang masih tersisa. Ia memandang ke luar jendela kamar rawat, malam telah larut. Di sofa, Vero tertidur pulas dengan ponsel di tangan, sementara Arian duduk di kursi, matanya terbuka lebar.
"Mas," panggil Aresa pelan.
Arian menoleh. "Kenapa, Res? Sudah selesai teleponnya?"
"Sudah, Mas. Maaf sudah membuat Mas jadi begadang," kata Aresa.
Arian menghela napas, mendekat ke ranjang adiknya. "Kamu tahu kan, kamu itu satu satunya adik perempuan Mas. Mas nggak akan pernah membiarkan kamu sendiri."
Vero terbangun karena suara mereka. "Kenapa sih, Mas? Berisik banget," gerutu Vero, mengucek matanya.
"Ini nih, adikmu. Pinter banget bohong sama orang tua," sindir Arian, menatap Aresa tajam. "Mas tahu, kamu nggak mau buat Ayah sama Ibu khawatir. Tapi kamu harus tahu, Mas lebih khawatir lagi!"
Aresa menunduk. "Maaf, Mas. Aku nggak mau Ayah sama Ibu jadi kepikiran. Lagi pula, ini kan cuma asam lambung, bukan sakit parah."
"Cuma? Kamu nggak ngerasain sudah separah apa sakit kamu tadi pagi?" Vero menyahut, nada suaranya lembut tapi ada nada tegas. "Aku sama Mas Arian panik setengah mati. Si Kapten itu datang kayak malaikat pencabut nyawa."
Topik kembali bergeser ke Jhonatan. Aresa menarik napas dalam.
"Jujur, Ver, Mas," ujar Aresa, menatap kedua kakaknya secara bergantian. "Aku juga bingung. Dia memang menyebalkan. Dingin, kaku, bossy. Dia itu benar-benar menguji batas kesabaran. Aku benci caranya memaksa. Tapi tadi siang... dia kelihatan sangat khawatir. Dia bahkan lepas baju PDL nya buat nutupin aku."
"Itu kode bahaya, Res!" seru Arian, suaranya sedikit meninggi. "Cara dia khawatir itu bukan murni rasa tolong, itu obsesi, Resa! Kenapa dia tahu pin apartemen Mas? Kenapa dia tahu kamu sakit? Jhonatan itu nggak main-main. Dia pria dewasa. Dan dia pasti tahu cara bermain."
"Dia tahu dari mas Alvino mas, kebetulan kemarin aku menelpon mas Alvino buat nolongin aku, malah yang datang kapten Jhonatan" jawab resa lirih.
"Aku setuju sama Mas Arian," timpal Vero, duduk di tepi ranjang. "Pria itu terlihat terlalu gampang marah, terlalu posesif. Terus, kamu ingat apa yang Ayu bilang? Dia minta nomor telepon kamu, dia nanya kamu pergi sama siapa. Itu mencurigakan, Res, itu teror mental. Kamu harus benar-benar jaga jarak."
Aresa memijat pelipisnya yang tidak tertutup jilbab. "Aku tahu, aku juga takut. Dia bilang dia marah melihat aku sama laki-laki lain. Dia juga minta maaf sudah menyelidiki aku. Aku nggak tahu harus merasa takut atau berterima kasih."
"Nggak ada terima kasih, Res!" potong Arian tegas. "Anggap aja dia cuma tukang ojek yang nggak sengaja nolongin kamu. Sekarang, tugas kita untuk memastikan dia nggak punya kesempatan lagi untuk menemui kamu. Mas akan urus administrasi kepulangan kamu besok. Kamu pulang ke apartemen Vero, kamu lanjut dirawat disana saja. Fokus kamu adalah pemulihan, bukan pria gila itu."
Mereka bertiga terus berbincang hingga tengah malam, merencanakan pemulihan Aresa dan, yang lebih penting, merencanakan cara untuk menjauhkan Jhonatan. Aresa akhirnya setuju untuk lebih berhati-hati.
****
Fajar menyingsing di batalyon. Kapten Jhonatan sudah kembali pada rutinitasnya. Suara sepatu boots berderap di koridor, dan perintah-perintah yang dikeluarkan dengan nada tegas. Ia kembali menjadi komandan yang kaku, dingin, dan efisien. Namun, di balik seragam PDL yang rapi, pikirannya masih penuh dengan kejadian kemarin.
Ia ingat bagaimana rapuhnya Aresa dalam dekapannya. Ia ingat aroma sampo Aresa saat ia membopongnya. Perasaan khawatir itu sangat asing, jauh lebih kuat dari kemarahan cemburu yang ia rasakan sehari sebelumnya.
"Perasaan ini harus diredam," bisik Jhonatan pada dirinya sendiri saat bercermin, memasang baret di kepala.
Namun, jauh di lubuk hatinya, nama Aresa justru semakin hari semakin banyak mengisi ruang dihatinya. Ia menyentuh name tag di dadanya. Ia akan pergi ke rumah kakaknya siang nanti.
****
Di saat yang sama, Jessica sibuk mempersiapkan makan siang. Pikirannya masih pada sosok Aresa di supermarket.
"Andai saja aku punya nomornya," gumam Jessica, menata piring. "Jhonatan itu butuh wanita yang bisa mengimbangi dia, bukan yang hanya tunduk. Wanita seperti itu. Yang berani bilang tidak padahal saus tomat tinggal satu."
Ia tersenyum sendiri. Hari ini, ia sudah mengundang seorang kerabat jauhnya, seorang dokter cantik, untuk dikenalkan pada Jhonatan. Jessica sadar, ia harus mulai bergerak untuk adiknya, meski hatinya masih membayangkan Aresa yang tak bernama.
****
Aresa terbangun. Ia merasa jauh lebih baik, rasa sakitnya mereda, hanya menyisakan pegal di ulu hati. Ia menoleh ke samping. Arian dan Vero sedang duduk di sofa ruang rawat, Arian membaca koran dan Vero bermain ponsel.
"Selamat pagi, Tuan Putri," sapa Vero, menyadari Aresa sudah bangun.
Arian segera meletakkan korannya dan mendekat. "Gimana, Res? Masih sakit?"
"Udah mendingan, Mas," jawab Aresa, suaranya masih serak. "Makasih ya, sudah jagain."
"Jagain? Justru kamu itu merepotkan!" Arian pura-pura kesal.
Tak lama pintu terbuka dan masuklah sosok yang kemarin mereka bicarakan. Tatapan tajam mereka menyambut kedatangan orang tersebut.
****
Pukul sebelas siang, Diperjalanan Jhonatan tiba-tiba merasa gelisah. Perintah di otaknya jauh lebih kuat dari janji untuk pergi ke rumah kakaknya. Ia harus memastikan Aresa baik-baik saja. Ia memutar mobilnya, menuju kembali ke apartemen Arian, lalu ingat Aresa sekarang ada di rumah sakit.
Ia tiba di rumah sakit. Ia melangkah cepat menuju ruang rawat Aresa. Saat membuka pintu, ia disambut oleh tiga pasang mata yang menatapnya dengan waspada. Arian, Vero, dan Aresa.
"Selamat pagi," sapa Jhonatan, suaranya kaku dan formal. Ia mengabaikan Vero dan Arian, matanya tertuju pada Aresa.
"Bagaimana kondisi Anda, Resa?" Tanya Jhonatan tegas
Belum sempat Aresa menjawab, Arian sudah berdiri terlebih dahulu dan menjawab pertanyaan Jhonatan. "Maaf, Keperluan Anda apa? Resa sedang butuh istirahat."
Jhonatan menatap Arian. "Saya hanya ingin memastikan kondisi pasien yang kemarin siang saya bawa ke sini. Dan saya rasa itu kewajiban," jawab Jhonatan, nadanya terdengar seperti sebuah laporan.
Vero menyeringai. "Kewajiban atau sudah jadi kebutuhan, Kapten? Kalau kewajiban, setelah administrasi selesai, harusnya sudah kelar, dong."
Wajah Jhonatan sedikit memerah, namun ia berhasil mengendalikan diri. "Itu urusan saya. Saya hanya ingin tahu, apakah dia sudah membaik."
Aresa menyela. "Mas, sudah. Kapten, saya sudah lebih baik. Terima kasih atas kepedulian Anda. Kakak saya dan sepupu saya sudah di sini. Anda bisa kembali ke tugas Anda."
Mendengar kata Kakak dan sepupu, Jhonatan merasakan gelombang kelegaan yang luar biasa. Jadi, pria-pria yang selama ini ia cemburui, yang ia curigai sebagai kekasih atau tunangan, hanyalah keluarganya. Ia merasa bodoh karena membiarkan kecemburuan sempat menguasai logikanya. Kecemasan terbesarnya hilang seketika, namun rasa malu pada diri sendiri dan kesal karena salah sangka menggantikannya.
"Baik," ujar Jhonatan, nadanya sedikit lebih lunak. "Kalau begitu, saya permisi. Cepat sembuh, Resa."
Jhonatan berbalik, meninggalkan ruangan itu. Ia merasa lega setelah melihat kondisi Aresa yang membaik.
yu kak saling sapa mampir beri dukungN ke karyaku juga